by

Tuhan 200 Gram

Kita Menyembah Apa?

Manusia modern punya Tuhan baru.

Dia kecil, ringan, bisa dibawa ke mana-mana. Beratnya tidak lebih dari 200 gram. Dia tidak meminta ibadah lima kali sehari, tapi manusia tidak bisa lepas darinya walau sesaat.

Namanya smartphone.

Smart katanya. Tapi kalau benda mati ini lebih berkuasa atas hidup kita daripada akal sehat kita sendiri, siapa sebenarnya yang lebih cerdas?

Kita pernah percaya bahwa teknologi membebaskan. Kenyataannya, ia justru memperbudak.

Seorang sufi berkata, “Apa yang paling sering kau pikirkan, itulah Tuhanmu.”

Pikirkan sekarang! Apa yang pertama kali kita cari saat bangun tidur? Apa yang terakhir kita pegang sebelum tidur?

Kalau jawabannya adalah ponsel, maka iya, kita sedang menyembah Tuhan 200 gram ini.

Ketika Pikiran Tidak Lagi Milik Kita

Dulu, kolonialisme hadir dengan kapal perang dan meriam. Sekarang, penjajahan itu tidak lagi berwujud fisik.

Kita tidak perlu dipaksa. Kita menyerah secara sukarela.

Mereka tidak perlu menculik manusia. Kita sendiri yang masuk perangkap, secara sadar.

Caranya?

Sederhana. Disajikan kepada kita layar LED, notifikasi, dan algoritma. Lalu biarkan kita berpikir bahwa kita yang mengendalikan hidup kita sendiri.

Padahal tidak!

Manusia modern menganggap dirinya bebas, padahal ia hanya mengikuti apa yang disediakan oleh sistem.

Kita tidak membaca apa yang kita butuhkan. Kita membaca apa yang disajikan. Kita tidak mencari informasi. Kita menerima informasi yang dipilihkan untuk kita.

Seorang ahli hikmah berkata, “Orang yang tidak sadar akan pikirannya sendiri maka dia telah menjadi budak dari pikirannya.”

Maka kita pun seperti robot. Berjalan dalam pola yang sudah dirancang oleh mereka para teknokrat, yang lebih berkuasa atas teknologi.

Menunduk, Tapi Bukan untuk Berzikir

Pernahkah kita melihat pemandangan ini?

Di masjid, orang-orang menunduk. Tapi bukan karena khusyuk. Mereka bukan sedang berzikir. Mereka sedang mengetik pesan atau melihat notifikasi.

Di meja makan, satu keluarga duduk bersama. Tapi mereka tidak berbicara satu sama lain. Mereka semua sibuk menatap layar masing-masing.

Kita hidup dalam era di mana manusia menunduk bukan karena merendah di hadapan Tuhan, tetapi karena tenggelam dalam dunia maya.

Dulu, kitab suci ada di tangan orang-orang yang beriman. Sekarang, yang ada di tangan kita adalah layar berpendar.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad: 24).

Dulu kita mengenal dosa besar karena melupakan Tuhan. Sekarang, dosa itu bergeser: melupakan trending topic atau hal-hal viral.

Kita tidak kehilangan Tuhan. Kita hanya tidak sadar bahwa kita sedang mengganti-Nya dengan sesuatu yang lain.

Tuhan 200 Gram dan Doa yang Terlupakan

Apa doa pertama kita saat bangun tidur?

Dulu, kita mengucapkan syukur. Sekarang, kita mengucapkan: “Ada pesan baru nggak ya?”

Dulu, orang tidur setelah berdoa. Sekarang, orang tidur setelah scrolling dan sweeping media sosial sampai matanya berat.

Orang-orang mengira kecanduan itu hanya soal rokok, alkohol, dan narkoba. Tapi kecanduan terbesar saat ini adalah layar.

Kita lebih takut kehilangan ponsel daripada kehilangan waktu untuk beribadah.

Lebih cemas ketika baterai habis daripada ketika iman melemah.

Seorang ulama berkata, “Jika engkau tidak mengisi hatimu dengan dzikir kepada Allah, maka ia akan dipenuhi oleh sesuatu yang tidak bermanfaat.”

Dan hati kita kini penuh dengan hiruk-pikuk dunia maya yang seringkali tidak ada gunanya.

Dari Kebebasan ke Ketergantungan

Orang dulu bilang teknologi akan membebaskan manusia.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Kita menjadi budak smartphone. Kita lebih peduli dengan jumlah likes daripada makna hidup.

Kita lebih sibuk membalas komentar daripada berbincang dengan keluarga.

Orang berdebat soal politik di Twitter, tapi diam ketika melihat tetangganya kelaparan.

Kita membangun persona di dunia maya, tapi kehilangan jati diri di dunia nyata.

Apakah ini yang disebut kemajuan?

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian.” (QS. Al-‘Asr: 1-2).

Siapa yang Mengendalikan Siapa?

Dulu, orang menyangka bahwa manusialah yang mengendalikan smartphone.

Tapi kini, kita tahu itu ilusi.

Smartphone tidak sekadar alat. Ia adalah instrumen kontrol.

Ketika kita terlalu lama menatap layar, kita kehilangan waktu. Ketika kita terlalu lama tenggelam dalam dunia maya, kita kehilangan kesadaran akan dunia nyata.

Mereka yang punya akses ke teknologi tahu cara mengontrol manusia. Bukan dengan senjata. Tapi dengan algoritma yang menyedot perhatian kita.

Kita lebih banyak menatap layar daripada menatap wajah orang yang kita cintai.

Lebih banyak berbicara dengan orang asing di internet daripada berbicara dengan orang tua sendiri.

Kita pikir kita memilih. Padahal, kita sedang diarahkan ke pilihan para teknokrat.

Kembali ke Realitas

Lalu, apa solusinya?

Apakah kita harus membuang teknologi? Tidak! (Tapi silahkan jika anda mampu.)

Tapi kita harus kembali mengambil kendali.

Kita yang harus mengatur kapan kita menggunakan teknologi. Jangan biarkan teknologi yang mengatur kapan kita harus berhenti.

Apa yang bisa kita lakukan?

  1. Jeda sejenak dari layar. Coba sehari tanpa ponsel. Lihat bagaimana rasanya. Kalau terasa aneh, berarti kita sudah kecanduan.
  2. Gunakan teknologi dengan sadar. Jika kita tidak bisa membaca Al-Qur’an 10 menit sehari, kenapa bisa scroll media sosial berjam-jam?
  3. Hidupkan kembali percakapan nyata. Matikan ponsel saat makan bersama keluarga. Bicara langsung dengan teman, bukan hanya lewat chat.
  4. Tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini bermanfaat? Jangan biarkan algoritma menentukan apa yang kita lihat. Kita yang harus menentukan sendiri.
  5. Gunakan teknologi untuk hal yang baik. Bukan sekadar hiburan. Tapi untuk belajar, untuk berdakwah, untuk kebaikan.
  6. Menikmati alam. Dunia tidak selebar daun kelor, katanya. Tapi memang benar. Dunia ini indah dan luas, menunggu untuk kita jelajahi.

Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad).

Kalau teknologi bisa digunakan untuk kebaikan, gunakanlah. Tapi kalau ia hanya membuat kita lupa diri, lebih baik kita tinggalkan.

Smartphone: Berhala Baru atau Alat?

Smartphone bisa menjadi alat yang bermanfaat.

Tapi ia juga bisa menjadi Tuhan 200 gram yang mengatur hidup kita.

Pilihannya ada di tangan kita.

Apakah kita akan kembali mengendalikan hidup kita?

Atau tetap menunduk di hadapan layar, menyembahnya tanpa sadar?

Jawabannya tidak ada di teknologi. Jawabannya ada di kesadaran kita.

Kita harus ingat: Tuhan itu bukan layar. Tuhan itu bukan notifikasi. Tuhan itu bukan algoritma.

Tuhan kita adalah Allah.

Dan satu-satunya yang layak disembah hanyalah Dia.

(Terinspirasi dari puisi legendaris Taufik Ismail: “Tuhan Sembilan Senti”)

Write a Comment

Comment