Kita tahu, di ujung hidup, penyesalan itu bukan karena kita pernah jatuh, tapi karena kita terlalu takut untuk melompat. Kita sering kali tidak berani menggapai impian karena takut akan kegagalan, memilih nyaman dalam diam. Padahal, hidup cuma sekali, YOLO, kata anak muda sekarang. Kita hanya punya satu kesempatan untuk mengecap dunia.
Lihatlah, betapa jeniusnya otak kita mengarang kemungkinan-kemungkinan buruk, menciptakan ketakutan yang akhirnya melumpuhkan jiwa. “Analysis paralysis,” istilah kerennya. Pikiran kita seperti kompas yang rusak, selalu mengarah ke arah yang paling menakutkan. Padahal, seharusnya kita sadar, seperti kata Nabi Muhammad, “Barangsiapa takut akan sesuatu, ia akan lari darinya. Dan barangsiapa mengharap sesuatu, ia akan mengejarnya.” (HR. Ahmad).
Ironi manusia modern adalah kita punya semua alat untuk memudahkan, tetapi kok malah jadi pengecut. Apakah karena kita terlalu nyaman? Karena takut dicemooh, takut kehilangan muka, takut omongan orang? Bergerak, berani mengambil risiko, dan gagal adalah bagian dari hidup yang dijalani dengan sepenuh hati. Ali bin Abi Thalib berkata, “Ketakutanmu terhadap apa yang belum terjadi lebih besar daripada ketakutanmu terhadap apa yang sudah terjadi.”
Jadi, mengapa kita begitu takut untuk hidup? Mengapa kita membiarkan kecemasan menahan langkah-langkah kita? Jika kita tahu hidup ini singkat, mengapa tak segera melangkah? “Habiskan jatah gagalmu,” kata para motivator. Dalam kesunyian malam terakhir, kita mungkin menatap langit-langit kamar, merenungi semua yang seharusnya kita lakukan. Bukan semua dosa atau salah, tapi semua mimpi yang tidak berani kita kejar, semua kata yang tidak berani kita ucapkan, semua langkah yang kita hindari.
Jadi, sebelum kita menutup mata untuk terakhir kali, ingatlah: hidup ini cuma sekali. Di akhir hidup, yang akan kita sesali bukan kegagalan, tapi ketidakberanian untuk mencoba. Jangan biarkan ranjang kematian menjadi saksi terakhir dari penyesalan tak bertepi. Berkata imam asy-Syafi’i, “Jika kau tak tahan lelahnya belajar, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan.” Dan dalam hal ini, mungkin bukan kebodohan akademis, tapi kebodohan karena membiarkan ketakutan menghentikan impian-impian kita.