by

Setelah Membaca Buku Intellectuals

Paul Johnson menyerang jantung peradaban modern. Dia membuka tabir, membeberkan kebohongan yang tersembunyi di balik nama-nama besar. Rousseau, Marx, Tolstoy, Sartre; tokoh-tokoh ini menulis tentang moral, keadilan, dan kebebasan. Tapi di balik layar, hidup mereka penuh kontradiksi.

Rousseau menyerahkan anak-anaknya ke panti asuhan. Sementara itu, dia menulis Emile, manifesto pendidikan yang mengagungkan peran orang tua. Marx? Dia bicara soal pembebasan kaum buruh, tetapi hidup dari belas kasihan Engels. Tolstoy menulis tentang spiritualitas, tapi keluarganya menderita karena obsesi moral yang hanya ada di atas kertas.

Ini lebih dari sekadar ironi. Ini adalah pengkhianatan terhadap kebenaran. QS. As-Saff (61:2-3) menegaskan, “Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Kata-kata tanpa tindakan adalah dusta.

Sebagai ayah dan guru, saya terhenyak. Di mana saya berdiri dalam spektrum ini? Apakah saya mengajarkan nilai-nilai yang saya sendiri abaikan? Pertanyaan ini menjadi cermin, dan cermin tidak pernah berbohong.

Johnson tidak hanya menyajikan kritik. Dia memberikan tantangan. Hidup dengan integritas adalah ujian yang sesungguhnya. Dan ujian ini dimulai dari rumah.

Absennya Amal dari Ilmu

Ilmu tanpa amal adalah bencana. Marx adalah contoh sempurna. Dia memetakan struktur kapitalisme, membedahnya hingga ke akar. Tapi dalam kehidupan sehari-harinya, dia adalah beban bagi orang lain. Engels yang membiayai hidupnya, sementara anak-anaknya Karl Marx sendiri menderita.

Bagaimana kita bisa mempercayai ide besar dari seseorang yang gagal dalam hal kecil? QS. Al-Baqarah (2:44) mengingatkan, “Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sementara kamu melupakan dirimu sendiri?” Ilmu harus menghasilkan amal, jika tidak, itu hanya alat kesombongan.

Imam Al-Ghazali memperingatkan, “Ilmu adalah pohon, dan amal adalah buahnya. Ilmu tanpa amal adalah pohon yang tidak berbuah.” Ilmu seharusnya mengubah cara kita hidup. Jika tidak, ia hanya menjadi beban intelektual yang tidak bermakna.

Sebagai guru, saya sering bertanya: Apakah saya hanya menyampaikan informasi, atau saya menginspirasi perubahan? Murid-murid tidak butuh fakta kosong. Mereka butuh teladan, seseorang yang hidup sesuai dengan nilai yang diajarkan.

Ilmu adalah tanggung jawab. Dan tanggung jawab ini tidak bisa diabaikan. Setiap ilmu yang kita ajarkan harus terwujud dalam tindakan.

Keteladanan Dimulai dari Rumah

Keluarga adalah medan pertama integritas. Tolstoy menulis karya besar seperti War and Peace, tapi gagal menjalankan perang moral dalam rumahnya sendiri. Pernikahannya penuh konflik, anak-anaknya hidup dalam bayang-bayang otoritas yang mengekang.

Sebagai ayah, saya sadar. Anak-anak tidak hanya mendengarkan apa yang kita katakan. Mereka mengamati apa yang kita lakukan. QS. Luqman (31:13-19) mengajarkan kita tentang Luqman, seorang ayah bijak yang tidak hanya memberikan nasihat, tetapi juga menjadi teladan dalam tauhid dan akhlak.

Imam Ibnul Qayyim menegaskan, “Anak-anak adalah amanah. Mereka akan meniru apa yang mereka lihat, bukan hanya apa yang mereka dengar.” Keteladanan adalah kunci. Tanpa itu, semua nasihat hanya akan menguap di udara.

Sebagai orang tua, kita sering lupa bahwa tindakan kita memiliki dampak yang lebih besar daripada kata-kata kita. Jika kita ingin membangun generasi yang bermoral, kita harus memulainya dari rumah. Tidak ada kompromi di sini.

Keluarga adalah cerminan dari moralitas kita. Jika kita gagal di sini, kita gagal di segalanya.

Guru: Lebih dari Sekadar Pengajar

Guru bukan hanya penyampai ilmu. Dia adalah teladan hidup. Rasulullah adalah contoh sempurna. QS. Al-Ahzab (33:21) menegaskan, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik.” Beliau tidak hanya mengajarkan Islam, beliau hidup dalam setiap ajarannya. Beliau adalah “Al-Quran yang berjalan”.

Sebagai guru, saya sering merenung. Apakah murid-murid saya melihat nilai-nilai yang saya ajarkan dalam tindakan saya? Atau saya hanya seperti intelektual dalam buku Johnson, penuh dengan kata-kata tetapi kosong dalam perbuatan?

Ibnu Taimiyah berkata, “Kejujuran adalah inti dari semua amal. Tanpa kejujuran, semua amal akan runtuh.” Guru yang tidak jujur kehilangan otoritas moral. Murid tidak akan mendengar seseorang yang hidupnya penuh dengan kontradiksi.

Murid adalah pengamat yang tajam. Mereka tahu kapan kita tulus dan kapan kita pura-pura. Setiap tindakan kita adalah pelajaran bagi mereka, baik atau buruk.

Guru adalah cahaya moral. Jika cahayanya redup, murid-murid akan tersesat dalam kegelapan.

Pelajaran Terbesar dari Intellectuals

Paul Johnson memberikan pelajaran penting. Hidup tanpa integritas adalah kegagalan. Intelektual besar yang dia kritisi adalah contoh buruk dari apa yang terjadi ketika moralitas diabaikan. Tapi kita semua bisa belajar dari kesalahan mereka.

QS. Al-Furqan (25:74) mengajarkan doa, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” Kepemimpinan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, membutuhkan konsistensi antara kata dan perbuatan.

Sebagai ayah dan guru, saya tahu tanggung jawab ini besar. Saya harus hidup dalam nilai-nilai yang saya ajarkan. Anak-anak dan murid-murid saya berhak melihat kebenaran, bukan hanya mendengarnya.

Kritik Johnson bukan hanya untuk mereka yang ada di dalam bukunya. Itu untuk kita semua. Dia mengingatkan bahwa moralitas adalah pondasi dari segala sesuatu. Tanpanya, kita hanyalah aktor dalam panggung yang rapuh.

Intelektual sejati tidak hanya berpikir. Mereka bertindak. Dan itulah pelajaran terbesar dari Intellectuals.

Write a Comment

Comment