Di tengah riuh dunia yang seakan tak henti bergolak, saya membaca “When the Moon Split: A Biography of Prophet Muhammad” karya syaikh Safiur Rahman Mubarakfuri. Dalam hening malam, di sela kewajiban saya sebagai ayah dan guru, ada detik-detik saat hati ini seakan dibelai dengan kasih sayang yang luas, melebihi cakrawala. Buku ini, bukan sekadar kisah hidup seorang Nabi, namun lebih dari itu, adalah lembaran cinta yang menuturkan perjuangan, pengorbanan, dan keteguhan iman.
Nabi Muhammad adalah seorang yang lahir di tengah kegelapan jahiliyah, namun membawa cahaya yang memecah belah malam seperti peristiwa terbelahnya bulan. Seorang ayah yang penuh kasih, seorang pemimpin yang tegas, dan seorang guru yang bijaksana. Di sinilah letak pelajaran bagi kita: mengapa kita tidak bisa mencintai dan mencontoh seseorang yang bahkan dipuji oleh para orientalis barat?
Seorang orientalis, Montgomery Watt, misalnya, menulis, “Untuk menilai karakter Muhammad, perlu diingat bahwa ia adalah salah satu dari sedikit tokoh yang berhasil menggabungkan spiritualitas yang mendalam dengan pendekatan yang sangat manusiawi terhadap dunia sekitar.” Karen Armstrong, seorang penulis yang terkenal, mengatakan bahwa Muhammad adalah “seorang tokoh sejarah yang paling disalah pahami dan paling sering difitnah di dunia barat.” Mengapa tokoh-tokoh dari dunia barat, yang tidak memiliki keyakinan sama dengan kita, begitu menghormati sosok ini?
Jawabannya jelas: mereka melihat kebenaran yang tak terbantahkan dalam hidupnya. Mereka melihat seorang manusia yang memiliki integritas luar biasa, yang berhasil meruntuhkan kejahiliyahan dalam waktu yang singkat dan menggantikannya dengan peradaban yang berakhlak mulia dan penuh keadilan.
Namun, pertanyaannya adalah: mengapa kita, yang mengaku sebagai pengikutnya, seringkali lupa akan hakikat ajaran-ajarannya? Mengapa kita tidak menjadikan kisahnya sebagai pelajaran dalam kehidupan kita sehari-hari? Bukankah Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. al-Bukhari dan Muslim)? Lalu, mengapa kita tidak berusaha menjadi umat terbaik dengan meneladani perilakunya?
Sebagai seorang ayah, saya melihat sosok Nabi Muhammad ﷺ bukan hanya sebagai seorang pemimpin, tapi juga seorang ayah yang begitu lembut, penyayang, dan penuh perhatian. Beliau menunjukkan kepada kita bahwa cinta kepada anak bukanlah hanya soal pemberian materi, tetapi tentang bagaimana kita hadir dalam setiap detak jantung mereka, dalam doa-doa malam yang sunyi, dan dalam kasih sayang yang tak terbatas. Inilah yang diajarkan oleh beliau ketika dengan penuh kelembutan beliau mendidik putrinya, Fatimah az-Zahra. Ada kesederhanaan dalam cinta, tetapi kesederhanaan itu penuh keagungan.
Sebagai seorang guru, saya belajar bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah seorang pendidik yang mengerti bahwa pembelajaran tidak hanya berlangsung di ruang-ruang kelas atau dalam batasan-batasan kurikulum, tetapi ia terjadi di setiap langkah kehidupan. Beliau adalah seorang guru yang dengan sabar menuntun umatnya, mengajarkan tentang sabar dan tekad, tentang bagaimana menjadi manusia yang merdeka di hadapan Allah. Seperti kata Karen Armstrong, “Beliau adalah seorang manusia yang penuh cinta dan kasih, dan ini terlihat dalam cara ia mendidik umatnya dengan penuh kesabaran dan kelembutan.”
Ada satu kutipan yang terus bergema dalam pikiran saya, sebuah ajakan untuk merenung lebih dalam: “Sesungguhnya di dalam Al-Quran ini, Kami menjelaskan kepada manusia segala macam perumpamaan. Tetapi manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS. Al-Kahf: 54). Mengingatkan kita betapa mudahnya kita melupakan pesan yang telah Allah turunkan melalui Nabi-Nya, betapa mudahnya kita terjebak dalam hal-hal yang fana, lupa pada tujuan yang sebenarnya.
Ayat Al-Qur’an mengingatkan saya, “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Hud: 115). Kata-kata ini menyentuh hati saya, seolah berbisik, bahwa setiap usaha yang kita lakukan, sekecil apapun itu, akan selalu dihargai oleh Allah. Tugas kita adalah terus berbuat baik, meski dunia mungkin belum bisa melihatnya.
Dan di sinilah, di sudut ruang, saya merasakan panggilan untuk menjadi lebih baik, untuk menjadi lebih sabar dan penuh kasih, baik sebagai ayah maupun guru. Nabi Muhammad bukan hanya sejarah, bukan hanya sebuah cerita yang tertulis di atas kertas, tetapi adalah cermin bagi kita semua. Sebuah cermin yang menantang kita untuk melihat diri sendiri dengan jujur, dan mengingatkan kita bahwa kehidupan ini lebih dari sekadar angka-angka dan rutinitas; ia adalah tentang memberi, tentang mencintai, dan tentang menemukan cahaya di tengah kegelapan.
Saya belajar bahwa kita tidak hidup hanya untuk diri kita sendiri, tapi kita hidup untuk memberikan cahaya kepada orang lain. Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kita untuk hidup dengan cinta dan penuh empati, meskipun dunia sering kali menghadapkan kita pada kebencian dan kesulitan. Inilah yang harus saya tanamkan kepada anak-anak dan murid-murid saya: bahwa kita, sebagai manusia, harus selalu berusaha menjadi rahmat bagi semesta alam, menebarkan cinta, dan mengajarkan kebaikan dengan penuh keikhlasan.
Membaca buku ini, saya teringat akan bagaimana kita, sebagai umat Islam, harus selalu memegang teguh prinsip dan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad ﷺ, karena dari sanalah kita menemukan makna hidup yang sesungguhnya, sebuah kehidupan yang tidak hanya indah di dunia, tetapi juga di akhirat.