Menonton 127 Hours adalah menyaksikan perlawanan manusia terhadap keterbatasan dirinya sendiri. Film ini mengisahkan perjuangan Aron Ralston, seorang pendaki yang terperangkap di antara batu besar selama 127 jam, dengan pilihan hidup yang sangat terbatas: tetap di tempat dan mati, atau memotong lengannya sendiri untuk hidup. Ini adalah momen di mana segala teori tentang kehendak bebas diuji, dipaksa menghadapi realitas yang brutal, tanpa kompromi.
Dari sudut pandang seorang ayah dan guru, kisah ini menyentuh pada inti dari ketabahan, keberanian, dan makna sesungguhnya dari hidup. Dalam hidup kita, mungkin tidak ada batu besar yang secara fisik menjepit kita, tetapi ada banyak “batu besar” lain yang sering kita hadapi: ketakutan, kemalasan, kebiasaan buruk, atau bahkan keangkuhan. Seperti Ralston, kita sering kali merasa nyaman dengan pilihan yang stagnan, menunggu sesuatu yang ajaib untuk mengubah keadaan. Tetapi, 127 Hours mengajarkan bahwa perubahan tidak datang dari luar, tetapi dari dalam. Ketika Ralston memutuskan untuk memotong lengannya, itu adalah keputusan untuk hidup, sebuah keinginan untuk memotong rantai ketidakmampuan dan ketergantungan.
Bayangkan memotong lengan sendiri dengan peralatan seadanya, sendirian di tengah bukit batu! Ini mungkin tampak mengerikan, tetapi di balik itu ada pesan besar: terkadang untuk hidup, kita harus berani memotong apa yang tidak lagi perlu, bahkan jika itu bagian dari diri kita. Sama seperti yang diajarkan Allah dalam QS. Al-Baqarah: 286, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa tidak ada ujian yang terlalu berat jika kita mau berusaha dengan ikhlas dan sabar. Allah juga berfirman, “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Ayat ini mengingatkan kita bahwa inisiatif perubahan adalah milik kita. Kita yang memegang kendali atas pilihan yang kita buat, bahkan dalam kondisi yang tampaknya mustahil sekalipun. Refleksi ini membawa pada pemahaman bahwa hidup, dengan segala keterbatasannya, adalah panggilan untuk terus berjuang, bukan menyerah.
Aron Ralston adalah cerminan dari manusia modern yang sering kali merasa memiliki kendali atas hidupnya, namun pada kenyataannya, ia bergantung pada keadaan. Tapi keputusan Aron untuk berjuang, menembus batas ketidakmungkinan, mengajarkan satu hal penting: hidup ini bukan tentang menemukan kenyamanan, tapi tentang menghadapi ketidaknyamanan dengan kepala tegak. Ibnul Qayyim berkata, “Keberanian adalah menghadapi rasa takut dengan keyakinan penuh.”
Dalam konteks sebagai seorang guru, pelajaran ini sangat relevan. Anak-anak yang kita didik sering kali terperangkap dalam “batu besar” mereka sendiri, baik itu ketakutan akan kegagalan, kekhawatiran tentang masa depan, atau tekanan untuk menjadi seperti yang orang lain inginkan. Tugas kita adalah menginspirasi mereka untuk melihat di balik keterbatasan itu, untuk memahami bahwa kehidupan yang sebenarnya dimulai ketika kita berani menantang diri kita sendiri, memotong segala hal yang menghalangi kita dari mencapai potensi terbaik kita. Saya melihat pada diri Aron, bahwa hidup adalah tentang mengambil risiko, tentang berani menghadapi rasa takut dan ketidakpastian. Aron memilih untuk tidak menyerah pada keadaan yang menghimpitnya, memilih untuk hidup meski harus mengorbankan sebagian dari dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali terjepit oleh kebiasaan, oleh kenyamanan, dan oleh rasa aman yang palsu. Kita takut keluar dari zona nyaman, meskipun tahu bahwa di luar sana ada kehidupan yang lebih sejati, lebih jujur, dan lebih bermakna. Dalam hal ini, film ini mengajarkan bahwa keberanian untuk mengambil keputusan yang sulit adalah langkah pertama menuju kebebasan.
Film 127 Hours adalah pengingat bagi kita semua bahwa hidup ini penuh dengan pilihan yang sulit, tetapi dalam setiap pilihan ada peluang untuk menemukan makna dan kebebasan yang sejati. Jangan takut untuk berjuang melawan ketidakmungkinan, karena di sanalah kita menemukan kekuatan kita yang sesungguhnya. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim). Inilah yang harus kita ajarkan kepada anak-anak kita—untuk menjadi kuat dalam menghadapi kesulitan, bukan menghindarinya. Rasulullah juga bersabda, “Barangsiapa yang bersabar, Allah akan memberi kesabaran padanya, dan tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Sabar bukan berarti menunggu dalam ketidakpastian, tetapi mengambil langkah-langkah yang benar meskipun terasa berat dan menyakitkan.
Aron Ralston memotong lengannya untuk hidup. Kita, mungkin, harus memotong ego, rasa takut, atau kebiasaan buruk kita untuk hidup lebih bermakna. Seperti dalam perjalanan iman, hidup ini adalah tentang keberanian, tentang melepaskan apa yang harus dilepaskan, dan menerima apa yang harus diterima dengan penuh keikhlasan.
Jadi, pertanyaannya adalah, apa “batu besar” yang menahan kita? Dan sudahkah kita siap untuk memotong apa yang tak lagi memberi makna lebih pada kehidupan, demi mencapai kebebasan sejati? Mungkin, itulah pelajaran terbesar dari 127 jam yang dilewati Aron Ralston. Sebuah pelajaran tentang keberanian untuk hidup, dalam arti yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, hidup ini bukan tentang berapa lama kita bisa bertahan, tetapi tentang bagaimana kita hidup dengan keberanian, kejujuran, dan tekad untuk selalu berjuang, apa pun yang terjadi. Sebagaimana Ralston memilih untuk hidup, kita pun harus memilih untuk hidup dengan keberanian dan keyakinan yang sama, melawan setiap “batu besar” yang menghalangi jalan kita.