by

Cukup Teori & Teori Cukup

Antara Kitab Suci dan Lemak Kehidupan

Ada lelaki usia 38 tahun yang setiap hari membaca Al-Quran. Tiga juz sehari. Tidak pernah absen. Hafal ayat-ayat tentang kejujuran. Tapi kemarin dia menipu pelanggannya dengan mengurangi timbangan. Ada perempuan 39 tahun yang menangis setiap mendengar ceramah tentang surga-neraka. Tapi dia membentak pembantunya karena secangkir teh terlalu manis. Ada seorang imam masjid yang bergetar ketika membaca doa, tapi menunggak biaya sekolah anaknya karena malas bekerja.

Kita punya banyak teori. Sudah cukup teori. Tapi hidup kita tetap carut-marut.

Di usia 40, manusia seperti buah yang seharusnya matang sempurna. Tapi kenyataannya, banyak dari kita yang masih mentah di satu sisi, busuk di sisi lain. Kita menumpuk ilmu seperti menumpuk batu bata tanpa pernah membangun rumah. Kita mengejar dunia seperti mengejar bus terakhir, padahal harusnya di usia ini kita mulai memahami bahwa ada yang lebih penting dari sekadar sampai tepat waktu.

Cukup Teori: Ketika Ilmu Hanya Jadi Pajangan

Subuh itu, seorang pria bangun tergesa. Berwudhu. Shalat. Lalu membuka kitab tafsir. Mencatat dengan rapi. Mengangguk-angguk. Setelah selesai, dia berangkat kerja. Di jalan, dia membunyikan klakson tidak sabar pada nenek yang menyeberang lambat. “Cepat, dasar nenek tua!” teriaknya dari balik kaca mobil. Kitab tafsir itu masih terbuka di meja ruang tamu. Berdebu.

Allah berfirman dalam Surah As-Saff ayat 2-3: “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Sangat besar kemurkaan di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”

Ayat ini tidak perlu tafsir rumit. Maksudnya jelas: jangan cuma ngomong, buktikan dengan tindakan.

Kita paham konsepnya. Tapi kenapa tetap sulit mengamalkannya?

Ilmu kita seperti air dalam gelas plastik. Jumlahnya banyak. Tapi gelas itu bocor. Air menetes sedikit demi sedikit. Siang hari gelas itu sudah kosong. Besoknya kita isi lagi. Bocor lagi. Begitu seterusnya. Kapan airnya akan berguna kalau terus bocor?

Penghalang yang Menahan Kita Mengamalkan Ilmu

Hawa nafsu itu seperti monyet liar. Dia akan melempar segala macam kotoran pada niat baik kita. “Besok saja,” katanya. “Nanti kalau sudah mapan.” “Nunggu naik haji dulu.” “Setelah punya rumah sendiri.” Dan kita dengan bodohnya mengangguk, menyetujui bisikan-bisikan itu.

Futur, kemalasan spiritual, datang seperti pencuri. Tidak mengetuk pintu. Tiba-tiba saja sudah ada di dalam rumah, mengambil semangat kita diam-diam. Kemarin kita bersemangat mengaji setelah dengar ceramah. Hari ini kita lebih memilih nonton serial Netflix. Besok kita lupa pernah berniat mengaji.

Ada lagi yang menarik. Kita kadang bangga dengan ilmu yang kita miliki, tapi lupa bahwa ilmu itu amanah, bukan medali penghargaan. Seperti seseorang yang memamerkan surat warisan tapi tidak pernah mengurus harta warisannya. Untuk apa?

Dan yang paling menyedihkan, kita sering tidak punya cermin yang cukup besar untuk melihat kebohongan diri sendiri. Muhasabah, introspeksi diri, hanya jadi teori lain yang kita pelajari, bukan praktik yang kita jalani.

Jalan Keluar dari Pusaran Teori Tanpa Amal

Seorang nelayan tua pernah berkata pada saya, “Ilmu itu seperti jaring. Kamu bisa membaca seribu kali cara memasang jaring. Tapi kalau tidak pernah mencobanya, sampai kiamat pun kamu tidak akan dapat ikan.”

Mulai hari ini, pastikan setiap ilmu yang kita dapat langsung kita praktikkan, meski kecil, meski sedikit. Baru belajar tentang sedekah? Langsung sedekahkan sebesar (ataupun sedikit) apapun yang anda mampu. Baru paham tentang menjaga lisan? Langsung terapkan dalam percakapan berikutnya. Jangan tunggu sampai sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah.

Carilah teman yang tidak hanya berbicara tentang kebaikan, tapi melakukannya. Lingkungan kita membentuk kita lebih dari yang kita sadari. Berteman dengan pedagang beras, anda akan membawa pulang sedikit beras. Berteman dengan penjual minyak wangi, anda akan tertular wanginya.

Lakukan muhasabah setiap malam. Pertanyaan sederhana: “Ilmu apa yang sudah kupelajari hari ini? Sudahkah kuterapkan?” Catatlah di buku kecil. Besoknya, cek lagi. Ulangi terus.

Teori Cukup: Qona’ah sebagai Pelabuhan Jiwa

Di tengah kota besar, ada sebuah apartemen mewah. Penghuninya seorang eksekutif sukses berusia 40 tahun. Lemari pakaiannya penuh. Garasi mobilnya juga. Tapi setiap malam dia melihat Instagram, membandingkan hidupnya dengan orang lain. Rumah temannya lebih besar. Mobil koleganya lebih mewah. Gadget anak tetangganya lebih canggih. Dia selalu merasa kurang, meski hartanya berlimpah.

Qona’ah, merasa cukup dengan yang ada, bukanlah sikap malas atau menyerah pada keadaan. Qona’ah adalah bentuk kedamaian batin yang tidak tergantung pada kepemilikan material.

Ali bin Abi Thalib berkata, “Qona’ah adalah harta yang tidak akan habis.” Harta bisa hilang. Saham bisa anjlok. Rumah bisa terbakar. Tapi qona’ah akan tetap ada, bahkan bertambah kuat seiring waktu.

Signifikansi Usia 40 Tahun dalam Perjalanan Qona’ah

Ada alasan mengapa Allah menyebut usia 40 tahun dalam Al-Quran: “…hingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun…” (QS. Al-Ahqaf: 15). Di usia ini, kita seharusnya sudah melihat cukup banyak kehidupan untuk memahami bahwa kejar-kejaran dengan dunia tidak akan pernah usai.

Di usia 40, kita seharusnya sudah mengalami cukup kegagalan untuk tahu bahwa tidak semua yang kita inginkan akan kita dapatkan. Kita juga sudah mengalami cukup keberhasilan untuk tahu bahwa tidak semua yang kita dapatkan membuat kita bahagia.

Nabi Muhammad menerima wahyu pertama di usia 40. Ini bukan kebetulan. Ini adalah usia di mana kebijaksanaan seharusnya mencapai titik optimal. Usia di mana kita mulai memahami bahwa hidup bukan tentang mengumpulkan, tapi tentang melepaskan. Bukan tentang mendapatkan, tapi tentang memberi.

Mempraktikkan Qona’ah di Era Digital

Ada paradoks aneh di zaman kita. Semakin banyak yang kita miliki, semakin banyak pula kita merasa kurang. Ponsel model baru keluar, kita merasa ponsel kita sudah ketinggalan zaman, meski baru dibeli enam bulan lalu. Tetangga renovasi rumah, rumah kita yang nyaman tiba-tiba terasa sempit.

Media sosial memperparah situasi ini. Instagram menunjukkan liburan mewah orang lain. TikTok memamerkan gaya hidup yang tidak realistis untuk kebanyaan orang. Kita tersiksa membandingkan hidup kita dengan highlight reels orang lain.

Bagaimana mempraktikkan qona’ah di era seperti ini?

Mulailah dengan membatasi konsumsi media sosial. Seperti makanan, media sosial harus dikonsumsi secukupnya. Kebanyakan hanya akan membuat mental kita sakit.

Latihan sederhana: tuliskan sepuluh hal yang anda syukuri setiap pagi. Mulai dari hal kecil; napas yang masih bisa kita hirup, kaki yang masih bisa melangkah, mata yang masih bisa melihat. Syukur adalah jalan pintas menuju qona’ah.

Tentukan standar “cukup” untuk diri anda sendiri. Tidak perlu mengikuti standar orang lain. Cukup itu ketika kebutuhan anda terpenuhi, bukan ketika keinginan anda tercapai.

Menyatukan Cukup Teori dan Teori Cukup

Ada cerita tentang seorang zuhud yang ditanya muridnya, “Guru, mengapa engkau selalu tampak bahagia meski hidup sederhana?” Sang guru menjawab, “Karena aku menggunakan ilmuku untuk mengatur hasratku, bukan menggunakan hasratku untuk mengumpulkan ilmuku.”

Inilah esensi dari “Cukup Teori” dan “Teori Cukup”. Mengamalkan ilmu yang kita miliki dan merasa cukup dengan apa yang kita punya. Keduanya saling melengkapi seperti dua sisi mata uang.

Islam mengajarkan tawazun; keseimbangan. Ahli hikmah berkata, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.”

Transformasi di Paruh Kedua Kehidupan

Di usia 40, kita berada di puncak bukit. Setengah perjalanan telah kita tempuh. Dari puncak ini, kita bisa melihat jalan yang telah kita lalui dan jalan yang masih harus kita tempuh.

Jangan biarkan paruh kedua hidup anda seperti paruh pertama; mengumpulkan ilmu tanpa amal, mengejar dunia tanpa pernah merasa cukup. Jadikan setiap ilmu yang anda miliki sebagai ladang amal. Jadikan setiap nikmat yang Allah berikan sebagai sumber syukur.

Usia bertambah, ambisi seharusnya berkurang. Bukan berarti berhenti berusaha, tapi mengerti bahwa keberhasilan bukan lagi soal apa yang kita capai, melainkan apa yang kita berikan. Bukan lagi soal seberapa banyak yang kita kumpulkan, melainkan seberapa banyak yang kita bagikan.

Seperti pohon yang semakin tua semakin rindang dan semakin banyak buahnya, begitu pula seharusnya seorang Muslim di usia matang. Semakin banyak naungan yang dia berikan, semakin banyak buah yang bisa dipetik orang lain dari keberadaannya.

Wallahu a’lam.

Write a Comment

Comment