Membaca buku “Gejala PKI Bangkit Lagi, Bermunculan Pasca Reformasi” karya Joko Prasetyo adalah seperti membuka kembali lembaran-lembaran yang sudah terlalu lama terkunci dalam ingatan kolektif kita. Buku ini mengingatkan kita akan sejarah panjang dan kelam yang pernah kita alami, dan bagaimana kita terancam untuk mengulang kesalahan yang sama jika tidak waspada.
Sebagai seorang ayah, saya merenungi betapa rapuhnya generasi muda kita jika mereka tidak memahami sejarah bangsanya sendiri. Bagaimana jika mereka terlena oleh romantisme ideologi yang menjanjikan kesetaraan, padahal di baliknya tersembunyi bara api yang bisa menghanguskan nilai-nilai keimanan dan keadilan? Sebagai seorang guru, saya merasa terpanggil untuk mengajar anak-anak tidak hanya dengan buku pelajaran, tetapi juga dengan kisah-kisah nyata yang membuka mata mereka pada bahaya ideologi yang bisa merusak tatanan sosial dan moral.
Ideologi komunis yang dibawa PKI bukan hanya soal gagasan politik; ia adalah ancaman nyata terhadap keberlangsungan nilai-nilai agama dan moral kita. Dalam buku ini, Joko Prasetyo memberikan bukti-bukti bagaimana upaya-upaya kebangkitan ideologi ini pasca-reformasi begitu kentara, dari pergerakan-pergerakan di bawah tanah hingga strategi infiltrasi di berbagai lembaga. Sebuah pengingat keras bahwa komunisme, dengan segala janji utopianya, adalah racun yang bisa merusak generasi dan bangsa kita.
Komunisme, dengan wajah baru dan cara yang berbeda, menyusup dalam celah-celah kerapuhan masyarakat kita. Ia menawarkan keadilan dan kesetaraan semu, menggoda mereka yang merasa tertindas. Namun, di baliknya terselubung kesewenang-wenangan, pemusnahan, pengingkaran terhadap nilai-nilai agama. “Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka,” firman Allah dalam Al-Qur’an (QS. Hud: 113), memperingatkan kita dari godaan ideologi yang membawa keburukan. Pesan ini adalah tamparan kesadaran bagi kita semua. Bahwa melupakan sejarah adalah sebuah kezaliman, bukan hanya terhadap diri kita sendiri, tetapi juga terhadap generasi yang akan datang. Kita harus ingat bahwa kebebasan yang kita miliki saat ini bukanlah sesuatu yang datang begitu saja; ia adalah hasil dari perjuangan panjang para pendahulu kita yang melawan penindasan.
Bahwa komunisme bukan hanya sekadar gagasan politik, melainkan api yang membakar tanpa ampun. Bayangkan, di masa lalu, mereka menganggap agama sebagai candu, menjanjikan kesetaraan tanpa Tuhan, tapi di balik jubah utopia itu, mereka menyulut perpecahan, membunuh ulama, menginjak-nginjak hakikat kemanusiaan. Maka, wajarlah jika kita waspada, jangan sampai kita termakan janji manis yang serupa.
Sejarah kelam pemberontakan G30S/PKI dan pengkhianatan yang dilakukannya terhadap bangsa ini adalah peringatan keras bagi kita semua. Ideologi komunis yang diperjuangkan PKI mengajarkan bahwa tidak ada Tuhan, bahwa tidak ada keadilan yang lebih tinggi dari strata kelas sama rata, dan memaksa pengikutnya untuk menyingkirkan agama sebagai penghalang revolusi. Ibnul Qayyim al-Jawziyyah pernah berkata, “Allah tidak akan membiarkan umat ini dalam kesesatan selama masih ada di antara mereka yang menegakkan kebenaran.” Kita harus tetap menegakkan kebenaran, mengajarkan sejarah dengan jujur, dan tidak lupa bahwa kita adalah penjaga generasi mendatang.
Sebagai guru, saya tidak ingin anak-anak kita tumbuh tanpa peta sejarah. Jika mereka tak mengenal cerita kelam yang menyayat hati itu, apa jaminannya mereka tidak akan mengulang kesalahan yang sama? Apa jadinya jika generasi baru ini, yang disuapi dengan kebenaran yang dipoles, tidak mengerti mengapa kakek-nenek moyang mereka begitu terluka?
Ada hikmah dalam setiap kejadian, seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah, “Setiap musibah membawa pesan cinta dari Allah, yang mengingatkan agar kita kembali kepada-Nya.” Saya merasa, mengingatkan anak-anak kita akan sejarah bukanlah upaya menabur kebencian, melainkan mengajak mereka mengenal apa yang pernah terjadi dan mengapa itu tidak boleh terjadi lagi.
Sebagai seorang ayah, saya merasa perlu menyusun narasi yang benar. Bukan narasi yang menanamkan ketakutan, tetapi narasi yang membangun kesadaran dan ketahanan. Jika kita abai, bayang-bayang ideologi yang pernah membuat negeri ini berdarah bisa kembali hadir, seperti kabut pagi yang perlahan menelan terang mentari.
Sebagai seorang ayah dan guru, saya bertanggung jawab untuk menanamkan pada diri anak-anak didik saya bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan tidak memerlukan ideologi asing untuk menguatkannya. Islam telah mengajarkan kita untuk berlaku adil, peduli pada sesama, dan melawan kezaliman. “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Maka, kita harus selalu waspada, dengan doa, dengan ilmu, dan dengan keberanian untuk mengingatkan. Bahwa tugas kita adalah menjaga negeri ini tetap berdiri, tetap berdaulat, tanpa tergelincir pada lubang yang sama. Jangan sampai kita lengah, jangan sampai kita lupa. Komunisme mungkin tampak redup, tapi benihnya bisa tumbuh subur jika kita biarkan tanahnya gembur. Dan tugas kita adalah menjaga, mengawasi, dan memastikan bahwa tanah tempat kita berdiri tetap kokoh dengan nilai-nilai keislaman, moral, dan kemanusiaan. Jangan sampai kita membiarkan mimpi buruk itu kembali menghantui. Sebagaimana kata Rasulullah, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing ada kebaikan.” (HR. Muslim). Kita semua bertanggung jawab menjaga kekuatan itu, dengan kesadaran, dengan ilmu, dengan iman.
Mantul kiyai, terimakasih tulisannya mencerahkan
Sama-sama, syaikh 🙂