by

Setelah Membaca Buku Manusia Indonesia

Membaca “Manusia Indonesia” karya Mochtar Lubis, saya—seorang guru—duduk lama memandangi jendela, memikirkan anak-anak di kelas saya, memikirkan diri saya. Mochtar Lubis melukis karakter “manusia Indonesia” dengan garis-garis tegas: manusia yang penuh kepura-puraan, takut pada tanggung jawab, dan terbelenggu oleh feodalisme. Sederhana, tetapi begitu tajam. Saya merasa ditampar oleh kata-kata yang menohok, karena mungkin tanpa sadar, saya telah ikut membentuk generasi yang seperti itu—generasi yang takut untuk berbeda, takut untuk berpikir.

Mochtar Lubis memaparkan dengan telanjang bahwa ada yang salah dengan cara kita memandang dunia. “Manusia Indonesia” digambarkan sebagai pribadi yang terlalu sering berdamai dengan kebohongan, bersembunyi di balik kenyamanan. Sebagai seorang guru, saya diingatkan akan peran penting yang saya pegang—peran untuk membentuk karakter anak-anak ini, agar mereka tidak tumbuh menjadi manusia yang takut menghadapi kenyataan, yang puas hidup dalam kepalsuan.

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Tugas saya adalah menjadi bagian dari perubahan itu. Bukan hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga keberanian untuk berpikir, untuk mengkritik, untuk melihat dunia dengan cara yang jujur. Ini bukan soal membuat mereka menjadi manusia yang sempurna, tetapi membentuk mereka menjadi manusia yang berani melihat kebenaran, yang tidak takut untuk mengakui kesalahan.

Lubis membuka mata saya bahwa pendidikan bukan hanya soal mengajarkan fakta, tetapi tentang bagaimana kita membantu murid-murid kita menemukan kearifan diri mereka. Sebuah pendidikan yang tidak hanya mengasah otak, tetapi juga jiwa. Imam Asy-Syafi’i pernah berkata, “Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.” Jika kita tidak mendidik anak-anak kita dengan jujur, dengan adil, kita menutup cahaya itu sendiri.

Jadi, apa yang bisa saya lakukan setelah membaca buku ini? Saya harus lebih berani. Lebih jujur pada diri sendiri dan pada anak-anak yang saya ajar. Saya harus menanamkan keberanian untuk berpikir, keberanian untuk merasakan, keberanian untuk menjadi manusia yang sebenarnya. Sebab tugas seorang guru bukanlah sekadar mengisi kepala dengan pengetahuan, tetapi menumbuhkan hati yang besar, jiwa yang bersih, dan pikiran yang bebas dari kemunafikan.

Itulah makna “Manusia Indonesia” bagi saya. Sebuah ajakan untuk berubah, untuk melawan kemalasan berpikir dan kebiasaan bersembunyi di balik kepura-puraan. Sebagai guru, saya ingin menjadi bagian dari perubahan itu. Bukan dengan slogan, bukan dengan retorika, tapi dengan ketulusan, dengan keteguhan hati, dan dengan keberanian untuk mengakui bahwa kita masih punya banyak cacat yang harus diperbaiki.

Write a Comment

Comment