by

Setelah Membaca Novel Kemi

Novel “Kemi” adalah sebuah cermin. Cermin besar yang menghadap kita, terutama bagi mereka yang bertanggung jawab mendidik generasi muda. Ustadz Adian Husaini dengan tajam menggambarkan dunia Kemi, seorang remaja yang berada di persimpangan zaman—ditarik antara idealisme Islam dan hegemoni pemikiran modern yang kerap kali menggiring pada sekularisme, liberalisme, dan hedonisme. Buku ini adalah alarm, memperingatkan bahwa pendidikan dan media sering kali mengabaikan inti dari pembentukan karakter yang Islami.

Membaca “Kemi”, hati saya sebagai seorang ayah dan guru dipenuhi perenungan yang mendalam. Kemi, seorang remaja yang bergulat dengan arus pemikiran zaman ini, mengingatkan saya bahwa tugas mendidik bukanlah sekadar menanamkan ilmu, tapi lebih dari itu, membentuk hati, pikiran, dan akhlak. Kita hidup di era di mana anak-anak kita dikepung oleh berbagai ide dan pemahaman yang sering kali jauh dari nilai-nilai Islam.

Sebagai ayah, saya memahami bahwa mendidik anak adalah amanah yang sangat besar. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6). Tugas ini tidak ringan, karena bukan hanya soal memastikan anak-anak mengerti soal dunia, tapi memastikan mereka tahu untuk apa dunia ini ada. Kemi menunjukkan kepada saya bahwa anak-anak perlu bimbingan untuk mengenali tujuan hidup yang sesungguhnya, bahwa dunia ini bukan tujuan, melainkan persinggahan sementara.

Sebagai guru, novel ini adalah cermin yang memantulkan wajah-wajah murid di depan saya, wajah-wajah yang mencari makna di tengah kebingungan zaman. Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Anak-anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang murni.” Dan tanggung jawab kita adalah memastikan permata itu tetap bercahaya, tidak ternoda oleh kebingungan zaman.

Membaca “Kemi,” saya menyadari betapa pentingnya peran kita untuk menjadi teladan, bukan sekadar pengajar. Kita harus menjadi pembimbing yang menuntun anak-anak kita menuju jalan yang benar, menuntun mereka untuk mengenali mana yang hak, mana yang batil. Bukan dengan paksaan, tetapi dengan kelembutan, dengan kesabaran, dan dengan keteladanan. Karena pada akhirnya, mereka adalah amanah kita, dan kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka di hadapan Allah.

Dalam cahaya iman, tugas kita adalah menanamkan keyakinan bahwa kesuksesan sejati adalah meraih ridha-Nya, bukan sekadar keberhasilan duniawi. Kemi mengingatkan kita bahwa dalam setiap langkah, ada pilihan yang harus kita buat: apakah kita ingin menuntun anak-anak kita menuju dunia fana berujung neraka, atau menuntun mereka menuju surga kekal selamanya?

Write a Comment

Comment