by

Jangan Mati Dulu Sebelum

Diskursus Awal

Kematian adalah diskontinuitas eksistensi yang tidak bisa ditawar. Maut datang tanpa negosiasi, tanpa menunggu persetujuan. Tapi menariknya, Islam mengajarkan bahwa teritori antara hidup dan mati bukanlah segregasi mutlak, ada kontinum amal yang terus mengalir, bahkan setelah jasad menjadi tanah.

Allah mendeklarasikan dengan tegas dalam Al-Quran: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” (QS. Ali-Imran: 185). Ini bukan sekadar informasi, melainkan proposisi filosofis yang mengharuskan kita menyiapkan narasi hidup sebelum epilognya tiba.

Mari kita bedah beberapa imperatif eksistensial yang sebaiknya tidak absen dari biografi hidup kita sebelum ajal menjemput.

Jangan Mati Dulu Sebelum Berdonasi untuk Baitul Maqdis Palestina

Palestina bukanlah sekadar konflik geopolitik. Bumi Al-Quds adalah ekspresi dari pertarungan antara yang haq dan bathil dalam panggung sejarah manusia. Ketika darah mengalir di tanah para nabi, kita yang berdiam di Indonesia tidak bisa hanya berperan sebagai penonton pasif.

Jihad memiliki spektrum yang luas; dari pedang hingga kekayaan. Bagi kita yang jauh dari medan pertempuran, berdonasi adalah modalitas jihad yang paling rasional.

Allah menyatakan dengan jelas: “Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah” (QS. At-Taubah: 41). Perhatikan, jihad harta didahulukan daripada jihad jiwa dalam sintaksis ayat ini. Ini bukan kebetulan redaksional, tetapi prioritas substantif.

Nabi Muhammad juga menegaskan: “Barangsiapa yang memberi bekal seorang mujahid di jalan Allah, maka dia telah berperang” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ini adalah bentuk partisipasi tidak langsung yang diakui validitasnya dalam yurisprudensi Islam.

Ketika Perang Tabuk, Utsman bin Affan menyumbangkan 950 unta beserta perlengkapannya. Rasulullah Muhammad sampai mengatakan, “Tidak akan membahayakan Utsman apa yang dia perbuat setelah hari ini.” Ini adalah deklarasi eksplisit bahwa finansialisasi jihad memiliki nilai transendensi yang tinggi.

Pertanyaannya: apakah dompet kita sudah menjadi instrumen jihad, atau masih sekadar alat konsumsi hedonistik?

Jangan Mati Dulu Sebelum I’tikaf Full 10 Hari Terakhir di Bulan Ramadhan

Modernitas telah menciptakan paradoks: kita semakin terhubung secara digital, namun terasing secara spiritual. I’tikaf adalah antitesis dari keterasingan ini, sebuah isolasi fisik yang justru menciptakan konektivitas metafisik.

Ibunda Aisyah meriwayatkan: “Nabi Muhammad selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ini bukan sekedar ritual, tetapi paradigma eksistensial.

I’tikaf adalah diskontinuitas sementara dengan dunia material untuk menciptakan kontinuitas dengan alam spiritual. Ketika smartphone dinonaktifkan, email tidak direspons, dan media sosial diabaikan, terjadilah dekonstruksi ego yang memungkinkan rekonstruksi spiritualitas.

Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Keheningan adalah bahasa Tuhan, sementara kebisingan adalah bahasa dunia.” I’tikaf adalah ruang hegemoni keheningan di tengah dunia yang hiper-verbal.

Pernahkah anda merenungkan bahwa kubur adalah bentuk i’tikaf permanen? Jika anda tidak mampu melakukan i’tikaf sukarela selama 10 hari, bagaimana anda akan menghadapi i’tikaf paksa untuk waktu yang tidak terhingga?

Mayoritas manusia modern menderita penyakit yang saya sebut “fobia kesendirian”, yakni ketakutan patologis untuk berhadapan dengan diri sendiri tanpa distraksi. I’tikaf adalah terapi radikal untuk patologi ini.

Jangan Mati Dulu Sebelum Sholat dengan Khusyu’

Shalat tanpa khusyu’ seperti jasad tanpa ruh, ada bentuk namun tidak ada esensi. Tragedi terbesar dalam ibadah adalah ketika ritual menjadi otomatis sementara maknanya terevaporasi.

Allah menegaskan: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS. Al-Mu’minun: 1-2). Perhatikan bagaimana khusyu’ menjadi prasyarat pertama keberuntungan, bahkan sebelum zakat dan ketaatan lainnya disebutkan.

Al-Hasan Al-Bashri dengan tegas berkata, “Apa yang bisa dibanggakan oleh orang yang mengaku beriman jika dalam shalatnya dia justru lalai?” Ini adalah kritik epistemologis yang menghentak; bagaimana mungkin mengklaim beriman kepada Yang Ghaib sementara dalam komunikasi langsung dengan-Nya pikiran justru berkelana?

Nabi Muhammad memperingatkan: “Sesungguhnya seseorang selesai shalat dan tidak dicatat untuknya dari shalatnya kecuali separuhnya, sepertiganya, seperempatnya…” (HR. Abu Dawud). Ini adalah audit spiritual yang menunjukkan bahwa kuantitas tidak otomatis berkorelasi dengan kualitas.

Kisah Umar bin Al-Khattab yang tetap menyelesaikan shalatnya meski tertusuk oleh Abu Lu’lu’ah menjadi antitesis dari kondisi kita yang bahkan terganggu konsentrasinya hanya karena suara ponsel bergetar.

Khusyu’ bukan soal teknis, tetapi transformasi ontologis, dari makhluk yang terikat waktu menjadi entitas yang melampaui temporalitas. Ketika khusyu’, anda bukan lagi sekadar tubuh jasmaniah, tetapi ruh yang sedang berkomunikasi dengan Yang Maha Suci.

Jangan Mati Dulu Sebelum Istri Orgasme

Diskursus seksualitas dalam Islam seringkali terjebak dalam dua ekstrem: vulgarisasi atau tabuisasi. Padahal, Islam memiliki perspektif yang sangat proporsional dan filosofis tentang relasi intim suami-istri.

Allah berfirman: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 228). Ayat ini mengandung prinsip resiprokalitas dalam relasi matrimonial, termasuk dalam hal kepuasan seksual.

Rasulullah Muhammad bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian menggauli istrinya seperti binatang” (HR. Ad-Dailami). Ini adalah kritik terhadap relasi seksual yang hanya berorientasi pada hasrat egoistik tanpa mempertimbangkan aspek intersubjektivitas.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan dengan detail bahwa suami harus memastikan kepuasan istrinya tercapai sebelum dirinya. Ini bukan sekadar etika seksual, tetapi manifestasi keadilan interpersonal.

Kisah di masa Umar ibnul Khattab memberikan ilustrasi menarik. Seorang wanita mengadu bahwa suaminya terlalu sibuk beribadah hingga mengabaikan kebutuhan biologisnya. Umar tidak menganggap ini sebagai keluhan sepele, tapi meresponnya dengan serius dan menegur sang suami.

Kepuasan seksual istri adalah parameter keadilan suami. Mengabaikannya berarti melakukan kezaliman terselubung dalam institusi pernikahan. Suami yang egois di ranjang cenderung egois juga dalam aspek kehidupan lainnya.

Mempersiapkan Narasi Akhir

Empat imperatif di atas: berdonasi untuk Palestina, i’tikaf penuh, shalat khusyu’, dan memuaskan istri, mungkin terlihat tidak berkorelasi. Namun sesungguhnya keempatnya memiliki benang merah: keseimbangan antara dimensi vertikal (hubungan dengan Allah) dan horizontal (hubungan dengan sesama) dalam hidup seorang Muslim.

Ahli hikmah pernah berkata, “Hiduplah seperti engkau akan mati besok, dan belajarlah seperti engkau akan hidup selamanya.” Ini adalah formulasi dialektis yang sempurna antara urgensi dan kontinuitas.

Kematian bukanlah akhir narasi, melainkan transisi dari satu bab ke bab lainnya dalam novel kosmik yang ditulis oleh Allah. Pertanyaannya adalah: apakah bab kehidupan dunia kita cukup menarik untuk dijadikan prolog bagi kehidupan akhirat yang kekal?

Jangan sampai kita termasuk dalam kategori yang Allah gambarkan: “Hingga datang kematian kepada salah seorang di antara mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal shalih yang telah aku tinggalkan'” (QS. Al-Mu’minun: 99-100). Ini adalah representasi dari penyesalan yang terlambat, tragedy par excellence dalam drama kehidupan.

Marilah kita bersegera dalam empat imperatif ini sebelum kematian datang tanpa pemberitahuan. Sebab dalam aksioma ontologis Islam, kualitas hidup diukur dari kualitas kematian, dan kualitas kematian ditentukan oleh persiapan sebelumnya.

Wallahu a’lam.

Write a Comment

Comment