Indonesia adalah tanah yang diberkahi oleh Allah, dihuni oleh umat dengan keanekaragaman suku, bahasa, dan agama. Di dalam rahmat-Nya, Sumpah Pemuda menjadi salah satu peristiwa monumental yang mempersatukan anak-anak bangsa dari berbagai latar belakang, dari berbagai penjuru tanah air.
Pada tahun 1928, generasi muda dari berbagai wilayah dan organisasi berkumpul untuk mengikrarkan janji bagi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Ikrar itu bukan hanya sekadar pernyataan, tetapi amanah yang berat. Di balik setiap kata dalam Sumpah Pemuda, terdapat kesadaran yang mendalam untuk berbakti kepada bangsa dan menjaga martabat yang telah Allah berikan.
Seorang Muslim Nasionalis melihat Sumpah Pemuda bukan hanya sebagai janji bagi bangsa, tetapi juga bagi keimanan. Persatuan adalah salah satu inti ajaran Islam yang ditegaskan dalam firman Allah, “Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai” (QS. Ali Imran: 103). Ayat ini menjadi pondasi bagi seorang Muslim untuk memahami makna Sumpah Pemuda sebagai bentuk pengabdian kepada Allah, seraya berjuang untuk persatuan bangsa.
Makna Sumpah Pemuda bagi Muslim Nasionalis
Bagi seorang Muslim Nasionalis, Sumpah Pemuda adalah cerminan tanggung jawab kita di bumi ini. Kita adalah penjaga persatuan, seperti seorang ayah yang menjaga keluarganya dari pecah belah. Dalam Islam, seorang Muslim diberi tugas sebagai khalifah, sebagai pemimpin yang merawat dan melindungi. QS. Al-Baqarah: 30 menjadi saksi bahwa kita tidak diciptakan hanya untuk diri sendiri. Kita dipanggil untuk menjadi bagian dari kebaikan yang menyeluruh, menyatukan jiwa-jiwa dalam ikatan ukhuwah.
Janji itu tidak ringan, tapi ia adalah keindahan yang menggugah. Seperti halnya sebuah syair yang bergema dari hati ke hati, Sumpah Pemuda menuntun kita menuju persatuan. Ia mengajak kita untuk memandang setiap anak negeri sebagai saudara, untuk merasakan sakit dan senangnya, untuk tidak pernah berlepas tangan.
Nilai Islam dalam Spirit Sumpah Pemuda
Prinsip Persatuan (Ukhuwah)
Islam mengajarkan ukhuwah, persaudaraan yang tidak mengenal batas geografis. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan sakitnya” (HR. Muslim). Ukhuwah bukan sekadar kata; ia adalah ikatan yang mendalam, yang melebihi hubungan darah atau kepentingan. Bagi seorang Muslim Nasionalis, ukhuwah ini menjadi landasan untuk terus berjuang bagi persatuan bangsa.
Sumpah Pemuda meneguhkan bahwa persatuan bukan hanya slogan. Ia adalah nyawa yang mengalir di antara kita, mengikat kita dalam satu nasib, satu takdir. Saat anak-anak bangsa itu berdiri bersama, mereka memahami bahwa persatuan itu adalah tugas, sebuah kepercayaan dari Allah yang harus dijaga dengan sepenuh hati. Mereka tahu, tanpa ukhuwah, bangsa ini tidak akan teguh berdiri.
Prinsip Keadilan dan Toleransi
Islam menjunjung tinggi keadilan. Tanpa keadilan, persatuan hanyalah ilusi. Allah memerintahkan kita dalam QS. Al-Nisa: 135, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap orang tua dan kaum kerabat.” Keadilan bukan sekadar prinsip; ia adalah pilar yang membuat persatuan tetap kokoh.
Bagi seorang Muslim Nasionalis, Sumpah Pemuda adalah janji untuk memperjuangkan keadilan bagi setiap anak bangsa, tanpa memandang asal-usul atau keyakinan. Kita tidak boleh hanya menyuarakan persatuan, tanpa memastikan bahwa setiap orang mendapatkan haknya. Islam mengajarkan kita untuk toleran, untuk menerima keberagaman sebagai bentuk dari kekuasaan Allah, bukan sebagai alasan untuk berpecah-belah. Karena persatuan tanpa keadilan adalah seperti bangunan tanpa pondasi.
Kontribusi Pemuda Muslim dalam Pergerakan Nasional
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, para pemuda Muslim tidak hanya berikrar; mereka bertindak. HOS Tjokroaminoto muncul dari rakyat, dari jerit para buruh dan petani yang haus akan keadilan. Dia bukan hanya bicara tentang keadilan, tetapi dia memanifestasikannya dalam organisasi dan aksi. Sarekat Islam yang dipimpinnya menjadi tempat di mana rakyat kecil mendapat suara.
Lalu ada KH. Agus Salim, seorang diplomat yang membawa Indonesia ke mata dunia. Agus Salim adalah potret seorang Muslim yang berani melangkah ke mana saja, tanpa kehilangan identitas. Dia adalah bukti bahwa nasionalisme dan Islam bisa berjalan seiring, bahwa seorang Muslim tidak kehilangan jati dirinya ketika dia bicara tentang bangsa.
Dan ada Mohammad Natsir, seorang pemikir dan pejuang yang mempersembahkan hidupnya untuk tanah air. Melalui Mosi Integral Natsir, dia membawa Indonesia kembali ke pangkuan NKRI. Baginya, tanah ini adalah amanah, dan kesatuan adalah sebuah ibadah. Dia meyakini, seorang Muslim Nasionalis tidak bisa berlepas diri dari cinta pada tanah air. Cinta itu adalah tanggung jawab, sebuah tugas suci yang harus dipikul dengan penuh keikhlasan.
Tantangan dan Peluang bagi Muslim Nasionalis di Era Modern
Menjaga Persatuan di Tengah Pluralitas
Di era ini, pluralitas adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Dan di tengah keragaman ini, menjaga persatuan menjadi tantangan yang nyata. Islam mengajarkan kita untuk memelihara keragaman, untuk tidak memaksakan kehendak. Dalam QS. Al-Hujurat: 13, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” Tugas kita adalah mengenal, memahami, bukan saling menjatuhkan.
Bagi Muslim Nsionalis, pluralitas adalah ladang untuk menyebarkan kebaikan. Mereka tidak melihat perbedaan sebagai penghalang, tetapi sebagai kesempatan untuk memperkuat ikatan. Mereka tahu, persatuan di atas pluralitas adalah jalan yang penuh tantangan, tetapi itulah jalan yang dipilih oleh Allah untuk kita.
Peran Pemuda Muslim di Era Globalisasi
Globalisasi membawa tantangan yang berbeda. Radikalisme, intoleransi, dan godaan budaya yang tidak sejalan dengan ajaran kita adalah tantangan yang terus-menerus muncul. Pemuda Muslim Nasionalis harus kuat dalam iman dan terbuka dalam wawasan. Mereka harus menjadi seperti pohon yang akarnya kuat, tetapi dahannya bisa bergerak mengikuti angin. Karena di era ini, keteguhan iman harus diiringi dengan kebijaksanaan.
Peluang untuk Berkontribusi dalam Pembangunan Bangsa
Peluang untuk berkontribusi selalu ada. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ahmad). Bagi pemuda Muslim, setiap kesempatan adalah panggilan untuk memberi, untuk menjadi bagian dari pembangunan bangsa. Mereka menyadari, kontribusi yang mereka berikan adalah bukti cinta pada tanah air. Cinta itu bukan hanya kata, tetapi tindakan yang nyata.
Penutup
Sumpah Pemuda adalah sebuah janji yang hidup, sebuah amanah yang terpatri dalam hati setiap anak bangsa. Bagi seorang Muslim Nasionalis, sumpah ini adalah panggilan dari Allah, sebuah ikatan yang tidak boleh dilepaskan. Persatuan, keadilan, dan toleransi adalah warisan yang harus kita jaga, nilai-nilai yang membuat bangsa ini tetap kokoh berdiri.
Sumpah itu bukan sekadar kata-kata, tapi doa yang terbang ke langit, harapan yang disematkan pada setiap generasi. Di hadapan Allah dan di hadapan bangsa, kita bersumpah, untuk menjaga tanah ini dengan sepenuh jiwa.