Ide Pendidikan dari Bapak Pendidikan Indonesia (yang Tidak Resmi)

Bukan Dewa-Dewa, tapi Tuhan yang Maha Esa

Bangsa ini mengenal satu nama besar sebagai kompas pendidikannya. Ki Hajar Dewantara. Pemerintah menobatkannya sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Falsafahnya dihafal di luar kepala oleh para guru dan calon guru: Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan. Indah, dan tidak ada yang salah dengan itu.

Dia lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Nama yang ningrat, nama yang Jawa. Lalu dia menanggalkan kebangsawanannya, memilih menjadi rakyat biasa, dan menyematkan nama baru di dadanya: Ki Hajar Dewantara. Mungkin tidak banyak yang berhenti sejenak untuk menguliti arti nama itu. Padahal, nama adalah doa.

Continue reading

Falsafah Tukang Parkir dan Pelancong

Menemukan Ketenangan dan Ketegaran dalam Perjalanan Hidup

Lihatlah dia. Lelaki dengan rompi oranye pudar di depan lobi hotel yang menyilaukan. Ferrari merah berhenti, mesinnya menggeram pelan. Si lelaki sigap membuka pintu. Kunci berpindah tangan. Dia memarkir mobil seharga miliaran itu tanpa getar di hati. Nanti malam, atau besok pagi, pemiliknya akan kembali. Mobil itu akan pergi. Dia tahu itu. Dia tidak pernah berpikir mobil itu miliknya.

Sekarang lihat yang lain. Seorang pengembara dengan ransel usang, duduk di warung pinggir jalan sebuah kota yang asing. Dia makan dengan lahap, memandang lalu-lalang. Kota ini indah, mungkin. Tapi dia tidak akan membangun rumah di sini. Dia hanya singgah. Mengisi perut, menghela napas, lalu melanjutkan perjalanan. Kampung halamannya menunggu.

Dua orang ini, tukang parkir dan pelancong, adalah kita. Atau setidaknya, bagaimana seharusnya kita memandang hidup. Di dalam gerak-gerik mereka yang sederhana, tersimpan falsafah paling dalam untuk menavigasi dunia yang bising ini. Falsafah yang jika kita pegang erat, akan melahirkan ketenangan baja dan ketegaran batu karang.

Continue reading

Agar Tidak Mati Berdiri

Seni Menjadi Hamba di Panggung Takdir

Manusia adalah navigator ulung. Setidaknya, begitu anggapan kita. Di kepala kita, ada peta kehidupan yang tergambar dengan detail presisi. Garis-garisnya tajam: lulus kuliah umur 22, kerja di perusahaan multinasional umur 25, menikah umur 28, punya rumah sebelum 30, anak pertama laki-laki, anak kedua perempuan. Semuanya terukur. Semuanya terkendali.

Kita memegang kemudi kapal kita dengan erat. Kita merasa tahu ke mana angin akan berembus dan kapan ombak akan datang.

Tapi lautan tidak selamanya jinak. Ada kalanya badai datang tanpa diundang. Badai itu bernama takdir Allah. Ia menghantam tanpa ampun, merobek layar harapan kita, mematahkan tiang rencana kita. Peta yang kita banggakan itu mendadak jadi secarik kertas basah tidak berguna. Impian yang dirajut putus. Harapan yang digantungkan jatuh berkeping-keping.

Continue reading