by

Setelah Nonton Film Wonder (2017)

(Disclaimer: Wonder bukanlah film islami.)

Wonder adalah kisah yang mengalir seperti sungai di pagi hari, tenang tapi menyimpan kedalaman. Dalam setiap alurnya, kita diajak untuk melihat kehidupan melalui mata seorang anak, August Pullman, yang berbeda sejak lahir. Wajahnya, yang tak seperti anak-anak lain, menjadi awal dari perjalanan panjang untuk menemukan makna penerimaan dan cinta tanpa syarat. Film ini bukan sekadar cerita tentang seorang anak yang berusaha diterima, tapi lebih dari itu—ini adalah refleksi tentang rasa kemanusiaan kita.

August, atau Auggie, mengajarkan kita bahwa keberanian sejati adalah menerima diri sendiri, bahkan ketika dunia di luar terasa keras. Dalam keheningan film ini, kita mendengar suara-suara kecil yang sering kali terlupakan—rasa takut, keraguan, dan keinginan untuk dicintai apa adanya. Setiap karakter dalam Wonder adalah bagian dari mozaik yang menyusun cerita ini; mereka adalah cermin yang memantulkan sisi manusiawi kita, baik dalam kelembutan maupun kekurangannya.

Yang paling menyentuh adalah bagaimana film ini menggambarkan cinta dalam bentuk yang paling murni—cinta keluarga, persahabatan, dan keberanian untuk memahami. Seperti hujan yang menyuburkan tanah, Wonder mengajak kita untuk menumbuhkan empati, untuk melihat bahwa di balik setiap wajah, setiap perbedaan, ada sebuah cerita yang layak didengar.

Film ini membawa saya merenung, bukan hanya sebagai seorang pendidik, tetapi juga sebagai seorang ayah yang setiap harinya melihat bagaimana dunia anak-anak berputar. August bukanlah anak yang sempurna menurut ukuran fisik, tapi hatinya, masya Allah, hatinya mengingatkan kita pada sebuah kesederhanaan yang penuh makna.

Sebagai seorang guru, saya menyaksikan bagaimana anak-anak berusaha untuk menjadi bagian dari kelompok, mencoba untuk tidak berbeda. Ada semacam ketakutan, atau mungkin kecemasan, jika mereka tidak diterima. Di ruang kelas, saya sering melihat ada anak-anak yang tersisih, bukan karena mereka ingin begitu, tapi karena lingkungan yang menempatkan mereka di pinggiran. August, dengan segala keunikannya, membuka mata kita bahwa setiap anak, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, layak untuk dicintai, layak untuk diterima.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Sabda ini mengingatkan saya bahwa dalam mendidik anak, baik di rumah maupun di sekolah, yang paling penting bukanlah apa yang terlihat di luar, tetapi apa yang ada di dalam hati mereka. Setiap anak adalah makhluk yang unik, membawa cerita dan mimpi yang berbeda. Tugas saya, baik sebagai ayah maupun guru, adalah membantu mereka menemukan jalan mereka sendiri, tanpa memaksakan standar yang sering kali membebani.

Sebagai seorang ayah, saya juga merenung bagaimana saya mendidik anak-anak saya sendiri. Apakah saya cukup peka terhadap perasaan mereka? Apakah saya melihat dunia dari sudut pandang mereka? August mengajarkan saya untuk lebih banyak mendengar, lebih banyak memahami. Anak-anak sering kali tidak membutuhkan kata-kata yang rumit, mereka hanya butuh dipahami dan didukung. Film ini mengingatkan saya bahwa menjadi orang tua bukanlah tentang memberikan yang terbaik menurut ukuran kita, tapi tentang mengerti apa yang terbaik bagi mereka menurut cara mereka sendiri.

Wonder juga menyinggung tentang bagaimana lingkungan bisa membentuk karakter seorang anak. Sebagai guru, saya melihat betapa pentingnya menciptakan lingkungan yang penuh cinta dan empati di kelas. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2). Ayat ini menjadi pengingat bahwa lingkungan yang baik akan membentuk anak-anak yang baik pula. Sebagai guru, saya harus memastikan bahwa anak-anak merasa aman dan dihargai di ruang kelas, bahwa mereka bisa menjadi diri mereka sendiri tanpa rasa takut.

Auggie, dengan segala tantangannya, adalah simbol dari anak-anak yang terpinggirkan. Dia mengajarkan kita, para orang dewasa, bahwa penerimaan adalah kunci dari segala hubungan. Saya belajar bahwa anak-anak butuh cinta tanpa syarat, baik di rumah maupun di sekolah. Mereka butuh merasa diterima, apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Sebagai seorang ayah dan guru, Wonder adalah pengingat bahwa tugas kita adalah lebih dari sekadar mendidik; kita harus membentuk manusia yang utuh, yang memiliki hati yang bersih dan jiwa yang kuat. Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga soal nilai-nilai yang kita tanamkan. Ini adalah proses yang panjang, namun penuh makna. Dalam perjalanan ini, biarlah kita selalu mengingat bahwa cinta dan penerimaan adalah benih yang akan tumbuh menjadi pohon kehidupan yang kuat dan kokoh.

Write a Comment

Comment