by

Setelah Membaca Buku Democracy: The God That Failed

Membaca buku Democracy: The God That Failed karya Hans-Hermann Hoppe adalah seperti membelah samudera keyakinan yang selama ini begitu tenang. Ia hadir dengan dalil-dalil sejarah, logika yang berkilau, dan analisa tajam tentang sistem demokrasi yang telah lama kita pandang sebagai jawaban atas tirani. Hoppe dengan berani menguliti satu per satu kesalahan demokrasi, menjelaskan bagaimana sistem ini tidak sesempurna yang selama ini kita yakini.

Sebagai seorang ayah dan guru, saya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang dunia yang akan diwariskan kepada anak-anak kita. Apakah demokrasi memang jalan terbaik? Ataukah ia hanya ilusi yang diperindah dengan retorika?

Sebuah Janji Semu

Di dunia modern, demokrasi telah menjadi “agama” baru yang dipercayai banyak orang. Demokrasi dianggap sebagai jawaban atas segala bentuk tirani, dianggap sebagai jalan satu-satunya menuju keadilan. Namun, benarkah demikian?

Hoppe menawarkan sudut pandang kontroversial: demokrasi bukanlah solusi, tapi mungkin justru masalahnya. Demokrasi, menurutnya, menggeser kekuasaan dari yang berpandangan jauh ke depan kepada yang berpikiran pendek. Pemimpin yang terpilih punya waktu terbatas, agenda jangka pendek. Siapa pun yang berkuasa tahu bahwa masanya singkat, maka ia mengutamakan kepentingan sementara. Seorang ayah pasti berpikir panjang untuk masa depan anak-anaknya. Tapi di demokrasi, pemimpin hanya melihat apa yang bisa ia raih sekarang. Pemimpin demokrasi dipilih untuk waktu yang singkat, sering kali lebih peduli pada masa jabatannya daripada kelangsungan maslahat umatnya. Mereka berlomba menangguk untung dalam keterbatasan waktu, sementara urusan rakyat dilupakan.

“Barangsiapa yang diamanahi kepemimpinan tetapi tidak memperhatikan umatnya, maka ia tidak akan mencium wangi surga.” (HR. Bukhari).

Hoppe seakan mengajak kita bertanya: Apakah ini kepemimpinan yang ideal? Apakah janji yang diberikan demokrasi ini lebih dari sekadar gincu di wajah penindasan?

Mayoritas yang Menipu

Hoppe juga membuktikan bahwa demokrasi bukanlah sistem yang menjamin keadilan. Justru, demokrasi seringkali berubah menjadi alat yang digunakan untuk menguasai, menipu, dan memanipulasi manusia. Dalam demokrasi, pemimpin dipilih bukan karena mereka yang terbaik atau paling adil, tetapi karena mereka berhasil memenangkan suara terbanyak. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan kita, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116). Mayoritas suara bukanlah jaminan kebenaran, karena dalam banyak hal, mayoritas justru dapat menyesatkan.

Sebagai guru, saya menjadi sadar bahwa sistem yang kita sebut demokrasi ini mengajarkan murid-murid kita untuk memuja suara terbanyak, bukan kebenaran. Dalam demokrasi, kebenaran menjadi relatif, diserahkan kepada suara mayoritas. Bahkan, ketidakbenaran bisa diubah menjadi kebijakan jika didukung mayoritas.

Sebagai seorang ayah dan guru, saya melihat ini sebagai bahaya besar. Bagaimana kita dapat mengajarkan anak-anak untuk berpegang pada kebenaran, jika kebenaran itu diukur hanya dari suara mayoritas? Ibnul Qayyim pernah berkata, “Kebenaran tetaplah kebenaran, meskipun hanya satu orang yang mengatakannya, dan kebatilan tetaplah kebatilan, meskipun didukung oleh mayoritas.”

Anak-anak harus memahami bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan oleh angka, tetapi oleh prinsip yang kokoh.

Sistem yang Berdasarkan Hawa Nafsu

Demokrasi modern menjadikan keinginan manusia sebagai tolok ukur kebenaran. Dalam demokrasi, segala sesuatu diserahkan kepada suara rakyat, yang seringkali didominasi oleh hawa nafsu dan kepentingan pribadi. Hoppe mengkritik hal ini dengan tajam. Ia menyebut demokrasi sebagai sistem yang menjadikan hasrat manusia sebagai penguasa.

Sebagai seorang guru, saya merasa bahwa ini adalah bahaya yang sangat nyata. Demokrasi mengajarkan anak-anak kita untuk melihat kebenaran dari sudut pandang yang dangkal, hanya berdasarkan apa yang diinginkan mayoritas. Padahal, dalam Islam, kebenaran bukanlah sesuatu yang diukur berdasarkan keinginan manusia. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang hakim memutuskan sesuatu dalam keadaan marah.” (HR. Muslim). Ini adalah peringatan bahwa keputusan haruslah bebas dari emosi dan hawa nafsu.

Saya teringat perkataan Ibnu Taimiyah, “Sesungguhnya Allah melindungi suatu negeri yang adil, walaupun penduduknya kafir, dan Dia tidak melindungi negeri yang zalim, walaupun penduduknya beriman.” Keadilan adalah penopang, bukan suara terbanyak. Di dalam kelas, saya ingin mengajarkan bahwa kebenaran dan keadilan tak perlu bergantung pada jumlah atau mayoritas.

Kebenaran Tidak Perlu Pemilu

Hoppe menggambarkan bagaimana demokrasi menghasilkan pemimpin-pemimpin yang hanya mementingkan kekuasaan mereka selama masa jabatan. Berbeda dengan ajaran Islam yang mengutamakan tanggung jawab sebagai pemimpin. Islam mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang berat, bukan hak untuk berkuasa. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Demokrasi, di sisi lain, menciptakan pemimpin yang fokus pada pemilu berikutnya. Mereka membuat kebijakan bukan untuk kepentingan jangka panjang umat, tetapi untuk memenangkan suara dalam pemilu yang akan datang. Sebagai ayah, ini adalah pelajaran berharga yang ingin saya tanamkan kepada anak-anak saya: bahwa menjadi pemimpin bukanlah untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk menjalankan amanah yang diberikan oleh Allah.

Anak-anak harus memahami bahwa dunia bukanlah perlombaan untuk meraih suara mayoritas. Ia adalah perjalanan mencari dan menegakkan kebenaran. Bukan demokrasi yang menentukan nilai seorang insan, tapi keyakinan dan keteguhan pada kebenaran Allah-lah yang menjadi cahaya penuntun. Sebagai ayah dan guru, saya ingin menanamkan hal ini: kebenaran tidak memerlukan pemilu, tidak memerlukan suara terbanyak. Kebenaran adalah ia yang kokoh berdiri, meski tanpa dukungan.

Apa yang Ingin Kita Wariskan?

Hoppe memaksa saya bertanya, sebagai ayah, sebagai guru, apakah dunia ini yang ingin kita wariskan pada anak-anak? Dunia di mana kebenaran tunduk pada suara mayoritas? Dunia di mana prinsip mudah goyah oleh keinginan massa? Mungkin kita harus kembali menelusuri hati kita, kembali pada fitrah yang Allah tanamkan dalam diri kita.

Kita ingin mereka menjadi sosok yang tidak mudah goyah oleh sorak-sorai atau ejekan. Kita ingin mereka tegar dalam prinsip, kokoh dalam keyakinan. Karena pada akhirnya, kita tidak akan selalu ada untuk mendampingi mereka. Mereka harus belajar berjalan sendiri, teguh di tengah arus, tenang di antara riuhnya kebisingan dunia.

Kesimpulan: Membentuk Generasi yang Berani Menentang Arus

Membaca buku Democracy: The God That Failed adalah sebuah tamparan yang membuka mata. Buku ini mengingatkan saya, sebagai ayah dan guru, akan pentingnya mendidik generasi yang berani menentang arus, generasi yang tidak mudah tergoda oleh kepalsuan mayoritas, dan yang berani berpegang pada prinsip kebenaran.

Demokrasi bukanlah satu-satunya jawaban. Sistem ini tidak sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Sebagai ayah, saya ingin anak-anak saya tumbuh dengan kesadaran akan kelemahan demokrasi dan pentingnya nilai-nilai Islam dalam mencari kebenaran. Sebagai guru, saya bertekad untuk mendidik murid-murid saya agar berani berpikir kritis dan tidak terpengaruh oleh kekuatan mayoritas.

Karena pada akhirnya, hanya kebenaran yang datang dari Allah SWT-lah yang kekal.

Write a Comment

Comment