KITA & GAZA

Kita bingung pilih jajanan di pasar takjil.
Gaza bingung cari air minum, apalagi kepikiran ngemil.

Kita terlelap di kasur empuk setelah capek ibadah.
Gaza terlelap di trotoar atau di bawah reruntuhan akibat bom penjajah.

Kita menyambut Idul Fitri dengan baju baru.
Gaza menyambut Hari Raya dengan kain kafan lusuh.

Doakan yang terbaik, berikan harta yang paling baik.

Karena yang menimpa mereka, bisa juga menimpa kita.

Kita, Setelah Puasa, dan Gaza

Romadhon yang Baru Kita Lalui

Sahabat pembaca sekalian, Romadhon akan pergi meninggalkan kita. Bulan yang Allah muliakan. Bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, bulan di mana Rasulullah dan para sahabat menorehkan sejarah besar umat ini.

Kita baru saja melewati hari-hari yang semoga penuh ampunan. Kita sholat, kita tilawah, kita sedekah. Kita menahan lapar dan dahaga. Kita berjuang melawan hawa nafsu. Kita menangis di sepertiga malam, berharap ampunan dan rahmat dari Allah Ta’ala.

Tapi sekarang izinkan saya bertanya kepada diri saya sendiri… dan kepada kita semua: apa yang tersisa dari Romadhon itu? Apa yang akan kita bawa setelah puasa berakhir? Apa bekasnya dalam hidup kita?

Sebab, sahabatku… Romadhon bukan tujuan, tapi sarana. Ia bukan garis finish, tapi titik tolak. Pertanyaannya: kita mau ke mana setelah ini?

Gaza, Darah Umat yang Kembali Mengalir

Dan di tengah kita bertanya tentang bekas Romadhon, dari arah Gaza datang kabar yang memilukan.
Darah umat ini tumpah lagi. Genosida kembali terjadi. Penjajah teroris zionis yahudi israel, yang Allah sebut sebagai musuh sejati kaum beriman, kembali mengobarkan perang besar.

Sudah lebih dari lima belas bulan Gaza mengalami pembanatian massal. Lalu hampir tiga pekan semua akses ditutup. Blokade total. Bantuan kemanusiaan tidak bisa masuk. Dan beberapa pekan terakhir, dunia kembali menyaksikan babak paling gelap dalam sejarah kemanusiaan. Anak-anak Gaza harus diamputasi tanpa anestesi.

Sungguh, sahabatku… tidak terbayang oleh kita. Seorang anak kecil, terbaring lemah di atas meja yang bahkan bukan lagi meja operasi. Dikelilingi para dokter yang tidak punya pilihan. Tidak ada obat. Tidak ada bius. Hanya ada pisau, daging, tulang, dan air mata.

Kaki kecil itu terpotong. Tanpa rasa kebas. Jeritan yang mungkin tidak sampai ke telinga kita, tapi pasti sampai ke langit.

Gaza dan Keimanan Kita: Masih Adakah Rasa Itu di Dada Kita?

Sahabatku…
Hari ini Gaza bukan sekadar tanah yang dibakar. Tapi Gaza adalah cermin iman kita. Gaza adalah ukuran hidupnya hati kita.

Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka dia bukan bagian dari mereka.” (HR. Ath-Thobroni)

Lalu di mana kita hari ini? Masihkah kita merasa bagian dari umat ini? Masih adakah getar di dada kita ketika mendengar anak-anak kita di Gaza dibom, tubuhnya hancur berkeping-keping oleh tangan-tangan teroris kafir yang tidak punya hati?

Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata:
“Jika engkau tak merasakan sakitnya musibah yang menimpa kaum Muslimin, periksalah keimananmu.”

Maka mari kita periksa iman kita hari ini… masih hidupkah ia, atau sudah mati bersama kenikmatan dunia yang kita kejar setiap hari?

Cinta Dunia dan Takut Mati: Penyakit Kronis Umat Ini

Sahabat sekalian…
Mengapa kita diam? Mengapa umat yang jumlahnya 1,8 miliar ini tidak mampu berbuat apa-apa?

Jawabannya sudah Rasulullah MUhammad ﷺ sampaikan sejak 14 abad lalu:
“Akan datang suatu masa, umat Islam dikeroyok oleh bangsa-bangsa lain, sebagaimana orang-orang mengerumuni hidangan di atas meja.”
Para sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit saat itu, ya Rasulallah?”
Beliau ﷺ menjawab, “Tidak. Bahkan jumlah kalian banyak. Tapi kalian seperti buih di lautan. Allah cabut rasa takut dari musuh terhadap kalian. Dan Allah masukkan ke dalam hati kalian penyakit wahn.”

Dan tahukah kita apa itu wahn? Cinta dunia dan takut mati.

Lihatlah hari ini… itulah kita. Kita terlalu takut kehilangan kenyamanan. Kita terlalu takut kehilangan harta, jabatan, dan pengaruh. Kita takut mati. Padahal, hidup kita pun tidak pasti sampai esok hari.

Sementara di Gaza, anak-anak kecil itu sudah melampaui rasa takut. Mereka hidup dalam kondisi yang setiap hari berhadapan langsung dengan kematian.

Romadhon dan Gaza: Alarm Keimanan untuk Kita

Sahabatku…
Romadhon mengajarkan kita menahan lapar. Tapi hari ini, Gaza mengajarkan kita arti lapar yang sesungguhnya. Lapar yang bukan pilihan, tapi paksaan.

Romadhon mengajarkan kita sabar. Tapi Gaza memperlihatkan kepada kita makna sabar yang sebenarnya, sabar yang berdarah-darah.

Romadhon mengajarkan kita tentang jihad melawan hawa nafsu. Gaza memperlihatkan kepada kita jihad yang nyata, jihad melawan musuh Allah yang nyata, di depan mata, dengan nyawa sebagai taruhannya.

Maka kalau Romadhon ini tidak meninggalkan bekas di dada kita, tidak mengubah cara kita memandang dunia, tidak menggerakkan kita untuk minimal peduli pada Gaza… maka untuk apa kita puasa? Untuk apa kita lapar?

Kita Mau Jadi Umat Seperti Apa Setelah Romadhon?

Sahabat sekalian…
Mari kita jujur. Romadhon sudah lewat. Tapi Gaza masih dikepung. Gaza masih dibantai. Gaza masih berdarah.

Kita mau jadi umat seperti apa setelah Romadhon? Umat yang kembali sibuk dengan dunia? Sibuk dengan diskon lebaran, sibuk menghitung untung-rugi bisnis, sibuk memikirkan jumlah views Instagram?

Atau kita mau menjadi umat yang bangkit, yang sadar bahwa hari ini umat Islam sedang dilukai, diinjak-injak, dibantai, dan kita tidak bisa lagi diam?

Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Perubahan itu harus kita mulai. Dari diri kita. Dari keluarga kita. Dari anak-anak kita. Dari sekarang.

Gaza Adalah Kita: Jika Kita Diam, Besok Kita yang Akan Dihabisi

Sahabatku…
Gaza itu kita. Gaza adalah simbol kehormatan umat ini. Hari ini mereka dibantai. Tapi jika kita terus diam, besok giliran kita.

Kita tidak sedang bicara Palestina. Kita bicara umat Islam. Kita bicara Masjidil Aqsha. Kita bicara Al-Qur’an yang diinjak-injak. Kita bicara Islam yang sedang dilumat.

Dan kita? Apa yang kita lakukan? Hanya duduk. Hanya menonton. Hanya mengelus dada sambil bilang, “Kasihan ya…”

Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang mereka, dalam cinta mereka, dan dalam empati mereka itu seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan sakit.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Pertanyaannya: masihkah kita bagian dari tubuh itu?

Gaza Memanggil Kita, Allah Menunggu Sikap Kita

Sahabatku…
Gaza hari ini memanggil kita. Bukan untuk dikasihani. Tapi untuk dibela. Untuk disuarakan. Untuk diperjuangkan.

Kalau kita tidak mampu mengirim pasukan, kita kirimkan harta kita. Kalau tidak mampu dengan harta, kita suarakan Gaza di mana pun kita bisa. Kita tulis, kita sebarkan, kita doakan sungguh-sungguh. Dan kalau itu semua tidak mampu, minimal kita pastikan hati kita masih berpihak pada kebenaran.

Dan jangan pernah lupa… nanti kita akan berdiri di hadapan Allah. Dan Allah akan tanya: “Apa yang kau lakukan saat di Gaza sana ada janin yang keluar ke dunia dalam keadaan mati, sesaat setelah ibunya sekarat karena rudal?”

Maka pastikan kita punya jawaban. Pastikan kita tidak diam. Pastikan kita memilih berdiri di barisan yang benar.

Semoga Allah kuatkan Gaza. Semoga Allah kuatkan kita. Semoga Romadhon yang baru saja kita lalui benar-benar melahirkan kita menjadi hamba yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih siap membela agama ini.

Amputasi Tanpa Anestesi

Gaza: Kami Bukan Lagi Sekadar Angka, Kami Adalah Manusia

Anggap saja saya menulis ini dari Gaza. Live. Langsung. Dari tanah yang katanya penuh berkah, tapi hari ini penuh darah. Dari tanah yang konon dijaga malaikat, tapi hari ini dibakar oleh setan berwujud manusia super jahat.

Continue reading

Korupsi Triliunan Dimulai dari Korupsi Menitan

Setiap generasi menghadapi tantangan yang akan menentukan masa depan bangsanya. Generasi pendiri bangsa ini berjuang dengan darah dan air mata untuk meraih kemerdekaan. Generasi setelahnya bertanggung jawab untuk membangun pondasi bagi negeri yang baru saja bebas dari penjajahan. Kini, kita menghadapi tantangan yang berbeda, tetapi dampaknya tidak kalah besar: krisis moral dan hilangnya amanah.

Continue reading

Si Paling Kritikus Pendidikan (Bagian 2)

Mimpi yang Sudah Lama Kita Tulis, Tapi Tidak Juga Kita Wujudkan

Kita bukan bangsa yang tidak punya visi. Kita bukan umat yang kehilangan tujuan.

Lihatlah undang-undang yang kita sepakati. UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 menyatakan:

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Dan diperjelas lagi dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3:

Continue reading