Sebagai seorang ayah yang mendambakan pendidikan terbaik bagi anak-anak saya, membaca buku Sekolah Itu Candu karya Roem Topatimasang memberikan sebuah tamparan halus tetapi mendalam. Saya terdiam sejenak setelah menutup buku itu. Terselip kegelisahan yang tidak bisa segera hilang. Pendidikan, yang selama ini dianggap sebagai jalan mutlak menuju kesuksesan, dalam buku ini digambarkan sebagai sesuatu yang dapat meninabobokan, bahkan menyesatkan. Roem menyebut sekolah sebagai candu; sesuatu yang memabukkan namun diam-diam merusak, membuat kita merasa nyaman dalam keterbelengguan.
Buku ini memaksa saya untuk memikirkan ulang, apa sesungguhnya pendidikan itu? Apa peran sekolah dalam mendidik manusia? Dan, yang paling penting, apakah selama ini saya telah menyetujui suatu sistem yang lebih banyak memenjarakan pikiran daripada membebaskannya?
Sekolah: Candu yang Menyesatkan?
Roem mengawali bukunya dengan menyodorkan gambaran bahwa sekolah, yang selama ini dipuja-puja sebagai lembaga yang mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata menyimpan banyak ironi. Di balik slogan “mencerdaskan,” ada sesuatu yang mengganggu. Sekolah, alih-alih menjadi sarana pembebasan, justru sering kali berubah menjadi lembaga yang mengekang kebebasan berpikir. Anak-anak dididik untuk patuh, mengikuti aturan tanpa bertanya, dan menghafal tanpa memahami.
Dalam Islam, kita diajarkan bahwa ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan. Imam Malik berkata, “Ilmu itu cahaya, dan cahaya tidak diberikan kepada ahli maksiat.” Ilmu sejati adalah ilmu yang menghidupkan hati dan akal, yang menuntun manusia kepada kebenaran, dan yang membimbing kita menuju Allah. Namun, apa yang kita temukan di sekolah-sekolah modern sering kali bertolak belakang dengan hakikat ilmu itu sendiri. Sekolah, dengan segala standar dan kurikulumnya, lebih sering menutup pintu kritis daripada membukanya. Ini adalah sebuah bentuk “candu” dalam pengertian bahwa kita terjebak dalam sistem yang terus berjalan, tanpa sadar bahwa kita mungkin sedang menuju arah yang salah.
Nilai-nilai yang Keliru
Roem juga menyoroti bagaimana sekolah mengukur kesuksesan siswa dengan angka-angka. Nilai, ranking, dan sertifikat menjadi ukuran utama prestasi. Dalam sistem ini, pendidikan lebih ditekankan pada output yang terukur secara kuantitatif. Namun, apakah angka-angka itu benar-benar mencerminkan kecerdasan dan karakter seseorang?
Al-Qur’an mengingatkan kita, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13). Dalam pandangan Islam, kemuliaan seseorang tidak diukur dari angka, gelar, atau harta, tetapi dari ketakwaannya. Pendidikan seharusnya berfokus pada pembentukan karakter yang berlandaskan nilai-nilai Islam, bukan semata-mata pada penguasaan materi akademis. Namun, sistem pendidikan modern cenderung menempatkan materi di atas moralitas, mengarahkan anak-anak untuk berlomba-lomba mencapai hasil akademik, tetapi melupakan aspek spiritualitas dan akhlak.
Sekolah sebagai Perpanjangan Tangan Kapitalisme
Dalam buku ini, Roem juga menggambarkan sekolah sebagai bagian dari sistem kapitalisme. Anak-anak dididik untuk menjadi pekerja yang patuh, bukan pemikir yang merdeka. Mereka dipersiapkan untuk mengisi pos-pos dalam struktur ekonomi yang sudah ada, tanpa diberi kesempatan untuk mempertanyakan atau memikirkan ulang struktur itu sendiri.
Sebagai seorang ayah, saya merenung. Benarkah pendidikan yang selama ini kita percayai hanya berfungsi untuk melanggengkan sistem kapitalisme? Anak-anak kita dididik untuk sukses secara materi, tetapi apakah mereka juga dididik untuk memahami hakikat kehidupan ini? Al-Qur’an mengajarkan kita bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang sementara. “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20).
Sekolah modern, dengan segala orientasinya pada kesuksesan duniawi, sering kali mengaburkan pandangan anak-anak tentang tujuan hidup yang lebih besar. Mereka diajarkan bahwa bekerja di perusahaan besar, memiliki gaji tinggi, dan memperoleh status sosial adalah puncak dari kesuksesan hidup. Padahal, dalam Islam, kebahagiaan sejati bukanlah soal materi, tetapi soal kedekatan dengan Allah dan menjalani hidup sesuai dengan ajaran-Nya.
Ilmu yang Menghantarkan pada Allah
Pendidikan dalam Islam bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi lebih dari itu, ia adalah proses pembentukan karakter dan pemahaman tentang hakikat hidup. Tujuan akhir pendidikan adalah mendekatkan manusia kepada Allah. Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Ilmu yang tidak mendekatkan pemiliknya kepada Allah, maka ilmu itu adalah musibah baginya.” Ilmu yang benar adalah ilmu yang menambah rasa takut dan cinta kepada Allah.
Namun, sistem sekolah modern lebih sering mengajarkan ilmu yang bersifat materialistis, yang hanya berfokus pada dunia dan melupakan akhirat. Anak-anak diajarkan untuk menguasai teknologi, ekonomi, dan sains, tetapi tidak diajarkan untuk merenungi bagaimana semua itu seharusnya digunakan untuk kemaslahatan umat dan untuk mencapai keridhaan Allah. Ada disonansi antara apa yang diajarkan di sekolah dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk hidup sebagai hamba Allah.
Tugas Orang Tua dalam Pendidikan Anak
Setelah membaca Sekolah Itu Candu, saya menyadari bahwa tanggung jawab pendidikan anak-anak tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sebagai orang tua, kita memiliki peran penting dalam membimbing anak-anak untuk memahami bahwa pendidikan tidak hanya tentang mendapatkan nilai yang baik atau meraih gelar akademis, tetapi juga tentang menjadi manusia yang berakhlak mulia, yang memahami peran mereka di dunia ini sebagai khalifah Allah.
Dalam hadis, Rasulullah bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” Kita, sebagai orang tua, akan dimintai pertanggungjawaban atas bagaimana kita mendidik anak-anak kita. Apakah kita hanya mendorong mereka untuk mengejar kesuksesan dunia, ataukah kita juga membimbing mereka untuk menjadi hamba-hamba Allah yang bertakwa?
Pendidikan yang Membebaskan
Setelah merenungi buku ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membelenggu. Pendidikan seharusnya membentuk manusia yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab, bukan sekadar robot yang patuh pada sistem. Pendidikan seharusnya mengarahkan anak-anak kita untuk memahami dunia, tetapi juga untuk mengingat bahwa dunia ini hanyalah persinggahan sementara.
Saya teringat firman Allah, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Tujuan hidup kita adalah beribadah kepada Allah, dan pendidikan adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan itu. Jika pendidikan hanya mengajarkan kita tentang dunia, tetapi melupakan akhirat, maka pendidikan itu telah gagal dalam misinya yang paling penting.
Penutup
Buku Sekolah Itu Candu membuka mata saya tentang banyak hal. Sebagai seorang ayah, saya merasa perlu untuk lebih berhati-hati dalam mengarahkan pendidikan anak-anak saya. Sekolah bukanlah satu-satunya jalan untuk meraih kesuksesan hidup. Ada banyak hal yang tidak diajarkan di sekolah, tetapi sangat penting bagi kehidupan anak-anak kita, terutama dalam memahami hakikat kehidupan ini.
Tugas kita sebagai orang tua adalah memastikan bahwa pendidikan anak-anak kita tidak hanya mengejar kesuksesan duniawi, tetapi juga membimbing mereka menuju kesuksesan akhirat. Pendidikan sejati adalah yang mengarahkan manusia kepada Allah, membentuk mereka menjadi hamba-hamba yang bertakwa dan berakhlak mulia.