Sekolah Itu Harga Mati?
Sekolah telah menjadi berhala baru dalam masyarakat modern. Orang tua menyerahkan anak-anak mereka dengan keyakinan penuh, seolah sekolah adalah institusi ajaib yang akan mencetak manusia unggul. Padahal, siapa yang bertanggung jawab atas mutu pendidikan masih menjadi teka-teki.
Di negeri ini, pendidikan dipecah-pecah seperti wilayah kekuasaan. Sekolah umum dikelola Kemendikbud, madrasah diurus Kemenag, dan masing-masing punya aturan sendiri. Seolah ilmu agama dan ilmu dunia harus berjalan di jalur yang berbeda.
Kita sering membanggakan sistem pendidikan nasional. Katanya bertujuan mencetak manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Namun, yang lebih dijunjung justru angka-angka dan ranking akademik.
Pendidikan Islam mengajarkan bahwa ilmu harus membawa manusia kepada kebaikan. Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda, “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Namun, sekolah modern lebih sering membawa kebingungan daripada kemudahan.
Ilmu yang sejati adalah yang bermanfaat, bukan yang hanya memenuhi kurikulum. Imam Malik pernah berkata, “Ilmu itu bukan sekadar banyak riwayat, tetapi cahaya yang Allah letakkan dalam hati.” Tapi di sekolah, ilmu diperlakukan seperti barang dagangan, dihargai dengan angka, lalu dilupakan begitu saja.
Angka-angka yang Didewakan
Sekolah modern mengajarkan murid bahwa angka adalah segalanya. Nilai tinggi dianggap sebagai tanda kecerdasan, sedangkan nilai rendah adalah tanda kegagalan. Seolah-olah hidup hanya bisa diukur dengan ujian tertulis.
Anak-anak diajari menghafal fakta, tapi tidak diajari berpikir. Mereka diajari mengejar ranking, tapi tidak diajari memahami makna hidup. Mereka belajar untuk mendapatkan nilai, bukan untuk mendapatkan hikmah.
Banyak orang tua hanya peduli pada rapor anak-anak mereka. Mereka lebih bangga jika anaknya juara kelas, daripada jika anaknya menjadi pribadi yang jujur dan berakhlak mulia. Sekolah telah menjadi ladang kompetisi tanpa arah.
Di dalam Islam, kecerdasan bukan sekadar soal akademik. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menambah ketakwaan seseorang kepada Allah.” Tapi di sekolah, ilmu justru sering memisahkan manusia dari Tuhan mereka.
Sistem pendidikan yang memuja angka telah melahirkan generasi yang kehilangan makna. Anak-anak lulus dengan nilai tinggi, tapi tidak tahu bagaimana menjalani kehidupan. Mereka tahu teori, tapi gagal memahami hakikat ilmu yang sesungguhnya.
Kurikulum yang Sarat Beban, Tapi Kosong Makna
Kurikulum terus berubah, tapi hasilnya tetap mengecewakan. Pendidikan kita lebih sering bereksperimen, sementara anak-anak dijadikan kelinci percobaan. Yang berubah hanya istilah, tapi hakikatnya tetap sama: pendidikan yang tidak membentuk manusia.
Para guru mengeluh, para murid kebingungan, tapi sistem terus berjalan tanpa arah yang jelas. Mereka dijejali banyak mata pelajaran, tapi sedikit sekali yang benar-benar berguna. Mereka hafal teori sains, tapi tidak tahu bagaimana menggunakannya dalam kehidupan.
Sekolah telah menjadi tempat menumpuk hafalan tanpa pemahaman. Anak-anak diajari rumus, tapi tidak diajari bagaimana berpikir logis. Mereka menghafal sejarah, tapi tidak diajari bagaimana belajar dari sejarah.
Pendidikan dalam Islam selalu berorientasi pada amal. Ilmu tidak boleh hanya menjadi beban di kepala, tapi harus menjadi cahaya dalam kehidupan. Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad).
Tapi pendidikan kita hanya sibuk mencetak manusia yang pandai teori, tanpa peduli apakah mereka bisa menjalankan ilmunya. Mereka lulus sekolah dengan gelar tinggi, tapi kehilangan orientasi hidup. Pendidikan telah gagal melahirkan manusia yang bertanggung jawab terhadap ilmu yang dimilikinya.
Pendidikan Islam: Ilmu yang Membentuk Peradaban
Islam tidak pernah memisahkan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Keduanya harus berjalan bersama, seperti dua sayap yang mengantarkan manusia kepada kesempurnaan. Tapi pendidikan modern telah menceraikan agama dari ilmu, dan hasilnya adalah generasi yang kehilangan arah.
Para ulama dahulu belajar dengan tujuan yang jelas. Imam Al-Ghazali menulis Ihya Ulumuddin bukan untuk sekadar menambah teori, tapi untuk membangkitkan kembali ruh Islam dalam kehidupan manusia. Ibnu Khaldun menulis Muqaddimah bukan demi prestis akademis, tapi demi membangun peradaban.
Ilmu dalam Islam selalu berkaitan dengan akhlak. Tidak ada gunanya kecerdasan tanpa kebijaksanaan, tidak ada gunanya kepandaian tanpa kejujuran. Sebab, ilmu yang tidak membentuk karakter hanya akan menjadi alat untuk kehancuran.
Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda, “Siapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan, maka Allah akan memahamkannya dalam agama.” (HR. Al-Bukhari & Muslim). Tapi sekolah kita lebih sibuk mengajarkan teori tanpa makna, daripada mendidik manusia menjadi pribadi yang benar-benar memahami kehidupan.
Jika pendidikan hanya berorientasi pada dunia, maka ia tidak akan pernah menghasilkan peradaban yang kuat. Islam mengajarkan bahwa ilmu harus mengantarkan manusia kepada kebaikan. Jika pendidikan gagal menjalankan fungsinya, maka ia hanya akan menjadi pabrik pencetak ijazah.
Sekolah Itu Penting, Tapi Tidak Cukup
Sekolah adalah bagian dari pendidikan, tapi bukan satu-satunya jalan. Ilmu tidak hanya ada di dalam kelas, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Jika sekolah gagal memahami ini, maka ia telah kehilangan fungsinya.
Orang tua harus sadar bahwa pendidikan tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Rumah adalah madrasah pertama, dan orang tua adalah guru utama. Jika pendidikan di rumah gagal, maka sekolah pun tidak akan bisa memperbaiki sang anak.
Reformasi pendidikan harus lebih dari sekadar perubahan kurikulum. Yang dibutuhkan bukan sekadar ganti buku teks atau metode pengajaran. Yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang terhadap ilmu itu sendiri.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang menanamkan makna kehidupan, bukan sekadar tempat yang mencetak lulusan. Jika pendidikan masih hanya mengejar angka, maka kita hanya akan menciptakan generasi yang kehilangan makna hidup.
Sudah saatnya kita bertanya ulang: Apakah pendidikan yang kita jalankan hari ini benar-benar membentuk manusia yang beriman dan berakhlak mulia? Ataukah kita hanya menciptakan generasi yang sibuk mengejar ijazah, tapi lupa bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya?
Maa Syaa Allah tulisan yang sangat bagus dan menyadarkan kita arti sebuah pendidikan yang seharusnya
Terima kasih, ustadz. Semoga Alloh selalu memberikan kita kemudahan untuk mendidik anak-anak.