Bulan yang Mestinya Aneh
Romadhon ini bulan yang unik. Mestinya. Harusnya. Tapi, di tangan kita, ia jadi bulan yang biasa saja. Biasa seperti bangun kesiangan. Biasa seperti makan berlebihan saat buka. Biasa seperti lupa bahwa setan sedang bebas tugas.
Padahal, katanya setan diikat. Diborgol. Dikandangi. Tapi kok kejahatan masih jalan? Kok malas ibadah masih menular? Kok lidah masih tajam menusuk hati orang lain? Kok jari-jari masih ringan menyebar kebencian di media sosial? Jangan-jangan, kita sendiri yang sudah jadi setan, tanpa perlu bisikan mereka.
Rasulullah Muhammad sudah wanti-wanti:
“Apabila bulan Romadhon tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pintu surga sudah dibuka. Tapi kita malah sibuk buka aplikasi marketplace, mengincar flash sale yang katanya cuma lima menit lagi. Pintu neraka sudah ditutup, tapi kita masih saja main di depan gerbangnya; sibuk menggibah di grup chat, menyusun status sindiran, atau pura-pura lupa bayar utang puasa tahun lalu.
Aneh kan?
Harusnya kita heran, kenapa Romadhon yang seharusnya meringankan justru terasa berat. Kenapa perut yang kosong malah membuat lidah lebih tajam. Kenapa waktu sahur yang singkat lebih sering kita isi dengan scroll timeline daripada berdoa. Kenapa kita lebih takut ketinggalan diskon daripada ketinggalan rakaat tarawih.
Setan mungkin memang dibelenggu, tapi hawa nafsu kita tidak. Mungkin selama ini, setan hanya sekadar jadi pelatih. Kita sendiri yang berlatih keras sampai akhirnya bisa berdiri tanpa mereka. Maka saat Romadhon tiba, mereka tinggal duduk santai, menonton kita melanjutkan pekerjaan mereka dengan baik. Tanpa paksaan. Tanpa bisikan. Karena kita sudah terbiasa.
Romadhon seharusnya aneh. Seharusnya terasa berbeda. Tapi kalau kita masih menjalani hari-harinya dengan pola yang sama, mungkin yang sebenarnya aneh itu bukan bulannya, melainkan kita yang tidak lagi paham maknanya.
Puasa: Menahan Lapar, Bukan Menahan Diri
Romadhon itu bulan puasa. Puasa itu menahan. Tapi menahan apa?
Coba tanya orang-orang yang di siang hari masih santai merokok di pojokan warung kopi. Tanya mereka yang sibuk cari alasan buat batalin puasanya.
Mereka pikir puasa cuma soal tidak makan dan tidak minum. Seperti diet intermittent fasting. Tapi Rasulullah Muhammad bilang:
“Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad)
Jadi puasa bukan cuma soal menahan lapar. Tapi menahan nafsu. Menahan ego. Menahan kebiasaan buruk yang sudah mengakar.
Tapi kita? Baru puasa separuh hari, sudah ngomel. Baru lihat orang makan di Instagram, sudah tergoda.
Makanya, puasa kita cuma lapar dan haus. Pahala? Entah ke mana.
Tarawih: Awal Ramai, Akhir Mati
Masjid di malam pertama Romadhon itu meriah. Mirip konser musisi ternama. Jamaah meluber. Motor parkir sampai ke jalan.
Tapi coba hitung shof-nya di pekan kedua. Yang tersisa hanya orang-orang tua. Anak muda entah ke mana.
Mungkin sibuk rebahan. Mungkin sibuk nge-game. Mungkin sibuk nonton drama Korea yang katanya lebih menyayat hati daripada khutbah imam.
Padahal, Rasulullah Muhammad bilang:
“Barangsiapa shalat malam di bulan Romadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tapi ternyata, pahala itu masih kalah menarik dibandingkan kasur empuk dan scroll media sosial.
Al-Quran: Diturunkan, Tapi Ditinggalkan
Romadhon adalah bulannya Al-Quran.
Kitab suci ini turun di bulan ini. Ada ayatnya:
“Bulan Romadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia…” (QS. Al-Baqarah: 185)
Tapi realitanya?
Yang turun di rumah kita bukan Al-Quran, tapi paket COD. Yang dibaca bukan mushaf, tapi notifikasi WhatsApp.
Banyak yang bangga kalau bisa khatam 30 juz. Tapi membaca tanpa memahami, apakah itu lebih baik dari membaca satu ayat tapi dipahami?
Dan yang lebih menyedihkan, masih ada orang Islam yang belum bisa membaca Al-Quran sama sekali.
Negeri dengan ratusan pesantren, ribuan masjid, jutaan santri, tapi masih ada yang buta huruf terhadap bahasa kitab sucinya sendiri.
Bukankah itu ironis?
Sedekah: Ada, Tapi Kok Masih Pelit?
Romadhon itu bulannya sedekah. Bulan di mana Rasulullah Muhammad jadi lebih dermawan daripada angin yang bertiup kencang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tapi kita?
Ya, ada yang sedekah. Ada yang bagi-bagi takjil di jalanan. Ada yang transfer ke rekening panti asuhan.
Tapi apakah kita benar-benar murah hati? Atau cuma biar kelihatan baik di Instagram?
Dan coba tengok ke Gaza dan Tepi Barat. Ke Palestina di bumi suci Al-Quds. Umat Islam sedang dibantai. Rumah mereka dihancurkan. Masjid mereka dirudal.
Apakah kita sudah melakukan sesuatu? Atau kita masih sibuk memilih baju lebaran?
Sedekah itu bukan soal jumlah. Tapi soal peduli.
Dan Romadhon adalah bulan yang menuntut kita untuk lebih peduli.
Ibadah? Yang Ramai Justru Pasar Takjil
Romadhon seharusnya jadi bulan ibadah. Bulan untuk dzikir, mengaji, tafakur.
Tapi coba lihat jam lima sore.
Yang penuh bukan masjid, tapi pasar takjil. Yang ramai bukan majelis ilmu, tapi antrian gorengan.
Bahkan setelah buka puasa, orang lebih sibuk dengan hape daripada dengan Al-Quran.
Scroll tanpa henti. Video tanpa makna. Hiburan yang membius.
Padahal, ibadah itu bukan hanya di masjid.
Ibadah itu soal bagaimana kita memanfaatkan waktu.
Tapi kalau sepanjang Romadhon kita hanya sibuk berburu kuliner dan hiburan, lalu apa bedanya bulan ini dengan bulan-bulan lainnya?
10 Hari Terakhir: Mall Lebih Penuh dari Masjid
Romadhon punya klimaks.
10 malam terakhir. Ada satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.
Allah sendiri yang berfirman:
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 3)
Di zaman Rasulullah, para sahabat berdiam diri di masjid. Mereka iātikaf. Fokus beribadah.
Tapi di zaman kita?
Masjid justru mulai sepi. Yang penuh justru mall. Yang ramai justru pusat perbelanjaan.
Orang lebih sibuk berburu diskon daripada berburu Lailatul Qadar.
Dan ketika nanti Lailatul Qadar datang, ketika nanti malaikat benar-benar turun, apakah mereka akan menemukan kita sedang bersujud?
Atau malah sedang sibuk belanja baju baru?
Romadhon, Tapi Kita Masih Sama
Romadhon ini mestinya jadi bulan yang berbeda.
Tapi kenyataannya?
Masih banyak yang menjalani Romadhon seperti bulan-bulan lainnya.
Masih malas ibadah. Masih sibuk dengan dunia. Masih lalai dengan urusan akhirat.
Padahal, ini bulan pengampunan.
Kalau di bulan ini saja kita tidak berubah, kapan lagi?
Dan kalau Romadhon ini kita biarkan berlalu begitu saja, lalu apakah ada jaminan kita akan bertemu Romadhon berikutnya?
Karena sejatinya, Romadhon itu bukan soal bulan yang berubah.
Tapi soal kita yang harus berubah.