by

Setelah Menonton Dokumenter El Loco de la Catedral

Dalam senyap malam, di depan layar yang berkedip, saya terdiam saat menonton “El Loco de la Catedral”, sebuah dokumenter yang mengisahkan kehidupan Justo Gallego, seorang pria Nasrani yang tanpa henti, selama lebih dari 50 tahun, membangun sebuah katedral dengan tangannya sendiri di pinggiran kota Madrid. “Gila,” pikir saya pertama kali. Namun, semakin lama saya menonton, semakin dalam saya terjerat dalam perenungan panjang. Bagaimana seorang pria tua, dengan segala keterbatasan, mampu menghabiskan hidupnya untuk sebuah tujuan yang ia yakini suci? Semangatnya memancarkan cahaya yang menusuk ke dalam relung hati saya, memaksa saya untuk bercermin pada iman dan komitmen saya sendiri.

Sebagai seorang ayah dan guru, saya malu. Kita, umat Muslim, seringkali berbicara tentang iman yang kuat, tentang keyakinan yang tak tergoyahkan, namun sejauh mana kita benar-benar mewujudkan itu dalam kehidupan sehari-hari? Justo Gallego adalah seorang Nasrani, namun semangatnya melebihi banyak dari kita yang mengaku beriman kepada Allah. Bukankah seharusnya kita yang mengemban risalah terakhir ini lebih bersemangat dalam menegakkan kalimat Allah?

Saya merenung, apa yang sedang terjadi dengan kita? Mengapa kita, yang mengaku sebagai umat dengan Nabi penutup, seringkali seperti hanya berteduh di bawah bayang-bayang besar agama Islam? “Iman itu bukan sekadar bicara,” kata Imam Hasan Al-Bashri, “iman itu apa yang ada di hati dan dibuktikan dengan perbuatan.” Dan saya melihat, di film ini, ada iman yang nyata. Ada ketekunan, ada pengorbanan, ada cinta pada sesuatu yang dianggap suci.

Dalam Al-Quran, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7). Kata-kata ini menggugah, bukan? Ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah menjanjikan pertolongan bagi mereka yang berjuang di jalan-Nya. Namun, seberapa sering kita mengingat janji ini? Seberapa sering kita benar-benar berjuang untuk menolong agama-Nya? Dan bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata, seperti Justo Gallego dengan batako dan semennya?

Mungkin, dalam kegilaan Justo, ada kesadaran yang luput dari kita. Dia tahu apa yang dia yakini, dan dia hidup untuk itu. Lalu bagaimana dengan kita? Mengapa kita ragu untuk mengorbankan waktu, tenaga, atau bahkan hanya sedikit dari harta kita untuk membangun “katedral” kita sendiri — bukan bangunan fisik, tetapi sebuah kehidupan yang sepenuhnya dipersembahkan untuk Allah?

Sebagai seorang ayah, saya merasa tertampar. Apa yang saya ajarkan kepada anak-anak saya jika hanya kata-kata tanpa contoh? Sebagai seorang guru, saya merasa lebih tertampar lagi. Apa yang saya tunjukkan kepada murid-murid saya jika hanya buku-buku tebal tanpa amal nyata? Apa yang akan kita jawab di hadapan Allah ketika ditanya di mana semangat kita dalam menegakkan agama? Apakah kita akan bersembunyi di balik banyaknya kata-kata, diskusi panjang, atau khutbah yang megah, sementara kita tidak memiliki kesungguhan dalam beramal?

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang tidak memiliki semangat untuk beramal, maka di hatinya ada penyakit.” (HR. Al-Bukhari). Justo Gallego mungkin tidak memahami dalil ini, tetapi ia telah menjalankan sebuah prinsip yang lebih murni: dedikasi total kepada keyakinannya. Imam Ibnul Qayyim berkata, “Seseorang itu sangat butuh kepada Allah agar Dia menolongnya dalam urusannya, agar Dia memberikan kebaikan pada agama dan dunianya, serta agar Dia menguatkan hatinya.” Dalam kisahnya, saya melihat sebuah pertanyaan: apakah kita yang mengaku beriman ini benar-benar telah menghidupkan iman dalam setiap detak jantung kita, ataukah kita hanya sekadar penonton dalam panggung dunia ini?

Melihat Justo, saya jadi berpikir, mungkin kita perlu sedikit “kegilaan” itu. Bukan kegilaan tanpa arah, tapi kegilaan yang berakar pada cinta yang tulus, pada semangat yang tak pernah padam. Sebab kita tahu, di balik setiap amal ada janji Allah yang pasti. Dan, di dunia yang sibuk ini, di mana waktu berlari cepat dan semangat sering kendor, mari kita ingat bahwa jalan menuju-Nya memang tidak selalu mudah. Mungkin kita perlu belajar lagi, belajar untuk berani menjadi “gila” dalam kebenaran, dalam pengorbanan, dan dalam cinta yang sungguh-sungguh kepada-Nya.

Lalu, apa refleksi kita? Apakah kita terus berpuas diri hanya dengan merasa lebih benar, lebih saleh, namun tanpa tindakan nyata yang mendukung keyakinan kita? Atau kita mulai, sedikit demi sedikit, dengan keyakinan yang seharusnya lebih kuat, mulai membangun “katedral” kita sendiri dalam wujud masjid, pesantren, atau rumah sakit Islam? Kapan dunia menyaksikan sebuah iman yang tidak hanya dikatakan, tetapi dikerjakan, setiap hari, dengan penuh ketulusan dan kesungguhan oleh kita?

Ya, kita harus belajar dari Justo. Bukan belajar agamanya, tapi belajar semangatnya. Seorang pria yang mungkin dianggap gila oleh dunia, namun dalam kegilaannya ada kebijaksanaan yang seharusnya membuat kita, umat Muslim, merenung lebih dalam lagi. Apakah kita, umat Muslim yang katanya beriman, punya semangat itu? Ataukah kita hanya sekadar bicara dalam majelis yang sejuk, tapi lemah di realita amal saleh? Mari kita renungkan kembali. Jangan sampai, di hadapan Justo, kita kalah telak.

Write a Comment

Comment