Membaca novel Teruslah Bodoh, Jangan Pintar karya Tere Liye adalah pengalaman yang menyentuh saraf-saraf terdalam tentang apa itu kebijaksanaan dan pengetahuan. Sebagai seorang guru, saya melihat novel ini sebagai ajakan untuk menantang status quo, untuk mempertanyakan apa yang sering kita anggap sebagai kebenaran mutlak. Kebodohan yang dimaksud di sini bukanlah ketidaktahuan, melainkan keberanian untuk keluar dari jerat pikiran yang seragam, dari definisi ‘pintar’ yang sering kali mengekang kreativitas dan keaslian diri.
Dalam dunia pendidikan, kita sering kali terjebak dalam rutinitas mengejar angka, gelar, dan status. Tapi, siapa yang akan mengajarkan anak-anak kita untuk berani berbeda? Untuk berpikir dengan hati, bukan hanya dengan logika yang dingin? Ada hikmah dalam ketidaktahuan yang disengaja, dalam keberanian untuk tidak mengikuti arus. Ini mengingatkan saya pada sebuah hadis Rasulullah SAW yang berbunyi, “Kebijaksanaan adalah milik orang beriman yang hilang, di mana saja ia menemukannya maka ia berhak mengambilnya.” (HR. Tirmidzi). Kebijaksanaan, bukan sekadar pengetahuan, adalah tujuan sejati dari belajar.
Novel ini menyindir keras sistem pendidikan kita yang cenderung meredam potensi unik setiap individu, memaksa mereka untuk masuk ke dalam cetakan yang sama. Sebagai guru, saya merenung, apakah saya telah menjadi bagian dari sistem yang mencetak anak-anak menjadi robot pintar tanpa jiwa? Ataukah saya berani mengajarkan mereka untuk menjadi ‘bodoh’—dalam arti tetap mempertahankan keaslian, kreativitas, dan kebebasan berpikir sesuai syariat?
Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.” Ilmu yang hanya mengejar kepintaran tanpa kebijaksanaan akan berakhir sia-sia. Begitu pula dengan amal yang dilakukan tanpa pemahaman yang benar. Kebodohan yang disarankan dalam novel ini bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan untuk mempertahankan ketulusan, untuk tidak terjebak dalam kepintaran yang kering.
Sebagai pendidik, saya belajar bahwa tugas kita bukan hanya mengajarkan murid untuk menjadi pintar, tetapi juga untuk menjadi manusia yang utuh, yang tidak takut untuk mempertanyakan, untuk menolak dogma, dan untuk merangkul kebijaksanaan dalam ketidaksempurnaan. Dunia ini tidak hanya butuh orang-orang pintar, tetapi juga butuh mereka yang punya hati dan jiwa yang bebas dari belenggu definisi sempit tentang kesuksesan.
Novel ini adalah pengingat bahwa pendidikan seharusnya membebaskan, bukan mengekang. Sebagai guru, saya merasa bahwa tugas kita adalah menanamkan keberanian dalam diri siswa untuk terus bertanya, untuk tetap menjadi ‘bodoh’ dalam pencarian kebijaksanaan sejati. Pendidikan haruslah menjadi proses yang memanusiakan manusia, bukan sekadar mencetak generasi yang cerdas tetapi kehilangan jiwa dan tujuan.
“Teruslah bodoh kawan, jika itu yang membuatmu tetap setia pada kebenaran.”