Menjadi seorang ayah dan guru adalah meniti jalan dengan dua peta di tangan: satu untuk keluarga, satu lagi untuk murid-murid. Saat menonton The Social Dilemma, saya seperti ditampar. Dunia yang kita tinggali, yang kita yakini aman, ternyata penuh perangkap. Anak-anak kita, murid-murid kita, terjebak dalam jaring yang tidak mereka sadari. Jaring yang dibangun oleh algoritma, oleh kapitalisme digital yang tak mengenal belas kasih.
Dulu, saya berpikir teknologi itu netral, seperti pisau dapur. Tapi tidak, teknologi ini punya agenda. Mereka tidak sekadar alat, tapi juga pengendali. Kita yang seharusnya memegang kendali, kini justru dikendalikan. Di sinilah dilema kita, dilema seorang ayah dan guru yang harus melindungi anak-anak dan murid-muridnya dari ancaman yang tak terlihat, tapi nyata.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari). Saya jadi berpikir, bagaimana bisa saya bertanggung jawab jika saya tak sadar bahwa dunia digital telah merampas banyak hal dari anak-anak saya dan murid-murid saya? Saya terpaksa merenung: apa yang selama ini saya biarkan masuk ke dalam rumah dan ruang kelas? Apakah saya membiarkan teknologi ini menggerogoti waktu, perhatian, dan bahkan nilai-nilai yang saya ajarkan?
Sebagai seorang ayah, saya melihat bagaimana anak-anak saya mulai lebih sering menunduk pada layar daripada menatap mata orang tua mereka. Sebagai seorang guru, saya melihat bagaimana murid-murid saya lebih mudah terpesona oleh notifikasi daripada oleh pelajaran. Di sinilah letak masalahnya. Dunia digital bukan lagi sekadar alat, tapi telah menjadi pengganti realita. Mereka lebih nyaman dengan dunia maya daripada dunia nyata, dan itu sangat mengkhawatirkan.
Al-Qur’an dalam QS. Al-Ma’idah: 2 mengingatkan, “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” Ironisnya, teknologi ini malah mendorong kita untuk saling berlomba-lomba dalam mengejar validasi yang tak bermakna—like, share, view—sementara kebajikan dan takwa sering terlupakan.
Menjadi ayah dan guru setelah menonton The Social Dilemma memaksa saya untuk berpikir ulang tentang peran saya. Tanggung jawab saya bukan hanya mengajar, tapi juga menjaga. Saya harus lebih kritis, lebih waspada, dan lebih tegas dalam menyaring apa yang masuk ke dalam pikiran dan hati anak-anak saya. Saya harus lebih selektif dalam membimbing murid-murid saya, memastikan bahwa mereka tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga bijak dalam menghadapi dunia digital yang penuh ilusi dan merusak akhlak.
Saya belajar bahwa teknologi bisa menjadi pedang bermata dua. Ia bisa memudahkan, tapi juga bisa menghancurkan. Tugas saya, sebagai ayah dan guru, adalah memastikan bahwa pedang itu tidak melukai mereka yang saya cintai dan saya bimbing. Kita harus kembali ke dasar, kembali mengajarkan nilai-nilai yang kuat, membentengi mereka dengan kebijaksanaan yang lahir dari refleksi mendalam, bukan dari layar yang memancarkan cahaya tanpa makna.
Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Waktu adalah kehidupan, dan kehidupan adalah modal. Jika tidak digunakan untuk kebaikan, akan terbuang sia-sia.” The Social Dilemma mengajarkan saya bahwa kita sedang membuang modal terbesar kita—waktu—dalam kesia-siaan digital. Kini, saatnya untuk mengambil kembali kendali, untuk mendidik anak-anak kita dengan penuh kesadaran, bukan dengan ketakutan, tapi dengan cinta dan tanggung jawab yang lebih besar. Saya harus memastikan bahwa mereka tumbuh dengan nilai-nilai yang kokoh, dengan pemahaman yang benar, dan dengan akhlak yang mulia. Karena pada akhirnya, itulah yang akan membawa mereka menuju kebahagiaan sejati—bukan sekadar popularitas di media sosial, tetapi keberkahan hidup yang diridhai oleh Allah SWT. Mari kita jaga mereka, sebelum kita semua tenggelam dalam dilema sosial yang tak berujung ini.