by

Setelah Membaca Buku Teach Like Finland

Ketika saya membuka halaman pertama buku Teach Like Finland: 33 Simple Strategies for Joyful Classrooms karya Timothy D. Walker, rasanya seperti memasuki dunia yang berbeda. Buku ini seolah mengajak saya, seorang guru, untuk berhenti sejenak, merenungkan kembali apa makna dari mengajar. Buku ini lebih dari sekadar buku panduan mengajar. Ia adalah perjalanan menuju sebuah dunia pendidikan yang lebih hangat, lebih manusiawi. Di dalamnya, Walker mengajak kita melihat bagaimana sistem pendidikan Finlandia, yang terkenal di dunia, sebenarnya dibangun di atas prinsip-prinsip yang sederhana namun mendalam. Buku ini seperti sebuah sajak, lembut namun sarat makna, mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya soal angka-angka, tetapi tentang kehangatan antara guru dan murid, tentang menghargai setiap jeda dalam proses belajar, dan tentang bagaimana pendidikan bisa menjadi sumber kebahagiaan.

Membaca Teach Like Finland terasa seperti menikmati puisi yang menceritakan tentang sekolah-sekolah yang dipenuhi canda tawa, tentang ruang kelas yang penuh semangat, dan tentang bagaimana pendidikan bisa menjadi perjalanan yang menyenangkan. Dengan gaya yang lembut namun menggugah, Walker mengajak kita semua untuk menciptakan kelas yang penuh makna dan kebahagiaan. Sebuah buku yang layak menjadi inspirasi bagi para pendidik yang ingin membawa kehangatan dan kegembiraan ke dalam dunia pendidikan.

Allah berfirman, “Dan Dia menjadikan siang untuk mencari penghidupan dan malam sebagai waktu untuk beristirahat” (QS. Al-Furqan: 47). Ayat ini mengingatkan saya bahwa dalam pendidikan, memberi waktu istirahat bukan hanya soal jeda, tetapi soal mengikuti ritme alam yang Allah ciptakan. Dalam keseharian saya, murid-murid sering kali terlihat terburu-buru, seolah-olah waktu adalah musuh yang harus dilawan. Kita semua berlomba dengan jam, mengejar kurikulum yang padat, mengejar target, tapi sering kali lupa memberi ruang untuk bernafas. Walker mengingatkan saya bahwa istirahat bukan sekadar jeda, tapi momen penting untuk meresapi apa yang telah dipelajari. Di Finlandia, murid diberi waktu istirahat yang cukup banyak, 15 menit untuk setiap 45 menit belajar. Mereka berhenti, menarik nafas, dan melihat dunia di sekitar mereka. Betapa indahnya gagasan ini—menghargai ritme kehidupan, memberi ruang bagi pikiran untuk beristirahat, sehingga ketika kembali belajar, mereka lebih segar dan siap menyelami samudra ilmu.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang mencintai saudaranya sehingga ia mencintainya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Al-Bukhari). Sebagai guru di Indonesia, saya merenungkan seberapa sering saya benar-benar mengenal murid-murid saya. Apakah saya hanya mengenal mereka melalui nilai-nilai yang mereka dapatkan, atau apakah saya benar-benar mengenal mereka sebagai individu? Walker berbicara tentang pentingnya hubungan yang dekat antara guru dan murid. Di Finlandia, guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi pendamping dalam perjalanan belajar. Ini mengingatkan saya bahwa mengajar bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang menciptakan hubungan yang tulus, yang membuat murid merasa dilihat, didengar, dan dihargai.

Allah SWT berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS. Al-Qasas: 77). Keseimbangan antara tugas dan kehidupan pribadi sangatlah penting. Guru yang bahagia, yang diberi ruang untuk beristirahat dan berkembang, akan menciptakan kelas yang penuh energi positif. Di Finlandia, hal ini dijaga dengan baik, memberi saya pelajaran bahwa menjaga kesehatan mental dan spiritual adalah bagian dari ibadah yang harus kita jaga. Saya merenung, betapa sering saya, dan mungkin juga rekan-rekan saya, terjebak dalam tugas-tugas administratif yang tak ada habisnya. Padahal, bagaimana mungkin kita bisa memberikan yang terbaik kepada murid jika kita sendiri tidak bahagia, tidak punya waktu untuk diri sendiri, untuk keluarga, untuk mengisi ulang semangat yang kendor?

Allah berfirman, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada Al-Quran, semuanya dari sisi Tuhan kami” (QS. Ali-Imran: 7). Ilmu yang sejati adalah ilmu yang relevan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di Finlandia, setiap pelajaran dihubungkan dengan dunia nyata, dengan kehidupan murid sehari-hari. Walker mengingatkan saya bahwa pendidikan harus membuat murid merasa lebih dekat dengan realita mereka, mengaitkan pelajaran dengan kehidupan nyata sehingga mereka bisa memahami dan mengaplikasikan ilmu tersebut dengan mudah. Ini adalah sesuatu yang sering kali terabaikan di kelas-kelas kita. Di sini, pelajaran sering terasa mengambang, terlepas dari kenyataan yang dihadapi murid sehari-hari.

Buku ini mengajarkan bahwa dalam kesederhanaan, ada kekuatan. Bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal-hal kecil—memberi waktu istirahat yang cukup, menjalin hubungan yang erat dengan murid, menjaga kesehatan mental guru, dan membuat pelajaran lebih relevan. Semua ini adalah langkah-langkah kecil yang bisa membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan kita. Sesederhana itu, namun sekuat itu pula. Dalam Islam, kita diajarkan untuk selalu menjaga keseimbangan, seperti dalam firman Allah, “Dan Kami jadikan kamu umat yang adil dan pilihan” (QS. Al-Baqarah: 143). Pendidikan juga harus berimbang—antara ilmu dan akhlak, antara karir dan kebahagiaan, antara dunia dan akhirat. Sebagai guru, saya merasa terinspirasi untuk menciptakan suasana belajar yang lebih manusiawi, penuh makna, dan membawa kebahagiaan bagi murid-murid saya.

Write a Comment

Comment