Setelah Membaca Buku Sekolah itu Candu

Roem Topatimasang, dalam buku Sekolah itu Candu, mengajak pembaca untuk mempertanyakan ulang nilai sistem pendidikan formal. Bagi seorang ayah yang menaruh harapan pada pendidikan anaknya, buku ini menyentak. Ada satu pesan yang mendalam di sana: pendidikan, yang seharusnya membebaskan, kini dibatasi oleh dinding-dinding sistem yang menyempitkan.

Mengapa? Karena pendidikan kita mirip institusi modern yang dibangun di atas pondasi kontrol, bukan kebebasan berpikir. Saya kira, Roem mencoba memutar jarum waktu dengan memaksa kita merenung pada asal-usul sekolah: bukan sebagai alat doktrin, tapi arena pembebasan, dan ini sungguh terabaikan.


Sekolah dalam Cengkraman Sistem

Sekolah hari ini tampak terjebak dalam kurikulum baku, semacam mesin produksi massal untuk menghasilkan manusia-manusia seragam yang tak lagi peka terhadap perubahan zaman. Dalam pandangan Roem, pendidikan kita telah jatuh ke dalam industrialisasi pendidikan—bagaimana sekolah lebih menyerupai pabrik ketimbang tempat pembelajaran yang otentik.

Sebagai seorang ayah, saya diingatkan akan ayat Al-Qur’an, “…dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta yang banyak…” (QS. Ali Imran: 14). Apakah kita, orang tua, terlalu mencintai “produk akhir” yang dijanjikan oleh sekolah—gelar, posisi, pekerjaan—hingga lupa pada nilai asli ilmu? Roem seolah mengingatkan bahwa dengan meletakkan sekolah sebagai “candu,” kita ikut mengekalkan budaya yang melulu mengejar formalitas.


Hilangnya Ruang Bermain

Pendidikan seharusnya menjadi ruang untuk mengeksplorasi pikiran dan hati. Dalam buku ini, Roem menyebut tentang hilangnya “kebebasan” di sekolah modern. Anak-anak sekarang tidak diberi ruang untuk berpikir sendiri atau mempertanyakan apa yang mereka pelajari. Sekolah memoles murid agar patuh pada norma dan peraturan tanpa menantang mereka untuk memahami alasan di balik itu semua.

Dalam konteks ini, saya teringat ucapan Imam Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Sebagai ayah, saya sadar bahwa sekolah modern sering kali gagal menyiapkan anak untuk menghadapi perubahan zaman. Mereka diajarkan untuk menghafal, bukan memahami; untuk mengikut, bukan bertanya. Padahal, tantangan hari ini tidak bisa dijawab dengan hafalan belaka, tapi dengan kecakapan berpikir yang fleksibel.


Candu Bagi Orang Tua

Roem dengan cerdas menyindir bahwa sekolah adalah candu, bukan hanya bagi anak, tetapi juga bagi kita, para orang tua. Banyak di antara kita yang, tanpa sadar, berharap sekolah menjadi jaminan kesuksesan anak-anak kita di masa depan. Kita rela membayar mahal demi anak-anak kita “masuk sekolah terbaik,” walau tanpa mempertimbangkan apakah mereka bahagia atau benar-benar mendapatkan esensi belajar.

Di titik ini, saya teringat hadis Rasulullah, “Tidak ada pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya, selain akhlak yang mulia.” Pendidikan akhlak adalah esensi, bukan hanya keterampilan atau keahlian yang dihafal di sekolah. Bila sekolah gagal mendidik anak untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beradab, bukankah kita sebagai orang tua yang harus mengambil peran itu?


Mencari Pendidikan Alternatif

Roem juga menyoroti berbagai alternatif yang bisa kita ambil, seperti sekolah alam atau sekolah rumah. Ia menawarkan konsep pendidikan yang lebih terbuka dan fleksibel, yang memungkinkan anak-anak untuk belajar dalam lingkungan yang lebih alami. Sistem sekolah yang ia impikan bukanlah sebuah lembaga yang kaku, melainkan komunitas pembelajar yang terus berkembang dan beradaptasi.

Di sini, saya ingat prinsip pendidikan Islam klasik yang menekankan “ilmu itu cahaya, dan cahaya tak akan masuk ke hati yang gelap.” Anak-anak yang dipaksa untuk belajar tanpa pemahaman yang mendalam atau tanpa kebebasan berekspresi, cahayanya akan padam. Sebagai ayah, saya merasa bahwa anak saya butuh lingkungan yang menghargai kebebasan pikirnya, bukan ruang yang sempit.


Pendidikan sebagai Alat Pembebasan

Roem memberikan pandangan bahwa pendidikan seharusnya adalah alat untuk membebaskan, bukan mengikat. Ini adalah nilai yang sangat penting di tengah arus pendidikan kita yang cenderung mengikat anak-anak dalam belenggu nilai akademis. Roem mengajak kita merenungkan bahwa kebahagiaan dan kemandirian berpikir anak-anak adalah esensi pendidikan yang sesungguhnya.

Firman Allah, “Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Allah mengajarimu…” (QS. Al-Baqarah: 282). Ayat ini mengisyaratkan bahwa pendidikan bukan sekadar soal akademis, tapi juga soal takwa, soal mengajarkan nilai luhur yang melampaui nilai duniawi.


Kesimpulan

Setelah membaca Sekolah itu Candu, saya, sebagai seorang ayah, merasa tertampar. Ternyata, pendidikan bukan sekadar soal gelar atau ijazah, tetapi soal proses menjadi manusia yang utuh. Roem Topatimasang menyadarkan saya bahwa sekolah adalah candu bila kita hanya mengejar gelar dan jabatan bagi anak-anak kita. Mungkin, yang perlu kita bangun adalah sekolah yang menjadikan anak-anak kita cinta akan proses belajar seumur hidup, bukan sekadar mengoleksi angka di rapor.

Sebagai orang tua, tugas kita bukanlah memaksakan standar pendidikan yang sempit kepada anak-anak kita, melainkan mendampingi mereka untuk menemukan jati diri. Mari kita bimbing mereka, bukan hanya agar mereka “lulus,” tapi agar mereka mampu bertahan menghadapi kehidupan.

Setelah Membaca Buku Pendidikan Rusak-Rusakan

Pendidikan yang Menjauh dari Tujuan

Buku Pendidikan Rusak-Rusakan karya Darmaningtyas membuka mata kita pada kenyataan pahit yang selama ini mungkin sudah kita rasakan, namun sering kali kita abaikan. Sebagai seorang ayah sekaligus guru, saya merasa terpanggil untuk merenungkan lebih dalam mengenai apa sebenarnya tujuan dari pendidikan ini. Mengapa institusi yang seharusnya mencerdaskan bangsa justru seringkali terlihat seperti mesin penghancur nilai-nilai luhur?

Continue reading

Fantasia-Sia

Ada semacam nostalgia yang aneh dalam hati kita. Sebuah penyesalan kecil-kecil, seperti pasir yang terselip di sela-sela jemari kaki, menggelitik tiap langkah, mengingatkan kita pada kenangan yang seharusnya terlupa. Seperti menatap pantulan bulan di air keruh, masa lalu itu menggoda untuk disentuh, tapi hanya meremang, buyar saat jari mencoba meraih.

Continue reading

Hikayat Sang Pemberontak

Mengenali Diri

Ada bagian dalam diri yang terpecah-pecah, seperti potongan cermin yang memantulkan berbagai wajah. Sebagai seorang anak, suami, ayah, dan muslim, aku menjalani setiap peran, berusaha sebaik mungkin meski sering goyah. Di dalam hatiku, selalu ada tanya yang berbisik: siapa aku sebenarnya?

Continue reading

Setelah Membaca Buku The Life-Changing Magic of Tidying Up

Marie Kondo, seorang wanita Jepang yang terkenal dengan prinsip tidying up-nya, menawarkan gagasan yang lebih dalam dari sekadar kegiatan merapikan. The Life-Changing Magic of Tidying Up adalah buku tentang merapikan benda-benda dalam kehidupan kita, tetapi di balik itu, saya merasa ada pesan yang lebih fundamental bagi kehidupan spiritual.

Continue reading