by

Teologi Al-Kafirun

Toleransi yang Mulai Menyimpang

Toleransi; kata ini begitu akrab di telinga kita. Pada awalnya, toleransi adalah tentang saling menghormati perbedaan. Namun, kata ini kini telah dipelintir, digunakan sebagai senjata untuk mengaburkan batas-batas yang harusnya jelas.

Saat ini, kita diajarkan untuk menghargai perbedaan, tapi sering kali yang terjadi adalah penghapusan batas antara yang hak dan yang batil. Kata toleransi seolah-olah mengharuskan kita untuk menghilangkan identitas kita demi menciptakan kedamaian palsu. Padahal, Islam mengajarkan kita untuk tetap teguh pada prinsip, tanpa harus mengorbankan perbedaan itu.

Jika toleransi berarti menyerahkan prinsip-prinsip agama kita, apakah itu masih toleransi yang sejati? Toleransi bukanlah tentang menurunkan standar moral kita, melainkan tentang menghormati hak orang lain untuk berkeyakinan. Tetapi seringkali, kebebasan beragama disalahartikan sebagai kebebasan untuk mencampur adukkan keyakinan.

Kita hidup di dunia yang plural, memang. Tetapi itu bukan alasan untuk mengaburkan perbedaan. Seperti yang diajarkan oleh Allah dalam surah Al-Kafirun, perbedaan itu harus ada, dan kita harus hidup berdampingan tanpa mengurangi hakikat ajaran kita.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Katakanlah: ‘Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah’.” (QS. Al-Kafirun: 1). Dari sini kita belajar bahwa toleransi bukan berarti menyamakan segala sesuatu. Dalam agama, ada kebenaran yang harus kita pegang teguh.

Menghormati Tanpa Mengurangi Keimanan

Islam mengajarkan kita untuk hidup berdampingan dengan siapa pun, termasuk mereka yang berbeda agama. Namun, prinsip dasar yang harus kita pegang adalah bahwa kita tidak bisa mengaburkan kebenaran dengan kebatilan. Toleransi dalam Islam bukanlah tentang menerima segala sesuatu, tetapi tentang memberi ruang bagi perbedaan.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama.” (QS. Al-Mumtahanah: 8). Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada orang lain, tetapi tanpa harus mengorbankan keyakinan kita.

Toleransi yang sejati adalah ketika kita bisa hidup berdampingan dengan orang lain tanpa merusak keyakinan kita. Toleransi bukan berarti kita ikut-ikutan dalam praktik ibadah mereka, melainkan saling menghargai tanpa mencampur adukkan ajaran agama. Islam mengajarkan kita untuk tegas dalam keyakinan, namun tetap memberi ruang bagi orang lain untuk menjalani agama mereka.

Toleransi yang sejati berarti menjaga prinsip tanpa mengorbankannya demi kedamaian semu. Menghormati agama orang lain, tetapi tetap berkomitmen pada ajaran yang kita yakini. Itu adalah pengertian toleransi dalam Islam, yang memberikan hak untuk beribadah dengan cara kita sendiri tanpa mengganggu hak orang lain.

Islam mengajarkan kita untuk menjadi umat yang moderat, tidak ekstrim, tetapi juga tidak lemah. Ketegasan dalam menjaga akidah bukan berarti kita tidak toleran, tetapi justru itulah bentuk toleransi yang sejati: tidak membiarkan keyakinan kita tergoyahkan oleh pengaruh luar.

Al-Kafirun: Kisah tentang Campur Aduk yang Berbahaya

Pernahkah kita membayangkan bagaimana jika semua agama bisa menjadi satu? Pemuka Quraisy pernah menawarkan sebuah kompromi kepada Nabi Muhammad, untuk bersama-sama menyembah Tuhan berhala mereka selama sepekan, lalu berganti menyembah Allah, Tuhan orang Islam selama sepekan berikutnya. Tawaran yang nampak damai, bukan?

Itu adalah tawaran yang menarik jika kita lihat dari permukaan, semuanya jadi terasa lebih mudah, tidak perlu ada pemisahan yang tegas antara agama. Tetapi inilah masalahnya, tawaran itu justru berbahaya. Ia berusaha mengaburkan batas antara yang benar dan yang salah, antara yang haq dan yang batil.

Al-Kafirun turun sebagai jawaban tegas dari Allah. “Katakanlah, wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.” (QS. Al-Kafirun: 1). Tidak ada kompromi dalam masalah akidah. Allah dengan jelas menyatakan bahwa agama kita tidak bisa dipertukarkan atau dicampuradukkan dengan agama lain.

Bukan hanya itu, tawaran semacam ini adalah ujian untuk umat Islam. Akankah kita mempertahankan kebenaran yang sudah kita terima, ataukah kita akan tergoda untuk mencampuradukkan ajaran yang haq dengan kebatilan demi kedamaian semu? Surah Al-Kafirun mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa mencampuradukkan antara yang haq dan yang batil.

Sikap teguh terhadap agama dan keyakinan kita adalah inti dari toleransi yang sejati. Tidak ada ruang bagi pemaksaan atau kompromi dalam hal akidah. Islam mengajarkan kita untuk menghormati, tetapi tidak mengorbankan prinsip kebenaran.

Relativisme Agama: Akhir dari Toleransi yang Asli

Sekarang ini, kita sering mendengar ide bahwa semua agama itu sama. Semua agama dianggap bisa mengarah pada Tuhan yang sama, bahwa pada akhirnya, kita semua sama. Ini adalah relativisme agama, sebuah pemahaman yang seolah-olah memudahkan segala sesuatu. Tetapi, relativisme ini justru menciptakan kebingungan.

Al-Qur’an dengan tegas menyatakan, “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Tidak ada agama selain Islam yang diterima di sisi Allah. Tidak ada jalan lain menuju Allah selain dengan Islam. Maka, relativisme agama adalah pandangan yang keliru, karena ia mencoba meruntuhkan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Allah.

Relativisme agama akan membuat kita kehilangan arah. Ketika semua agama dianggap sama, maka kita tidak lagi bisa membedakan yang haq dan yang batil. Padahal, agama yang benar adalah yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu Islam, dan segala yang bertentangan dengannya adalah kebatilan.

Menganggap semua agama itu sama adalah sebuah kesalahan besar. Itu artinya kita tidak lagi mengenal perbedaan yang jelas antara yang benar dan yang salah. Islam mengajarkan kita untuk tegas dalam mempertahankan prinsip kita, tanpa terjebak dalam kebingungan relativisme agama.

Ketika toleransi menjadi senjata untuk mereduksi ajaran agama kita, kita harus berhati-hati. Toleransi sejati adalah ketika kita bisa menghormati orang lain tanpa mengorbankan prinsip kita. Relativisme agama hanya membawa kebingungan, dan itu harus kita hindari.

Al-Kafirun: Penegasan terhadap Batas Agama

Surah Al-Kafirun adalah sebuah penegasan yang jelas tentang batas antara yang haq dan yang batil. Allah menurunkan wahyu ini untuk menegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam hal agama. “Untukmu agamamu, untukku agamaku,” adalah prinsip dasar yang harus kita pegang teguh.

Toleransi sejati bukan berarti kita harus mengorbankan prinsip kita untuk menjaga kedamaian. Toleransi adalah tentang memberi ruang bagi perbedaan tanpa kehilangan identitas kita. Kita harus tetap teguh pada keyakinan kita, sementara menghormati hak orang lain untuk menjalani agama mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat bergaul dengan siapa saja tanpa harus mencampuradukkan agama. Toleransi bukanlah menyamakan segala sesuatu, tetapi memberikan ruang bagi perbedaan. Al-Kafirun mengajarkan kita bahwa kita tidak bisa mencampuradukkan yang haq dengan yang batil.

Toleransi yang sejati adalah menghargai hak orang lain untuk beragama, tanpa kehilangan prinsip kita. Al-Kafirun adalah pengingat bahwa tidak ada tempat untuk kompromi dalam hal akidah. Kita bisa hidup berdampingan dengan damai, tetapi kita harus menjaga batas yang jelas antara yang benar dan yang salah.

Akhirnya, kita harus memahami bahwa agama bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar. Toleransi bukan tentang menurunkan standar keyakinan kita, melainkan tentang hidup berdampingan tanpa mengaburkan prinsip agama kita. Al-Kafirun adalah pedoman yang mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kebenaran di tengah perbedaan.

Write a Comment

Comment