by

Setelah Membaca Buku Ada Pemurtadan di IAIN

Membaca Ada Pemurtadan di IAIN karya Hartono Ahmad Jaiz, seperti menyusuri jalan sunyi di mana iman mulai tergerus, di tempat yang seharusnya menjadi benteng keislaman. Bagaimana mungkin, di sebuah perguruan tinggi Islam, orang belajar agama tapi malah meragukan bahkan mencaci-maki Tuhan? Kita mendengar kalimat-kalimat yang mencengangkan: “Selamat bergabung di area bebas Tuhan,” atau “Kami tidak ingin punya Tuhan yang takut pada akal manusia.” Seolah-olah, akal manusia menjadi hakim tertinggi, memutuskan apa yang benar dan salah, bahkan lebih tinggi dari wahyu. Kalimat-kalimat ini bukan hanya menggambarkan pemurtadan, tetapi sebuah bentuk dekonstruksi pemikiran yang mengikis keimanan seseorang. Ada apa dengan dunia pendidikan kita?

Sebagai seorang ayah sekaligus guru, saya merenung dalam-dalam tentang ke mana arah pendidikan Islam ini. Bukankah kita diajarkan bahwa akal dan wahyu berjalan beriringan, bukan saling menafikan? Islam tak pernah memusuhi akal, namun juga menegaskan bahwa ada batasan-batasan yang tak bisa diterobos oleh logika manusia. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra: 85). Kita diajarkan dalam Islam untuk menggunakan akal, tapi dalam batasan yang jelas. Rasulullah bersabda, “Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Malik). Al-Quran dan Sunnah adalah pedoman yang tak terbantahkan, meskipun akal kita terus mencoba untuk memahami maknanya. Namun, ketika akal berusaha “menafsirkan Tuhan” menurut kehendak dan hawa nafsunya, maka yang terjadi adalah penyimpangan.

Lalu, bagaimana mungkin ada mahasiswa di perguruan tinggi Islam yang merendahkan keimanan dengan seruan, “Anjinghu Akbar!” Seolah-olah dzikir kepada Allah bisa dipermainkan dan diturunkan ke level parodi. Sejauh mana kita membiarkan ide-ide destruktif ini meracuni pikiran anak-anak muda yang seharusnya menjadi penerus penjaga agama?

Ada sebuah hadis yang sangat relevan dengan situasi ini, di mana Rasulullah bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya. Ketika itu, orang yang jujur dianggap pendusta, dan pendusta dianggap jujur. Orang yang amanah dianggap khianat, dan pengkhianat dianggap amanah.” (HR. Ahmad). Bukankah kita melihat realitas ini? Mereka yang dengan bebas berbicara tentang “mari kita bersama-sama menafsirkan Tuhan” dan “anjinghu akbar!” dianggap sebagai suara kebebasan intelektual, sementara mereka yang teguh memegang syariat dicap sebagai ekstremis.

Sebagai guru, tanggung jawab saya semakin besar. Ilmu, jika tidak disertai iman, hanya menjadi racun bagi hati. Mendidik bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga menjaga akidah generasi ini. Saya teringat nasihat dari Ibnu Taimiyyah yang mengatakan, “Akal itu ibarat cahaya, namun wahyu adalah matahari yang menerangi jalan.” Tanpa wahyu, akal manusia akan tersesat, dan itulah yang kita lihat terjadi di kampus-kampus yang seharusnya mendidik calon pemimpin Islam.

Kita bisa melihat bagaimana ide-ide liberal ini disebarkan dengan halus, menggunakan dalih kebebasan akademik. Namun, di balik itu, ada penyusupan pemikiran yang jauh dari Islam. Akal dijadikan tuhan baru, menggantikan Allah yang Maha Kuasa. Kita dihadapkan pada tantangan berat; bagaimana menjaga generasi muda dari ancaman pemurtadan yang sistematis ini.

Islam tidak pernah melarang penggunaan akal, tetapi menegaskan bahwa akal harus tunduk kepada wahyu. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging, jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari). Pemikiran-pemikiran seperti ini merusak hati, dan ketika hati rusak, seluruh amal seseorang akan rusak pula.

Sebagai seorang ayah, kekhawatiran saya meluap-luap. Bagaimana mungkin saya mengirim anak-anak saya ke tempat yang seharusnya menjaga iman mereka, tetapi justru merusak keyakinan yang telah dibina sejak kecil? Bagaimana peran saya sebagai orang tua jika saya gagal menjaga mereka dari bahaya pemikiran seperti ini? Allah berfirman dalam Al-Quran: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa: 9). Sebagai orang tua, saya harus memastikan bahwa iman anak-anak saya terjaga dengan baik. Bahwa akidah yang lurus akan melindungi mereka dari kemunafikan dan kekafiran.

Allah SWT berfirman: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus.” (QS. Ar-Rum: 30). Islam adalah agama fitrah, agama yang sesuai dengan naluri manusia. Jika akal kita mulai menafsirkan Tuhan sesuai hawa nafsu, maka kita sedang menyimpang dari fitrah tersebut.

Pemurtadan yang terjadi di institusi ini mengingatkan kita pada bahaya liberalisasi agama. Kebebasan yang tanpa batas, tanpa disertai rasa tanggung jawab terhadap akidah, akan menghasilkan generasi yang tidak lagi mengenal siapa Tuhannya. Bahkan, mereka yang belajar Islam di tempat yang seharusnya memperdalam keimanan malah menjadi penantang agama mereka sendiri. Ini bukan hanya persoalan akademik, tetapi persoalan akidah, persoalan keselamatan jiwa di dunia dan akhirat.

Sebagai guru dan ayah, saya merasa terpanggil untuk lebih menjaga anak-anak saya, baik di rumah maupun di sekolah. Kita tidak bisa lagi menganggap pendidikan tinggi sebagai satu-satunya tempat untuk menjaga iman anak-anak kita. Ini adalah tanggung jawab kita bersama, orang tua, guru, dan masyarakat. Kita tidak bisa berdiam diri membiarkan pemikiran ini terus berkembang. Kita harus kembali kepada nilai-nilai yang diajarkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, seperti yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadis: “Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian, dan berhati-hatilah terhadap perkara-perkara yang baru (bid’ah).” (HR. At-Tirmidzi).

Buku ini adalah peringatan, sebuah wake-up call bagi kita semua, terutama sebagai orang tua dan guru. Kita harus lebih waspada terhadap bahaya ideologi-ideologi yang ingin merusak akidah generasi muda kita. Mereka yang mendewakan akal di atas wahyu, yang menganggap semua agama sama, atau yang menafsirkan Tuhan sesuai dengan keinginan mereka, pada akhirnya sedang menjauhkan kita dari jalan yang benar. Sebagai Muslim, kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Kita harus bertindak, berbicara, dan yang terpenting, menguatkan akidah dalam diri kita, keluarga kita, dan anak-anak didik kita. Hanya dengan cara ini, kita bisa melindungi iman dari ancaman pemikiran yang berbahaya ini.

Dan saya percaya, dengan iman yang kuat, insya Allah kita bisa melawan ancaman ini. Sebagai seorang ayah dan guru, saya akan terus berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8).

Write a Comment

Comment