Bayangkan kita hidup di dunia di mana setiap penolakan adalah lagu patah hati yang terus diputar tanpa henti. Tapi, dari buku Rejection Proof karya Jia Jiang, kita belajar bahwa di balik melodi yang sumbang itu, ada alunan yang sebenarnya bisa membuat kita menari. Kita seringkali merasa dunia ini adalah panggung yang menakutkan, dan ketakutan terbesar kita adalah ketika panggung itu mematikan lampu sorotnya ke arah kita, saat kita ditolak, dicemooh, atau diabaikan. Namun, bukankah itu justru menjadi panggilan untuk bermain lebih bebas?
Jia Jiang menulis tentang penolakan seperti seorang seniman yang melukis dengan warna-warna yang tidak terduga. Dalam setiap sapuan kuas penolakannya, ada pelajaran yang ingin disampaikan: bahwa takut ditolak itu seperti takut gelap malam; padahal gelap hanya bagian dari ritme hari yang harus kita lewati. Kita sering menghindari rasa sakit karena takut ditolak, padahal di situlah Allah mengajarkan kita tentang kesabaran dan keyakinan. “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2).
Jia Jiang mengisahkan perjalanan personalnya menghadapi ketakutan terbesar yang seringkali tersembunyi dalam diri kita: takut ditolak. Ketakutan ini seperti bayangan hitam yang mengikuti langkah kita, menciptakan keraguan dan menghambat potensi terbaik yang Allah anugerahkan. Betapa sering kita merasa lumpuh oleh kecemasan tentang apa yang orang lain pikirkan, takut jika upaya kita tidak dihargai, takut jika tidak diterima. Ketakutan ini begitu kuat hingga kita lebih memilih untuk mundur, bersembunyi di balik zona nyaman kita.
Namun, bukankah hidup ini adalah tentang berani mengambil risiko? Tentang berani melangkah meski tak ada jaminan akan diterima, karena kita percaya ada hikmah yang Allah letakkan di setiap langkah kita? Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran, “Maka apabila kamu telah berazam (bertekad bulat), bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 159). Ayat ini mengajarkan kita untuk tetap melangkah, untuk tetap mencoba, meski hasilnya belum tentu sesuai dengan harapan kita.
Sebagai seorang ayah, saya ingin anak-anak saya tahu bahwa penolakan bukanlah akhir dari segalanya. Dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian, kita harus mendorong mereka untuk berani mencoba dan menghadapi kegagalan dengan lapang dada. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Tidaklah seseorang yang bersabar atas kesulitan yang menimpanya melainkan Allah akan menggantikannya dengan kebaikan yang lebih besar darinya.” (HR. Muslim). Menghadapi penolakan adalah bagian dari ujian hidup yang akan memperkuat iman dan kepribadian kita.
Sebagai seorang guru, saya menyadari bahwa saya harus menanamkan keberanian dalam hati murid-murid saya untuk tidak takut mencoba, meski harus menempuh jalan yang berliku dan terjal. “Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupkan keperluannya.” (QS. At-Thalaq: 3). Keberanian untuk mencoba dan menerima kemungkinan penolakan adalah bagian dari tawakkal, bagian dari keyakinan bahwa setiap langkah yang kita ambil adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar.
Menjadi seorang ayah sekaligus guru, saya menyadari bahwa dunia ini tidak akan berhenti memberi kita alasan untuk takut, terutama takut ditolak. Tapi seperti yang disampaikan Rasulullah ﷺ, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah,. (HR. Muslim). Penolakan bukanlah pintu yang tertutup, melainkan undangan untuk mencoba mengetuk pintu yang lain, lebih kuat, lebih berani.
Dalam kehidupan, kita perlu berhenti menghindari gelap hanya karena takut tersandung. Kita harus belajar berjalan dalam gelap, dengan percaya bahwa Allah selalu menerangi jalan kita, jika kita percaya dan terus melangkah. Begitu pula penolakan; ia adalah bagian dari seni menjalani hidup. Maka, teruslah bermain, teruslah melukis, dan teruslah mencari warna-warna baru meskipun sapuan pertama tak sesuai harapan. Karena pada akhirnya, karya terbaik tidak mungkin dihasilkan oleh mereka yang takut salah, tapi oleh mereka yang berani mencoba, lagi, lagi, dan lagi.