by

Setelah Nonton Film 3: Alif Lam Mim

Ada hal yang menggugah ketika menonton “3: Alif Lam Mim”, film yang bukan sekadar cerita tapi juga pengingat. Mengingatkan bahwa menjadi guru itu lebih dari sekadar mengajar, lebih dari sekadar kurikulum. Ini tentang melihat lebih jauh, tentang menyelam ke dalam arti nilai-nilai kemanusiaan yang tersembunyi dalam setiap murid, dalam setiap hari kita di sekolah.

Film ini menghidupkan pertanyaan-pertanyaan lama, membangunkan mimpi-mimpi yang tertidur. Tentang keberanian yang terkadang harus menyala di tengah kegelapan, tentang kebenaran yang mesti dipertahankan di atas segala tipu muslihat dunia. Ketiga sahabat dalam film ini, dengan segala dilema mereka, seperti cermin bagi kita. Di satu sisi, ada iman yang teguh; di sisi lain, ada pragmatisme yang mengusik. Sebagai guru, saya merasa seperti berdiri di tengah mereka, mencoba menanamkan nilai dalam situasi yang kadang tak berpihak.

Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). Film ini seakan bertanya, apa yang akan kita pilih saat ketidakadilan hadir di depan mata? Akankah kita hanya diam, ataukah mencoba merubahnya walau dengan segenap kemampuan yang terbatas?

Seperti seorang guru yang menyaksikan muridnya terjebak dalam realitas yang penuh kekeliruan, saya tahu ada beban yang harus dipikul. Bukan sekadar mengajar untuk pintar, tapi juga untuk berani, untuk bertindak di saat yang lain memilih diam. Abdullah bin Mas’ud pernah berkata, “Ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat, tapi dengan rasa takut kepada Allah.” Bukankah kita seharusnya takut pada ketidakadilan, pada kezaliman yang dibiarkan? Di dalam kelas, saya mengajarkan anak-anak tentang ilmu pengetahuan, tentang fakta dan teori. Namun, film ini mengingatkan bahwa ada pelajaran yang jauh lebih sulit diajarkan: keberanian untuk mempertahankan nilai, meski dunia di luar sering kali menawarkan kompromi.

“3: Alif Lam Mim” mengingatkan saya, bahwa menjadi guru adalah menjadi lentera di tengah gelapnya zaman. Sebuah peran yang tidak mudah, tetapi penuh dengan kemungkinan; tentang bagaimana menanamkan pada generasi muda keberanian untuk memilih jalannya sendiri, untuk bertindak atas dasar kebenaran, bukan sekadar mengikuti arus yang mengaburkan. Sebuah refleksi yang mendalam, tentang hakikat kita sebagai penjaga nilai di dunia yang semakin kehilangan arah.

Di sinilah letak tantangan sejati sebagai seorang guru: bagaimana menanamkan keteguhan moral di tengah arus deras yang selalu mencoba menyeret kita ke pinggir. Di dunia yang semakin mengejar materi, di mana nilai-nilai semakin kabur, tugas seorang guru adalah menjadi mercusuar, memandu dengan cahaya pengetahuan, tetapi juga dengan cahaya hati.

Film ini memaksa saya merenung: apakah saya telah cukup menyiapkan anak-anak untuk hidup di dunia yang tak selalu adil ini? Apakah saya mengajar mereka untuk menjadi bagian dari arus, atau untuk berani berdiri, bahkan ketika harus sendirian? Dalam hidup ini, kita mungkin tidak selalu dihadapkan pada pilihan yang mudah. Namun, kita harus meneguhkan hati, sebagaimana kholifah Ali bin Abi Thalib berkata, “Kebenaran tidak akan pernah bisa dikalahkan meskipun ditinggalkan oleh manusia.”

Maka, tugas seorang guru bukan sekadar menyampaikan pelajaran, tetapi juga memupuk keberanian dalam diri setiap murid. Keberanian untuk berpikir sendiri, keberanian untuk memilih jalan yang benar, meskipun jalan itu sepi. Dan mungkin, itulah pelajaran terbesar yang bisa kita ajarkan.

Write a Comment

Comment