Kita sering dengar Islam itu agama yang lembut, penuh kasih sayang, pembawa damai. Tapi kenyataannya, banyak yang merasa trauma dengan agama ini. Kenapa bisa begitu? Karena bagi sebagian orang, Islam hadir sebagai ancaman. Mereka merasa syariat Islam itu dingin. Tidak ramah. Bukan cahaya, tapi lorong gelap. Bukan teduh, tapi angin yang menerpa dengan kasar. Mereka datang dengan langkah ringan, tapi berbalik dengan rasa takut. Syariat bagi mereka bukan jalan penuh harapan, tetapi pengadilan.
Kita kadang lupa, syariat adalah jalan pulang, bukan ancaman. Bukan tongkat hukuman. Tapi begitulah, yang terlihat justru palu penghakiman yang terangkat.
Namun, apakah ini wajah Islam yang sesungguhnya? Di mana salahnya? Dan kita, adakah turut membuat mereka merasa takut? Mari kita gali lebih dalam.
Ketakutan yang Tertanam
Mereka yang merasa ngeri, bukan tanpa alasan. Bukan hanya karena tidak paham, tapi mereka tidak mendengar suara Islam yang lembut. Yang mereka dengar hanyalah bentakan dan ancaman. Mereka diajari takut sebelum cinta. Setiap larangan dikemas dengan ancaman, seolah Allah itu selalu murka. Padahal bukankah Allah itu Maha Pengampun?
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Berikanlah kabar gembira dan janganlah membuat mereka lari, mudahkanlah dan janganlah mempersulit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Apa yang salah dengan kita? Bukan pada Islamnya, tetapi pada cara kita merangkainya. Seperti seni rupa yang kehilangan warna, syariat yang kita sajikan kadang kaku, dingin, keras. Padahal kita tahu Rasulullah ﷺ mengajarkan kelembutan.
“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Mudah. Ringan. Tapi kita sering lebih suka mengikat mereka dengan hukuman. Hukuman untuk setiap langkah yang sedikit keliru. Kita menciptakan sosok Islam yang terkesan penuh ancaman, seakan setiap langkah salah ada balasan pedih.
Betul bahwa syariat Islam memuat aturan, ada batasan-batasan. Tapi jika semua aturan dibingkai dalam ancaman semata, bukankah itu yang membuat wajah Islam tampak seram?
Mereka terluka. Bukan oleh syariat, tapi oleh cara kita membawakannya.
Mengapa Syariat Terasa Berat?
Bagaimana jika syariat disampaikan seperti hadiah, seperti janji yang dirindukan? Bukankah setiap manusia lebih suka dipeluk, bukan dihukum? Bukankah lebih mudah mencintai sesuatu yang memberi harapan daripada yang membebani?
Dalam Al-Baqarah: 286, Allah berfirman,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Lalu, mengapa kita terus membuat mereka merasa tertekan? Mereka melihat syariat sebagai beban. Padahal syariat bukanlah jeruji penjara, tapi tali pengikat yang lembut, yang memeluk tanpa melukai. Syariat bukan sekadar aturan, tetapi juga rahmat. Hadiah yang membawa ketenangan, bukan kecemasan.
Syariat seharusnya membawa keringanan. Tapi bagi sebagian, syariat justru jadi beban. Kenapa bisa begitu? Karena cara kita menyampaikan syariat selalu bermula dari ketakutan, bukan dari harapan. Mereka yang terlukai oleh syariat adalah mereka yang hanya mendengar hukuman tanpa pernah merasakan solusi. Kita lupa bahwa Islam itu tawaran solusi untuk setiap masalah.
Coba kita baca surat An-Nur: 31:
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.”
Lihat gaya bahasa Al-Qur’an. Ketika Allah memerintahkan taubat, Dia tidak langsung bicara soal hukuman. Allah bicara soal keberuntungan, sebuah hadiah yang menanti. Harapan yang diberikan lebih besar dari rasa takut. Tapi kita, justru lebih suka mengedepankan hukuman.
Kita perlu belajar lagi, tentang syariat yang lebih dalam, yang tidak hanya berakhir pada “jangan ini, jangan itu!”
Allah berfirman dalam Al-Ma’idah: 6,
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”
Kenapa Harus Hadiah?
Hadiah adalah sesuatu yang diterima dengan sukacita, dengan penuh syukur. Coba bayangkan jika syariat yang mereka kenal adalah hadiah yang menenangkan hati, bukan pukulan yang menakutkan. Mereka akan berbondong-bondong, datang dengan rindu, bukan dengan ketakutan. Mereka tidak akan berlari, tapi justru menjemput.
Islam akan dipandang sebagai sebuah jalan hidup yang membuat orang merasa diundang, bukan diusir. Bukan sekadar aturan, tetapi solusi yang menjadi lentera bagi yang tersesat. Islam yang menawarkan harapan, yang membuat jiwa-jiwa terluka merasa dihibur, merasa dicintai.
Allah berfirman dalam Az-Zumar: 53:
“Katakanlah, wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”
Ini adalah wajah Islam yang penuh cinta, bukan ancaman yang membuat takut. Mereka yang mendekat, akan datang dengan hati yang bersih. Mereka akan merasa diterima, karena yang mereka temui adalah Islam yang penuh rahmat.
Kita Belum Mengerti Cinta-Nya
Bagaimana jika selama ini kita yang belum mengerti cinta-Nya? Mungkin kita terlalu cepat menghakimi, terlalu kaku dalam memberi batas. Kita lupa bahwa Islam itu ada bukan untuk membuat orang ketakutan, tapi untuk membuat mereka merasa damai, disayangi.
Syariat adalah bunga yang mekar. Di dalamnya ada pesan-pesan cinta, ada janji ampunan, ada jalan keselamatan. Tapi jika kita hanya menunjukkan sisi keras, tentu orang akan merasa jauh. Karena cinta dari Allah, Islam ada untuk semua. Bukan hanya untuk mereka yang taat sempurna, tapi juga bagi yang masih mencari arah.
Islam Sebagai Solusi, Bukan Penghakiman
Kita bisa memilih bagaimana mengenalkan Islam. Bukan dengan memaksa atau menghakimi, tapi dengan hadir sebagai jawaban. Mereka yang terluka, biarkan Islam menjadi perban bagi hatinya. Mereka yang merasa terasing, biarkan syariat menjadi rumah yang menyambut mereka dengan hangat.
Lihatlah bagaimana Rasulullah ﷺ memperlakukan yang datang kepadanya. Mereka yang datang dengan dosa, dengan kesalahan, beliau sambut dengan harapan, bukan dengan penghakiman.
“Barang siapa yang taubat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah akan menerima taubatnya.” (HR. Muslim)
Ada harapan bagi setiap orang. Dan itulah yang harus kita bawa, Islam sebagai cahaya, bukan sebagai tembok penghalang.
Jalan Pulang Bagi Mereka yang Terluka
Syariat, dalam wajah aslinya, adalah jalan pulang. Bukan karena ancaman, tetapi karena cinta dan rahmat. Mereka yang terluka mungkin akan datang kembali jika yang mereka lihat bukan penghakiman, tapi maaf yang penuh kehangatan.
Syariat yang mereka kenal kini berubah menjadi luka. Tapi luka itu bisa sembuh. Jika kita sajikan dengan wajah yang ramah, dengan suara yang penuh kasih. Mari kita undang mereka pulang, dengan syariat sebagai hadiah. Agar mereka tahu, bahwa Islam adalah tempat untuk jiwa-jiwa yang ingin berteduh, bukan untuk yang merasa terhakimi.
Mari kita sajikan Islam dengan keindahan yang utuh. Islam bukan nama yang horor, tapi adalah sebuah janji harapan. Dan untuk mereka yang terluka, Islam akan selalu punya jalan pulang.