(Disclaimer: School of Rock bukan film islami.)
“School of Rock” ialah film tentang guru musik eksentrik, mengajak kita berpikir ulang tentang makna mendidik. Dewey Finn, seorang musisi gagal yang berpura-pura jadi guru, justru membuka pintu bagi anak-anak untuk menemukan diri mereka. Saya, seorang guru yang konon sudah tahu segalanya, mendadak merasa kecil. Kita sering bicara kurikulum, bicara angka, bicara prestasi. Tapi Dewey? Ia bicara soal mimpi, soal kebebasan, soal nyali untuk jadi diri sendiri.
Kawan, kita sering kali terjebak dalam rutinitas, menjadi robot yang hanya tahu mengajar sesuai aturan, tanpa memberi ruang bagi murid untuk bertanya, untuk mempertanyakan, bahkan untuk merasakan kekeliruan. Imam Ahmad berkata, “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.”. Ilmu itu luas, ilmunya Dewey Finn ada di luar buku, ada di panggung kehidupan.
Saya teringat pada sebuah hadis Rasulullah : “Allah tidak melihat rupa kalian, dan tidak pula pada harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati kalian dan amal kalian.” (HR. Muslim). Dalam dunia pendidikan yang sering terjebak dalam angka dan prestasi, kita mungkin lupa untuk melihat hati, melupakan keunikan di balik angka-angka rapor. Seperti Dewey yang melihat bakat-bakat tersembunyi muridnya, saya belajar bahwa seorang guru bukan hanya penuntun, tapi juga sahabat dalam perjalanan pencarian jati diri.
Ada keindahan dalam film ini, sebuah renungan tentang bagaimana kita sering kali terpaku pada metode, pada hasil yang diukur dalam bentuk angka, tanpa menyadari bahwa setiap anak adalah puisi yang sedang ditulis oleh hidup. Ibn Abbas pernah berkata, “Ilmu adalah kehidupan bagi jiwa.” Maka, tugas seorang guru adalah menjaga agar jiwa-jiwa muda itu tetap hidup, tetap bernyala, dalam perjalanan mereka mencari arti.
“School of Rock” mengingatkan saya bahwa mengajar bukan sekadar menyampaikan materi, tapi tentang menyentuh hati, tentang mengajak murid untuk berani bermimpi, untuk mengenal diri mereka sendiri, dan untuk tetap percaya pada apa yang tidak terlihat, tetapi sangat nyata: potensi dan jiwa mereka. Sebab, belajar adalah proses yang tidak selalu tentang tujuan, tapi tentang perjalanan, tentang menemukan keindahan di setiap langkah, di setiap nada, di setiap kata.