(Disclaimer: Taare Zameen Par bukanlah film islami.)
Taare Zameen Par itu bukan sekadar film, Bro dan Sis. Film ini adalah cermin buat kita semua, terutama para guru yang sering kali terjebak dalam rutinitas mengajar. Taare Zameen Par itu seperti puisi visual tentang anak-anak yang seringkali tak dipahami oleh dunianya sendiri. Ishaan, bocah dengan disleksia, dianggap malas dan bodoh oleh lingkungan yang tak paham caranya melihat dunia. Dunia dalam kepalanya luas, penuh warna, tapi tertabrak oleh dinding standar yang kaku. Film ini mengingatkan kita, guru dan orang tua, bahwa setiap anak itu unik. Mereka bukan kertas kosong untuk diisi dengan harapan kita, tapi benih yang harus kita sirami sesuai dengan potensi mereka.
Dengan kedalaman ceritanya, Taare Zameen Par berbicara tentang pentingnya memahami setiap anak sesuai keunikannya, tentang bagaimana cinta dan pengertian bisa menjadi jembatan untuk menyelamatkan jiwa yang terasing. Ini bukan sekadar film, tapi ajakan untuk melihat dengan mata hati, untuk menghargai perbedaan, dan untuk memberikan anak-anak ruang yang mereka butuhkan agar bisa berkembang dengan cara mereka sendiri. Sebuah pengingat bahwa tugas kita bukan memaksa mereka menjadi sempurna di mata dunia, tapi mendukung mereka menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri, seindah bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit malam. Film ini bukan hanya soal drama, tapi soal bagaimana kita sebagai pendidik harusnya bisa melihat lebih dalam dari sekadar nilai-nilai di rapor.
Pertama, jangan cuma lihat yang kasat mata. Banyak guru yang mungkin terlalu cepat menilai murid dari apa yang mereka lihat di permukaan. Murid yang nilainya jeblok langsung dicap malas, yang suka melamun langsung dikira bodoh, yang suka berbuat onar pasti malas belajar. Padahal, seperti yang ditunjukkan dalam film ini, bisa jadi ada hal lain yang luput dari perhatian kita. Ishaan, misalnya, kesulitan karena disleksia, bukan karena malas. Jadi, guru itu harus peka, harus bisa membaca lebih dalam dari sekadar angka-angka di rapor. Buka mata, buka hati, karena bisa jadi ada potensi besar yang tersembunyi di balik “kekurangan” yang terlihat. “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…” (QS. Al-Hujurat: 13). Nah, ini dalil yang mengajarkan kita untuk sadar bahwa tiap manusia itu unik. Allah menciptakan kita beda-beda biar saling mengenal, bukan saling merendahkan. Sama seperti murid, tiap anak punya potensinya sendiri. Jangan cuma lihat dari kacamata nilai akademis doang.
Kedua, setiap murid itu unik, seperti bintang di langit. Ishaan itu punya caranya sendiri untuk memahami dunia, dan butuh pendekatan yang beda dari yang lain. Di sini, guru harus sadar bahwa metode yang sama tidak akan cocok buat semua murid. Murid itu macam-macam, ada yang lebih paham kalau diajak ngobrol santai, ada yang lebih nyambung kalau pakai gambar atau cerita. Di Indonesia, mungkin kita perlu belajar untuk lebih fleksibel dalam mengajar, menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing murid. Memang tidak gampang, tapi kalau kita bisa sedikit lebih peka, hasilnya pasti luar biasa. “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4). Allah mengatakan bahwa kita diciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk. Artinya, tidak ada anak yang ‘gagal’, cuma kita saja yang belum paham cara mengembangkan potensinya. Ishaan di Taare Zameen Par tuh bukti nyata dari dalil ini.
Ketiga, hargai bakat, bukan cuma nilai. Di sekolah-sekolah kita, sering kali murid dinilai dari angka, dari ranking, dari nilai ujian. Tapi, Taare Zameen Par mengingatkan kita bahwa murid itu tidak cuma soal akademik. Ada bakat-bakat lain yang perlu kita lihat dan hargai. Ishaan, misalnya, punya bakat luar biasa dalam seni. Ketika bakat itu diakui dan diberi ruang, dia tumbuh dan berkembang. Guru-guru di sini juga harus mulai melihat sisi lain dari murid, yang mungkin tidak terlihat di atas kertas. Karena tugas kita bukan cuma mencetak orang pintar, tapi juga menciptakan manusia yang utuh, yang mengenal dirinya sendiri. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai jika salah seorang di antara kamu melakukan suatu pekerjaan, hendaklah ia melakukannya dengan itqan (tepat, sungguh-sungguh).” (HR. Al-Bukhari). Rasul mengajari kita untuk menghargai apapun yang dilakukan dengan sepenuh hati. Jadi, kalau anak lebih jago seni daripada matematika, ya dorong bakatnya. Biar dia bisa jadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Terakhir, jadilah teman perjalanan, bukan hakim. Guru yang berhasil menyentuh hati Ishaan adalah guru yang tidak menghakimi, tapi mendampingi. Ini yang sering kali terlupakan. Guru itu jangan cuma jadi pemberi tugas dan pemberi nilai. Guru itu harus bisa jadi teman, jadi pendamping dalam proses belajar. Kalau murid merasa didampingi, didukung, mereka akan lebih berani bermimpi, lebih semangat belajar. Dan bukankah itu esensi dari pendidikan yang sebenarnya? Rasulullah SAW bersabda, “Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Jangan bikin anak lari dari pendidikan cuma karena metode kita yang kaku. Pendidikan harus bikin mereka betah, layaknya rumah yang hangat, bukan jadi beban. Ini yang sering dilupakan di dunia pendidikan kita.
Film Taare Zameen Par itu tidak cuma soal seorang anak yang menemukan jati dirinya. Film ini adalah refleksi, adalah teguran halus bagi kita yang mungkin terlalu sibuk dengan rutinitas dan lupa pada makna pendidikan yang sesungguhnya. Duhai para guru, mari kita lihat lebih dalam, hargai setiap bakat, dan dampingilah murid-murid kita dengan sepenuh hati. Karena pada akhirnya, pendidikan itu adalah soal memanusiakan manusia.
Bagus filmya sangat menginspiraai
Iya pak, sepakat! Ada rekomendasi film lain yang menginspirasi, pak?