by

Sekolah Kok Gini Amat Ya?

Ilmu yang Harusnya Membebaskan, Malah Menjebak

Seorang anak berangkat ke sekolah dengan tas berat di punggungnya. Dia berjalan seperti keledai yang dipaksa membawa beban yang tak pernah dia pahami. Yang dia tahu, dia harus datang, duduk, mendengar, dan pulang dalam keadaan lebih lelah dari sebelumnya.

Dia duduk di kelas, menatap papan tulis, dan mendengar suara gurunya seperti mantra yang diulang-ulang. Dia menulis, mencatat, dan berusaha menghafal secepat mungkin. Besok, sebagian besar akan menguap, hilang, lenyap, dan tidak tersisa.

Sekolah menjanjikan masa depan. Tapi di dalamnya, tidak ada yang benar-benar hidup di masa kini. Semua dipaksa berpacu dengan waktu, berlomba menghafal, berpindah dari satu mata pelajaran ke mata pelajaran lain seperti buruh pabrik yang berganti shift.

Allah berfirman, “Dan katakanlah: ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu’.” (QS. Thaha: 114). Tapi apakah ilmu itu harus seperti ini? Ilmu yang menyiksa, ilmu yang membuat kepala penuh tapi hati kosong?

Di sekolah, mereka bilang kita belajar agar bisa menjadi manusia yang berguna. Tapi tidak ada yang tahu bagaimana cara menjadi manusia. Yang ada hanya soal ujian, nilai rapor, dan angka-angka yang menentukan siapa yang pintar dan siapa yang harus menundukkan kepala.

Murid: Mencatat, Menghafal, Lupa

Di bangku kelas, seorang anak menulis begitu cepat hingga tangannya kram. Tulisannya berantakan, tapi siapa peduli? Yang penting catat, bukan pahami.

Sehari-hari mereka dijejali hafalan. Dari tabel periodik sampai ayat-ayat yang mereka sendiri tidak tahu maknanya. Dari rumus fisika sampai peristiwa sejarah yang tidak pernah benar-benar mereka inginkan untuk diingat.

Ibnu Mas’ud berkata, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati.” Tapi cahaya itu tidak ada di dalam kelas ini. Yang ada hanya papan tulis penuh coretan dan kepala-kepala menunduk dalam kebosanan.

Mereka menghafal dengan takut, bukan dengan cinta. Takut nilai jelek, takut dimarahi, takut tidak naik kelas. Tapi siapa yang peduli apakah mereka benar-benar mengerti?

Ilmu seharusnya menghidupkan. Tapi di sekolah, ilmu terasa seperti kewajiban yang harus diselesaikan. Seperti hutang yang harus dilunasi dengan lembar jawaban ujian.

Orang Tua: Dari Pencari Nafkah Jadi Guru Bayangan

Di rumah, seorang ibu duduk di meja makan dengan kepala pusing. Dia tidak mengerti kenapa sekolah memberi begitu banyak tugas, seakan-akan menganggap semua orang tua adalah guru cadangan. Suaminya duduk di seberang, membaca koran, pura-pura tidak mendengar anaknya yang menangis karena belum menyelesaikan PR.

Malam yang seharusnya menjadi waktu istirahat, berubah menjadi sesi belajar tambahan. Jika satu anak saja sudah membuat kepala pening, bagaimana dengan dua atau tiga anak? Mereka mengeluh, tapi tetap membantu, karena orang tua yang baik harus peduli dengan pendidikan anaknya.

Rumah kehilangan maknanya. Bukan lagi tempat bermain, berbincang, atau sekadar bersenda gurau. Tapi tempat di mana angka di rapor lebih penting dari tawa dan kebahagiaan.

Allah berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286). Tapi sistem ini tidak peduli pada batas kemampuan manusia. Semua harus berjuang, semua harus berlari, tidak ada tempat untuk istirahat.

Orang tua ingin anaknya sukses. Tapi apa arti sukses kalau harus mengorbankan kebahagiaan? Apa arti pendidikan jika hanya menyisakan kelelahan?

Guru: Mengajar dengan Terpaksa, Mengoreksi dengan Lelah

Di sekolah, seorang guru duduk di meja, menumpuk lembar jawaban di depannya. Matanya letih, tapi dia tetap mengoreksi satu per satu, seperti hakim yang menentukan nasib seseorang berdasarkan angka-angka. Di antara murid-muridnya, dia tahu ada yang tidak paham, tapi dia tidak punya waktu untuk mengajari satu per satu.

Dia ingin berbicara dengan mereka. Dia ingin bercerita, berdiskusi, membiarkan mereka bertanya. Tapi kurikulum tidak mengizinkannya.

Maka yang terjadi adalah sekolah yang berjalan seperti mesin. Guru mengajar, murid mendengar. Tidak ada percakapan, tidak ada kehangatan.

Rasulullah Muhammad bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad). Tapi bagaimana akhlak bisa diajarkan jika sekolah hanya tentang angka dan nilai? Bagaimana bisa seorang guru mendidik jika dia sendiri terjebak dalam sistem yang tidak manusiawi?

Dia ingin mengajar dengan hati. Tapi hatinya telah lelah. Dalam kelelahan, dia hanya bisa menjalankan tugasnya, tanpa bisa benar-benar mendidik.

Sekolah yang Kehilangan Makna Ilmu

Sekolah bukan lagi tempat bertanya. Murid-murid datang dengan kepala penuh ketakutan, bukan dengan rasa ingin tahu. Ilmu terasa lebih seperti barang dagangan daripada cahaya yang menerangi jalan hidup.

Ibnu Khaldun berkata, “Pendidikan yang dipaksakan hanya akan membunuh semangat belajar.” Dan kita menyaksikan itu setiap hari. Anak-anak yang kehilangan keinginan untuk bertanya, kehilangan semangat untuk berpikir.

Mereka hanya ingin lulus. Hanya ingin nilai bagus. Tidak peduli apakah yang mereka pelajari akan berguna atau tidak.

Apakah ini yang kita sebut pendidikan? Jika belajar hanya sebatas menghafal dan mengulang, apa bedanya manusia dengan mesin? Jika sekolah hanya tentang angka di rapor, lalu kapan kita mengajarkan kehidupan?

Sekolah harus berubah. Jika tidak, ia hanya akan melahirkan generasi yang penuh hafalan tapi kosong dari pemahaman. Generasi yang tahu rumus, tapi tidak tahu bagaimana berpikir.

Solusi: Pendidikan yang Lebih Manusiawi

Ilmu harusnya membebaskan. Membuka pikiran, bukan membebani. Pendidikan harus dikembalikan pada esensinya.

Kurikulum harus dibuat lebih masuk akal. Lebih baik sedikit tapi dipahami, daripada banyak tapi hanya singgah sebentar di kepala. Murid harus diberi ruang untuk berpikir, bukan hanya menghafal.

Guru harus diberi waktu untuk benar-benar mengajar. Bukan hanya mengejar target kurikulum, tapi membangun pemahaman. Pendidikan yang baik tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa.

Orang tua harus bisa kembali ke perannya sebagai pendamping. Sekolah harus lebih bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan yang bermakna. Rumah harus kembali menjadi tempat istirahat, bukan ruang kelas tambahan.

Jika pendidikan terus berjalan seperti ini, yang kita hasilkan bukan generasi cerdas. Tapi generasi yang letih, generasi yang takut, generasi yang kehilangan semangat untuk belajar.

Sekolah Itu Harusnya Tempat Bertanya, Bukan Tempat Menghafal

Dulu, para ulama berjalan jauh demi ilmu. Mereka bertanya, berdiskusi, dan mencari makna. Tapi sekarang, sekolah hanya menjadi tempat menjejalkan informasi yang segera dilupakan.

Sekolah seharusnya bukan tempat mematikan semangat. Tapi tempat di mana murid menemukan kebebasan berpikir. Tempat di mana ilmu menjadi bagian dari kehidupan.

Al-Ghazali berkata, “Ilmu tanpa akhlak adalah kesesatan, dan akhlak tanpa ilmu adalah kebodohan.” Tapi kita hanya mengajarkan angka dan nilai. Kita lupa bahwa ilmu seharusnya membentuk manusia, bukan hanya mencetak ijazah.

Jika pendidikan hanya soal ujian dan rapor, kita sedang menciptakan generasi yang pintar di atas kertas, tapi kosong dalam makna. Sekolah harus berubah, atau ia hanya akan menjadi pabrik yang melahirkan manusia-manusia tanpa ruh.

Karena ilmu harusnya cahaya. Bukan beban. Bukan kutukan. Bukan sesuatu yang membuat manusia alpa akan tujuan penciptaan dirinya.

Write a Comment

Comment

  1. Tulisan yang sangat menyentuh. Namun, alhamdulillah dari pengalaman saya selama menjadi guru memberikan kesan yang mendalam pada diri pribadi dan siswa saya.