Hancur, Lalu Apa?
Saya adalah seorang ayah, seorang guru. Ketika dunia tampak runtuh di hadapan saya, kadang peran-peran itu tidak lagi memadai. Saya mengenali diri saya dalam setiap kata di buku When Things Fall Apart karya Pema Chodron. Buku ini mengajak kita untuk tidak selalu melawan ketidakpastian, tetapi malah berkawan dengannya. Mengapa? Karena di balik kehancuran, ada undangan untuk memahami ulang apa arti kehidupan. Ayat Al-Quran menyebut, “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 6). Sebuah pengingat sederhana tapi bermakna: di balik keterpurukan, ada jalan.
Ketika membaca buku ini, saya disadarkan bahwa keutuhan bukanlah syarat bagi kehidupan. Bahkan, dalam ketidaksempurnaanlah kita diajak untuk menemukan kebijaksanaan. Allah berfirman, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155). Cobaan bukan untuk ditangisi, tapi untuk dinikmati sebagai bagian dari perjalanan jiwa.
Keberanian dalam Rasa Takut
Takut itu nyata. Dalam ketakutan yang kita miliki, ada ruang untuk belajar tawakkal. Seorang ayah yang takut, seorang guru yang gentar, keduanya hanyalah hamba yang butuh bimbingan Allah. Rasulullah berpesan, “Ketika kamu bersandar kepada Allah, maka tiada sesuatu pun yang mampu membahayakanmu” (HR. At-Tirmidzi). Dalam ketakutan kita, ada kesempatan untuk bersandar pada-Nya. Tidak perlu menolak rasa takut itu, cukup biarkan ia mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati hanya milik Allah.
Menjadi ayah bukanlah tentang menghindari masalah untuk anak-anak kita, tetapi memperlihatkan kepada mereka bagaimana hidup bersama rasa takut. Justru keberanian bukan tentang tidak memiliki rasa takut, melainkan tentang bergerak meski diliputi ketakutan. Ada perkataan bijak, “Jangan takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah.” Kalimat ini menyuntikkan kekuatan untuk berdiri, bahkan saat tubuh ingin runtuh.
Memeluk Kerapuhan
Ada kalanya, kehidupan runtuh tanpa aba-aba. Itulah momen-momen terendah yang mengingatkan kita bahwa kita hanyalah manusia. Kerapuhan adalah identitas yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan kita.
Sebagai seorang ayah, saya ingin selalu menjadi pelindung bagi anak-anak. Menjadi seorang guru, saya ingin menyelamatkan murid dari kerumitan hidup. Tapi Pema menulis, “Why not let it be?” Rasanya menghujam. Tidak semua yang rapuh perlu diperbaiki. Sebagai ayah dan guru, saya belajar untuk jujur pada anak-anak, pada murid-murid saya, bahwa kadang kita semua jatuh. Seperti kata ahli hikmah, “Allah tidak menciptakan kesulitan kecuali untuk kebahagiaan setelahnya.” Kadang, membiarkan retak itu ada, adalah cara paling jujur untuk hidup.
Menemukan Kebahagiaan dalam Kehancuran
Ini paradoks terbesar dari buku Pema: kebahagiaan bisa hadir ketika semua harapan ambruk. Di tengah kehancuran, saat kita merasa paling tidak berdaya, justru itulah letak kekuatan sebenarnya. Kebahagiaan tidak pernah terasa seperti yang diiklankan. Kadang kebahagiaan hanya sebuah ruang kosong setelah kita tidak mampu lagi menangis, saat kita bisa duduk tenang meski hidup tetap tidak masuk akal.
Bukankah Nabi pernah bersabda dalam riwayat Muslim, “Kebahagiaan seorang Muslim itu ketika ia menerima qadar-Nya”? Kebahagiaan bukan sekadar senyum, tapi keterikatan dengan apa yang Allah tetapkan, meski itu bukan yang kita inginkan. Kebahagiaan adalah menerima tanpa memaksa apa pun menjadi utuh, menerima bahwa kehancuran adalah bentuk lain dari kehidupan.
Pelajaran dari Ketidakpastian
Chodron mengingatkan bahwa tidak semua pertanyaan punya jawaban. Kadang, ketidakpastian itulah jawaban yang paling tulus. Sebagai seorang ayah dan guru, saya sering berusaha memberikan jawaban pasti, padahal hidup jauh lebih kompleks. Ketidakpastian adalah lahan untuk mengasah keimanan. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 139).
Jalan Terus, Hingga Allah yang Menyudahi
Sebagai ayah, sebagai guru, saya tidak punya hak untuk mengakhiri. Setiap kepingan, setiap bab adalah rangkaian yang diizinkan-Nya. Maka, tetaplah berjalan, tidak peduli betapa banyak yang jatuh dan tidak utuh. Sebab tugas kita bukan menuntaskan, tapi menjalani setiap fragmen yang diberi, hingga Allah berkenan memberi garis akhir.