Sumpek. Jika Al-Qur’an tak bisa menyembuhkanku, tidak ada obat lain yang mampu. Ada yang hilang di abad ini. Kita hidup di tengah keramaian, tapi merasa sepi. Kita punya segalanya, tapi merasa hampa. Penyakit ini bukan fisik, melainkan di dalam hati dan jiwa.
Galau. Seperti hidup dalam kotak kaca, yang penuh cahaya dari luar tapi sesak di dalam. Katanya dunia ini canggih, serba ada, serba mudah. Tapi kok makin banyak orang merasa sakit, merasa hampa? Mereka mencari obat untuk hati yang gelisah, tapi yang mereka temukan hanya deretan pil di etalase apotek atau tips-tips palsu yang dijajakan influencer. Sebenarnya, mereka tak sadar sedang berjalan menuju jurang tanpa rambu.
Gelisah. Mungkin itu yang dirasakan manusia di abad ini, seperti terperangkap di dalam labirin pikiran sendiri. Segala sesuatu serba canggih, serba cepat, tapi hati kita justru semakin lamban mencari jalan pulang. Ketika malam tiba dan sunyi menyergap, kita bertanya: adakah obat yang bisa menyembuhkan perasaan yang membunuh ini? Jika bukan Al-Quran, maka apa lagi? “Bukankah dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang?” (QS. Ar-Ra’d: 28). Tapi bagaimana jika kita tidak pernah benar-benar mendekat? Seperti berdiri di tepi sungai yang deras tapi enggan menceburkan diri; air mengalir, sejuk, membersihkan — tapi kita hanya diam, merasakan haus tanpa berbuat apa-apa.
Di dalam surat Al-Isra: 82, Allah berfirman, “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Tapi apa yang terjadi hari ini? Justru Al-Qur’an, yang semestinya menjadi penyembuh hati, sering kali hanya menjadi hiasan di rak, atau dibuka hanya di saat-saat tertentu. Ada yang sakit di sini, bukan sekadar di tubuh, tapi di hati, di jiwa yang tercerabut dari akarnya.
Penyakit abad 21 ini, kawan, adalah ketika kita semakin jauh dari Sumber Ketenangan. Kita merasa tahu segalanya, tapi ternyata tidak tahu apa-apa. Kita merasa punya segalanya, tapi kehilangan hal paling berharga: kedamaian. Di dunia yang serba materialistik ini, kita sering lupa bahwa yang paling berharga tidak dapat dibeli, disewa, atau dipinjam. Kebahagiaan sejati adalah hadiah yang diberikan kepada mereka yang mengerti arti cinta dan ketundukan kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Dalam setiap halaman Al-Quran, ada janji kesembuhan. Tapi kita lebih sering membuka ponsel daripada membuka lembar-lembar kalam-Nya. Seolah-olah ada selimut hitam pekat yang menutupi hati kita, membuat kita tak pernah merasa cukup, tak pernah merasa puas. Rasulullah mengingatkan, “Tidaklah anak Adam memenuhi suatu wadah yang lebih buruk daripada perutnya.” (HR. Tirmidzi). Mungkin bukan hanya perut yang kita penuhi dengan hal-hal yang tidak berguna, tetapi juga pikiran dan hati kita.
Ingat sabda Nabi Muhammad, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging. Jika daging itu baik, maka baiklah seluruh jasad. Dan jika daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Lantas, bagaimana kita berharap sembuh jika kita sendiri menutup pintu-pintu penyembuhan? Kita ingin sembuh, ingin merasa utuh, tapi kita tak mau berusaha. Kita ingin merasa damai, tapi kita tak mau mendekati Sumber Kedamaian.
Mari, kita buka hati kita, jangan biarkan penyakit abad 21 ini menggerogoti kita. Kalau bukan Al-Quran yang bisa menyembuhkan kita, lalu apa lagi? Jangan terus bermain-main dengan ilusi dunia, sementara hati kita menjerit meminta pertolongan. Cure me. Fix me. Heal me. Kalimat-kalimat itu seharusnya bukan hanya bisikan putus asa, tapi panggilan tulus kepada Ilahi Sang Penyembuh Sejati. Pada akhirnya, sumpek ini adalah panggilan lembut untuk kembali, untuk membuka Al-Quran dan membiarkannya menjadi obat bagi jiwa yang lelah. Karena di sana, dalam ayat-ayat yang suci, ada bisikan kasih sayang Ilahi yang selalu menanti.