Pendidikan yang Menjauh dari Tujuan
Buku Pendidikan Rusak-Rusakan karya Darmaningtyas membuka mata kita pada kenyataan pahit yang selama ini mungkin sudah kita rasakan, namun sering kali kita abaikan. Sebagai seorang ayah sekaligus guru, saya merasa terpanggil untuk merenungkan lebih dalam mengenai apa sebenarnya tujuan dari pendidikan ini. Mengapa institusi yang seharusnya mencerdaskan bangsa justru seringkali terlihat seperti mesin penghancur nilai-nilai luhur?
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat: 13). Jika demikian, di mana takwa dalam pendidikan kita? Di mana proses pembentukan karakter mulia dalam sistem yang lebih mementingkan angka dan rangking daripada akhlak dan adab?
Darmaningtyas dalam buku ini seperti menyibak luka lama yang tidak pernah sembuh betul. Luka itu menganga, berdenyut, seperti mengingatkan bahwa ada sesuatu yang salah di ruang-ruang kelas yang selalu kita sebut dengan bangga sebagai “sekolah”. Sebagai seorang ayah dan seorang guru, saya berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa anak-anak kita, setiap hari, berada dalam sistem yang tampak kokoh di luar, namun rapuh di dalam. Semua berjalan, tapi tanpa jiwa.
Allah berfirman, “Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Taha: 114). Ilmu adalah pelita, cahaya yang menerangi jalan hidup. Namun, apakah pendidikan kita masih mengajarkan cahaya itu, ataukah hanya menjadi sekadar kumpulan pengetahuan yang kosong tanpa makna mendalam?
Sekolah Sebagai Pabrik Angka, Bukan Adab
Jika kita melihat praktik pendidikan saat ini, sekolah lebih banyak menghasilkan nilai angka daripada manusia seutuhnya. Murid dibentuk, dipaksa, bahkan dituntut untuk mengejar angka-angka pada rapor mereka, seakan itulah satu-satunya hal yang penting. Sistem pendidikan ini, alih-alih menumbuhkan kepribadian yang utuh, malah lebih mirip sebagai lini produksi yang tidak peduli dengan karakter individu.
Rasulullah bersabda, “Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Pendidikan seharusnya mencerminkan visi ini; menanamkan nilai-nilai kebaikan, mengajarkan tentang kehidupan, tentang hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Tapi ironisnya, di dalam ruang-ruang kelas, yang diajarkan seringkali hanya tentang berapa skor yang harus dicapai.
Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka ia diberi pemahaman tentang agama.” Pendidikan adalah tentang pemahaman yang mendalam, bukan sekadar angka di atas kertas. Tetapi, ketika pendidikan lebih mengutamakan nilai rapor daripada nilai hidup, kita harus berhenti sejenak dan merenung: benarkah ini yang kita inginkan?
Sekolah: Institusi Pendidikan atau Pabrik?
Pendidikan kita ibarat mesin produksi. Anak-anak diproses, dicetak, dan dilepas ke masyarakat dalam format yang sudah baku, seragam. Tidak ada ruang bagi kreativitas, apalagi kebebasan berpikir. Ini bukan pendidikan, ini pabrikasi! Mereka tidak diajarkan berpikir, hanya menghafal dan mengulang apa yang diajarkan. Dalam bahasa sederhana, mereka diharuskan tunduk tanpa banyak tanya.
Dalam Islam, ada dalil: “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An-Nisa: 82). Pendidikan seharusnya melatih nalar kritis, bukan melatih anak untuk menerima tanpa refleksi. Sayangnya, yang terjadi kini sebaliknya, murid tidak diajarkan untuk “mempertanyakan” kebenaran.
Guru: Antara Pengajar dan Pendidik
Darmaningtyas menyingkapkan sebuah kenyataan yang mengusik nurani: orientasi pendidikan kita saat ini lebih kepada ekonomi dan prestasi akademis tanpa jiwa. Anak-anak kita dididik seolah-olah hanya untuk menjadi “sumber daya manusia” yang siap pakai. Pendidikan tidak lagi berbicara tentang pembangunan peradaban, tetapi tentang kemampuan bersaing di pasar tenaga kerja. Pendidikan kehilangan arah. Sebagai seorang guru, saya merasa betapa seringnya kita terjebak dalam rutinitas mengajar, mengejar kurikulum, tanpa sempat merenungkan esensi pendidikan itu sendiri.
Sebagai seorang guru, saya menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal mengajarkan materi, melainkan menginspirasi. Guru bukan sekadar penyampai informasi, tetapi seorang yang membimbing, yang memberikan ruang bagi anak-anak untuk mencari jati diri. Dalam sistem yang sekarang, guru-guru sering kali dipaksa untuk sekadar mengajar, tanpa diberi ruang untuk membimbing dengan penuh makna.
Ibnu Khaldun mengingatkan, “Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang membentuk karakter.” Jika guru hanya berperan sebagai pengajar, lalu siapa yang akan membentuk karakter anak-anak kita? Karakter tidak dibentuk melalui hafalan atau ujian; karakter dibangun melalui keteladanan, melalui inspirasi yang dirasakan anak-anak di dalam kelas.
Beliau juga pernah menyatakan bahwa pendidikan adalah jalan untuk menegakkan peradaban. Jika pendidikan sudah kehilangan arah, bagaimana kita bisa berharap anak-anak kita akan tumbuh dengan visi yang kuat untuk membangun masyarakat yang bermartabat?
Anak-anak: Mereka yang Diam-diam Kehilangan Mimpi
Setiap pagi, anak-anak pergi ke sekolah dengan tas berat di punggung dan kepala penuh hafalan. Di wajah mereka, tersimpan kelelahan, seperti prajurit yang dipaksa berbaris tanpa pernah bertanya mengapa mereka harus berperang. Mereka pulang, lelah, dengan hafalan yang perlahan terlupakan. Di balik semua itu, mereka kehilangan mimpi, satu per satu, layaknya kelopak bunga yang luruh sebelum sempat mekar.
Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi melihat kepada hati dan amal kalian.” Pendidikan sejati seharusnya membentuk hati, menciptakan amal yang nyata. Tapi, di kelas-kelas, anak-anak diajarkan untuk mengumpulkan nilai, bukan pemahaman.
Kehilangan Jati Diri Bangsa
Pendidikan di Indonesia terjebak dalam pusaran birokrasi, kebijakan yang elitis, dan pengelolaan yang serba politis. Padahal pendidikan seharusnya membentuk karakter bangsa yang kuat, cerdas, dan berintegritas. Sebagaimana termaktub dalam tujuan Sistem Pendidikan Nasional yakni membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Sayangnya, di tengah desakan birokrasi dan sistem evaluasi yang kaku, pendidikan kita gagal mencapai tujuan itu. Anak-anak kita tumbuh dengan mental siap pakai, siap bekerja, tetapi tanpa daya kritis.
Harapan Akan Sebuah Revolusi Pendidikan
Setelah membaca buku ini, hati saya dipenuhi dengan keinginan untuk melihat adanya revolusi dalam pendidikan kita. Kita membutuhkan perubahan besar-besaran, bukan hanya dalam sistem dan kurikulum, tetapi dalam paradigma pendidikan itu sendiri. Pendidikan haruslah kembali kepada tujuan dasarnya: meningkatkan keimanan dan ketakwaan, mencerdaskan, serta membangun akhlak yang mulia. Anak-anak kita bukanlah robot yang hanya diisi dengan data, tetapi manusia yang perlu diarahkan, dibimbing, dan dipersiapkan untuk kehidupan di dunia dan akhirat.
Membaca buku ini adalah pengingat bagi saya, dan seharusnya juga bagi kita semua, untuk kembali kepada inti dari pendidikan yang sebenarnya. Agar suatu hari nanti, pendidikan kita tidak hanya menghasilkan manusia-manusia pintar, tetapi juga manusia-manusia yang beradab.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Ini adalah panggilan untuk kita semua: apakah kita siap untuk mengubah arah pendidikan kita? Siapkah kita menghadirkan pendidikan yang benar-benar memanusiakan, yang memberikan ruang bagi setiap anak untuk berkembang sesuai potensi mereka?