by

Si Paling Kritikus Pendidikan (Bagian 2)

Mimpi yang Sudah Lama Kita Tulis, Tapi Tidak Juga Kita Wujudkan

Kita bukan bangsa yang tidak punya visi. Kita bukan umat yang kehilangan tujuan.

Lihatlah undang-undang yang kita sepakati. UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 menyatakan:

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Dan diperjelas lagi dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.”

Indah. Jelas. Menggugah.

Tapi pertanyaannya, kenapa pendidikan kita tak juga menampakkan wajah yang sesuai dengan cita-cita itu?

Apakah tujuan itu benar-benar kita bawa dalam sistem pendidikan kita, atau ia hanya jadi untaian kalimat yang terbingkai rapi dalam dokumen negara?

Atau kita hanya sibuk menulis jargon dan mengejar peringkat PISA?

Sekolah yang Sibuk Mengajar, Tapi Lupa Mendidik

Ada perbedaan antara mengajar dan mendidik.

Mengajar adalah mentransfer ilmu. Mendidik adalah membentuk manusia.

Hari ini, sekolah kita sibuk mengajarkan rumus-rumus, teori-teori, hafalan-hafalan. Tapi apakah ia membentuk pribadi-pribadi beriman? Apakah ia menanamkan karakter akhlak yang mulia?

Atau justru, ia hanya menjadi tempat di mana anak-anak berkompetisi dalam angka, lalu melupakan adab dan moralitas?

Imam Malik mengingatkan:

“Pelajarilah adab sebelum ilmu.”

Jargon “Karakter” yang Kosong Makna

Setiap tahun ada seminar tentang pendidikan karakter. Setiap kurikulum baru selalu ada jargon tentang pembentukan akhlak.

Tapi, mari kita lihat kenyataannya.

Apakah pendidikan kita benar-benar membentuk karakter?

Atau hanya sibuk dengan teori-teori psikologi Barat tanpa memahami hakikat manusia dalam Islam?

Seharusnya, jika iman dan takwa benar-benar menjadi dasar pendidikan, maka setiap mata pelajaran harus berorientasi pada tauhid.

  • Matematika dan Fisika mengajarkan keindahan ciptaan Allah.
  • Biologi menumbuhkan rasa syukur atas tubuh dan alam semesta.
  • Sejarah mengajarkan kebijaksanaan umat terdahulu.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ilmu dipisahkan dari iman.

Kita mengajarkan teknologi, tapi lupa mengajarkan adab dan akhlak.
Kita mengajarkan ekonomi, tapi tidak membangun kesadaran tentang halal dan haram.
Kita mengajarkan sains, tapi gagal mengajarkan kebesaran Sang Pencipta.

Padahal Imam Malik pernah berkata:

“Ilmu itu bukan sekadar banyaknya riwayat, tetapi cahaya yang Allah tanamkan dalam hati.”

Jika pendidikan kita kehilangan cahaya itu, maka ia hanya akan melahirkan generasi yang cerdas tapi gelap arah.

Pendidikan yang Tidak Lagi Menghidupkan Hati

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
(QS. Al-Hajj: 46)

Buta yang sesungguhnya bukanlah buta mata. Tapi buta hati.

Dan inilah yang harus kita renungkan dalam sistem pendidikan kita.

Pendidikan yang tidak menumbuhkan kesadaran.
Pendidikan yang tidak menyinari hati dengan cahaya iman.
Pendidikan yang sibuk membangun kecerdasan, tapi tidak mengajarkan makna.

Lalu, lahirlah generasi yang kaya intelektualitas, tapi miskin moralitas.

Rapor yang Penuh Angka, Tapi Kosong Makna

Mari kita lihat bagaimana kita menilai anak-anak kita.

Nilai matematika? 85.
Nilai biologi? 90.
Nilai sejarah? 78.

Tapi bagaimana dengan nilai kejujuran?
Bagaimana dengan nilai kebaikan hati?
Bagaimana dengan nilai kesabaran, keikhlasan, kedermawanan?

Apakah rapor kita mencatat seberapa sering seorang anak membantu temannya?
Apakah ia menuliskan bagaimana dia berbakti kepada orang tuanya?

Pendidikan kita hanya sibuk menilai yang tampak. Tapi tidak peduli dengan apa yang ada di dalam hati.

Padahal, di sisi Allah, bukan kecerdasan yang menjadi ukuran.

Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)

Lalu, apakah pendidikan kita juga melihat ke arah yang sama?

Guru yang Dipaksa Sibuk dengan Administrasi, Lupa dengan Hakikat Pendidikannya

Dulu, guru itu teladan. Guru itu pendidik jiwa. Guru itu orang yang dikenang karena nasihatnya, bukan hanya karena tugas-tugasnya.

Tapi hari ini, lihatlah apa yang terjadi.

Guru lebih banyak mengisi laporan daripada mengisi hati anak-anak.
Guru lebih sibuk mengejar target kurikulum daripada menanamkan hikmah dalam pelajaran.
Guru lebih disibukkan dengan aturan-aturan administratif daripada menjadi sosok yang bisa diteladani.

Pendidikan kehilangan sosok-sosok yang seharusnya menjadi ruhnya.

Bagaimana mungkin kita ingin membentuk generasi beradab, jika pendidiknya sendiri tidak diberi ruang untuk benar-benar mendidik?

Jargon Tidak Akan Mengubah Apa-apa Jika Tidak Diamalkan

Kita punya terlalu banyak jargon.

Pendidikan karakter.
Pembelajaran berbasis moral.
Kurikulum berbasis nilai-nilai luhur.

Tapi di mana implementasinya?

Di sekolah, akhlak hanya jadi pelajaran tambahan. Di rumah, pendidikan hanya sebatas soal nilai ujian. Di masyarakat, ilmu hanya dijadikan alat untuk mencari gelar dan pekerjaan.

Allah di dalam Al-Qur’an menegur kita:

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”
(QS. As-Saff: 2)

Jargon tidak akan mengubah apa-apa jika hanya sebatas jargon.

Pendidikan tidak akan melahirkan manusia beradab jika yang kita kejar hanya angka, ranking, dan sertifikat.

Solusi: Kembali ke Jalan yang Benar

Kita tidak butuh sistem baru. Kita tidak perlu seminar dan lokakarya yang membahas ulang visi pendidikan.

Kita hanya perlu kembali ke jalan yang telah lama kita sepakati, tapi kita abaikan sendiri.

  1. Pendidikan Harus Menghidupkan Hati, Bukan Hanya Mengisi Pikiran
    • Ilmu harus dikaitkan dengan iman.
    • Kurikulum harus berbasis pada nilai-nilai Islam, bukan hanya teori sekuler.
  2. Guru Harus Kembali Menjadi Pendidik, Bukan Sekadar Pegawai Administratif
    • Kurangi beban administratif guru.
    • Berikan ruang bagi mereka untuk benar-benar membimbing dan menanamkan nilai-nilai kehidupan.
  3. Rapor Harus Mencerminkan Kepribadian, Bukan Sekadar Angka
    • Evaluasi pendidikan harus mencakup moral dan karakter.
    • Orang tua harus diberi laporan perkembangan akhlak anak mereka, bukan hanya hasil ujian.
  4. Jangan Hanya Bicara, Tapi Benar-Benar Menerapkan
    • Jika iman dan takwa adalah tujuan pendidikan, maka semua kebijakan harus berorientasi ke sana.
    • Pendidikan karakter harus menjadi kenyataan, bukan sekadar retorika.

Pendidikan Harus Kembali ke Ruhnya

Kita sudah lama tersesat.

Bukan karena kita tidak punya tujuan. Tapi karena kita mengabaikan arah yang telah jelas.

Pendidikan kita kehilangan ruhnya. Ia sibuk dengan angka, tapi melupakan karakter. Ia mengejar gelar, tapi melupakan moral.

Jika kita ingin menyelamatkan generasi ini, kita harus berani kembali ke jalan yang benar.

Bukan dengan jargon. Bukan dengan program-program baru yang hanya berisi retorika.

Tapi dengan benar-benar mendidik. Dengan kembali menjadikan iman, takwa, dan akhlak sebagai inti dari pendidikan.

Karena tanpa itu semua, pendidikan ini hanya akan melahirkan manusia-manusia cerdas, tapi culas dan menggilas mereka yang berbeda kelas.

Write a Comment

Comment