by

Setelah Membaca Buku The War of Art

Buku The War of Art karya Steven Pressfield mengajak kita berdialog dengan diri sendiri. Bagaimana tidak? Setiap halaman seolah mencerminkan pertempuran yang ada di dalam diri kita. Sebagai ayah dan guru, saya merasa terhantam oleh pemikiran Pressfield tentang resistance — sebuah kekuatan yang menghalangi kita untuk menjadi versi terbaik dari diri kita. Kekuatan kasat mata berupa ketakutan, rasa malas, keraguan diri, dan semua bentuk kebiasaan buruk yang menghalangi kita untuk melakukan apa yang benar-benar kita cintai. Sebagai seorang ayah dan guru, buku ini menjadi cermin bagi banyak ketakutan dan kelemahan yang tersembunyi dalam diri saya sendiri, serta dalam diri anak-anak dan murid-murid saya.

Resistance itu ibarat seruling tua yang berkarat, terus membunyikan nada-nada malas dan ragu. Pressfield bicara soal bagaimana kita selalu menghindar dari hal-hal yang seharusnya kita kejar, entah itu menulis, berbisnis, atau bahkan sekadar menjadi pribadi yang lebih baik. Bukankah ini seperti cerita lama kita, yang tak lekang di hadapan kenyataan? “Manusia,” tulis Ibnul Qayyim, “adalah perwujudan antara apa yang dia mau dan apa yang menahannya.”

Pressfield menyebut bahwa dalam setiap diri manusia ada dorongan untuk menjadi sesuatu yang lebih besar dari diri kita saat ini, namun kita sering tersandera oleh resistance yang membuat kita terjebak dalam zona nyaman. Hal ini sejalan dengan firman Allah, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69). Jalan menuju kesuksesan dan makna hidup, ternyata penuh tantangan.

Dalam kisah hidup ini, kita sering menjadi penonton di drama yang kita ciptakan sendiri, di mana kita lebih memilih duduk di kursi penonton daripada menjadi aktor utama. Sebagai seorang ayah, saya sering melihat anak-anak saya terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan yang membuat mereka nyaman, dan sebagai guru, saya menyaksikan murid-murid saya menghadapi ketakutan-ketakutan kecil yang menghentikan langkah mereka. Inilah hakikat dari resistance —musuh dalam diri yang membuat kita tetap diam, meski hati berteriak ingin melangkah.

Pressfield juga mengingatkan bahwa untuk menaklukkan resistance, kita harus berani bertindak. Tindakan ini mungkin sederhana, seperti mengangkat kuas pertama untuk melukis, mengetik kata pertama untuk menulis, atau bahkan memulai doa di pagi yang gelap. Rasulullah bersabda, “Janganlah engkau meremehkan kebaikan sedikit pun, meskipun hanya dengan wajah yang berseri-seri ketika bertemu saudaramu.” (HR. Muslim). Sebuah langkah kecil itu bisa saja menjadi awal dari perubahan besar, bisa menjadi percikan cahaya di tengah gulita.

Tapi kita sering kali takut. Bukan takut akan gagal, tapi takut akan sukses. Karena sukses berarti meninggalkan semua zona nyaman. Karena sukses berarti menghadapi dunia dengan mata terbuka, dengan hati yang lapang, dengan jiwa yang siap menerima apa pun yang datang. Dan ini bukan perkara mudah. Tetapi inilah jihad kita, melawan diri sendiri, melawan kebiasaan-kebiasaan buruk, melawan rasa malas yang begitu kuat mencengkram.

Pressfield juga berbicara tentang panggilan jiwa. Betapa setiap dari kita memiliki sesuatu yang seharusnya kita lakukan, namun sering kali kita gagal karena kita takut mengambil langkah pertama. Sebagai seorang ayah, saya belajar bahwa penting untuk memberikan teladan kepada anak-anak saya tentang bagaimana menghadapi resistance ini. Bukan dengan menakut-nakuti mereka, tapi dengan menunjukkan bahwa setiap ketakutan bisa diatasi dengan keberanian kecil yang terus-menerus diasah. Sebagai guru, saya mengingatkan diri saya dan murid-murid saya bahwa pertempuran terbesar bukan di medan perang atau di panggung politik, tetapi di dalam diri kita sendiri. Dan pertempuran ini hanya bisa dimenangkan oleh mereka yang berani mengambil langkah, meski kecil, meski terseok.

Jadi, The War of Art mengingatkan saya, sebagai seorang ayah dan guru, bahwa hidup adalah tentang memilih pertempuran yang tepat. Menjadi luar biasa bukan tentang mencapai sesuatu yang besar dalam sekejap, tetapi tentang memenangkan pertempuran kecil sehari-hari melawan ketakutan dan keraguan diri. Sebab, pada akhirnya, hidup adalah tentang terus maju, satu langkah kecil sekaligus, melawan semua resistance yang datang dari dalam diri.

Mengutip perkataan Ibnul Qayyim, “Sungguh, perjuangan terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu. Barang siapa yang mampu menaklukannya, maka ia akan mampu menaklukkan yang lainnya.” Inilah inti dari The War of Art yang terus saya renungkan; bahwa perjuangan melawan resistance adalah jihad pribadi kita untuk menjadi manusia yang lebih baik, dan itu harus dimulai dari diri kita sendiri, di rumah, dan di ruang kelas.

Ya, The War of Art mengajarkan saya bahwa hidup adalah soal berani melawan, berani bermimpi, dan berani menanggung konsekuensi dari impian kita. Mari, kita mulai dengan tindakan kecil hari ini. Karena mungkin, di sanalah keajaiban bersembunyi.

Write a Comment

Comment