Pendahuluan
Manusia memang suka sesuatu yang terang, tapi sering lupa menggali bayangannya. Natal adalah cahaya yang dipuja banyak orang, namun adakah yang berani menyelami kegelapannya? Sebagai Muslim, tugas kita bukan hanya mencintai terang, tapi juga memahami gelap untuk menjaga keseimbangan iman.
Islam mengingatkan agar kita selalu bertanya sebelum mengikuti. Allah berfirman, “Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang diciptakan Allah?” (QS. Al-A’raf: 185). Maka dari itu, memahami asal-usul Natal bukan sekadar ingin tahu, melainkan sebuah kebutuhan iman.
Sebuah tradisi yang besar selalu memiliki akar yang dalam. Natal, yang diklaim sebagai perayaan kelahiran Isa Al-Masih, ternyata bertopeng sejarah lain. Di balik lonceng, lampu, dan nyanyian, ada jejak pagan yang tidak pernah hilang.
Saturnalia: Festival Pagan Bangsa Romawi
Setiap 25 Desember, Romawi kuno berpesta besar. Mereka menyebutnya Saturnalia, hari untuk menghormati Saturn, dewa yang gemar memakan anak-anak. Di sini, pesta pora bukan hanya hiburan, tapi juga ritus pengorbanan manusia.
Ironis, bukan? Dewa yang kejam justru dirayakan dengan sukacita. Saturn, atau Cronos dalam tradisi Yunani, adalah simbol kegelapan yang tidak pernah kenyang.
Saturnalia adalah malam di mana manusia melupakan batas. Perbudakan dihapus sementara, tuan dan budak duduk di meja yang sama. Tapi di balik kemeriahan itu, darah manusia mengalir sebagai persembahan.
Pemujaan Dewa Matahari
Di belahan dunia lain, tanggal tersebut juga dihormati sebagai hari dewa matahari. Nimrod, Mithra, Horus, Tammuz, dan Attis menjadi nama-nama yang diagungkan. Sol Invictus, pemimpin para dewa matahari, adalah bintang dari tradisi ini.
Perhatikan topi Santa Klaus. Bentuknya menyerupai topi Attis, dewa kesuburan. Dari sini, apakah masih bisa disebut kebetulan?
Semua ini adalah upaya menyatukan kepercayaan manusia di bawah satu simbol. Kekristenan awal mengadopsi 25 Desember untuk menggantikan tradisi pagan. Namun, simbol-simbol pagan itu tetap hadir, bahkan hingga kini.
Simbol-Simbol Pagan dalam Tradisi Natal
Lihat pohon Natal di ruang tamu. Pernak-perniknya tampak cantik, tapi apa artinya? Dalam tradisi pagan, pohon ini melambangkan alat kelamin pria, dengan pernik bola sebagai testikel dan tali putih-merah sebagai simbol cairan kehidupan (sperma dan darah menstruasi).
Santa Klaus juga bukan sekadar pria baik hati. Kostumnya terinspirasi dari ritual perkumpulan rahasia. Bahkan kereta rusa terbangnya memiliki akar mitologi dari kereta dewa Saturn dan Helios.
Tongkat permen, salah satu ikon Natal, memiliki kemiripan dengan tongkat Osiris, dewa bangsa Mesir kuno. Dalam Islam, kita diajarkan untuk menjauhi simbol-simbol syirik. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi ini, karena mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (QS. Al-An’am: 116).
Kritik Islam terhadap Perayaan Natal
Natal kini lebih dekat pada materialisme daripada spiritualitas. Perayaan ini mendorong konsumsi yang berlebihan, jauh dari ajaran Islam tentang kesederhanaan. Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Orang yang kaya bukanlah yang memiliki banyak harta, tetapi yang kaya adalah hati yang merasa cukup” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di sisi lain, Natal adalah panggung untuk amoralitas. Alkohol, pesta pora, dan seks bebas menjadi pemandangan yang lumrah. Bagaimana mungkin seorang Muslim menyatu dalam suasana seperti ini?
Tradisi ini telah kehilangan makna spiritualnya. Apa yang tersisa hanyalah hura-hura dan hedonisme. Islam mengajarkan kita untuk tidak mengikuti arus, apalagi jika arus itu menjauhkan kita dari Allah.
Penutup
Mengikuti Natal bukanlah sekadar ikut merayakan. Itu adalah langkah menuju dunia yang menjauh dari tauhid. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang besar” (QS. Luqman: 13).
Sebagai Muslim, kita diajarkan untuk menjaga identitas. Natal adalah perayaan yang berakar dari paganisme, dan Islam menolak setiap bentuk kesyirikan. Renungkanlah: apakah kita ingin tetap dalam cahaya Islam, atau terjebak dalam bayang-bayang tradisi penyembahan berhala yang kelam?