Tahun 2024 melaporkan sebaris data yang mencengangkan: Inggris, Amerika Serikat, Australia, Belanda, dan Swedia disebut memiliki pendidikan terbaik. Namun, di tengah sanjung puja untuk pencapaian akademik, dunia menyaksikan ironi yang memilukan. Bunuh diri meningkat, seolah pendidikan modern gagal memberi jawaban atas gelisah hati manusia....
Sebuah fakta yang sukar ditepis: 6.069 kasus bunuh diri di Inggris dan Wales, 49.300 kasus bunuh diri di Amerika Serikat, 275 kasus bunuh diri di Australia, 1.862 kasus bunuh diri di Belanda, serta bayang-bayang gelap bunuh diri anak muda di Swedia. Seakan-akan prestasi di kelas tidak menjamin damainya jiwa di rumah. Pertanyaan yang mengikuti: Apa arti peringkat pendidikan tertinggi jika begitu banyak yang mengakhiri hidup sendiri?
Pada satu sisi, dunia seakan memuja kemampuan otak, tetapi melupakan kedalaman ruh. Untaian pengetahuan melesat cepat, namun empati dan makna tidak kunjung terlihat. Seperti kata Allah dalam QS. Al-Hadid: 20, kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu; mungkin inilah potret pendidikan yang tidak berdasarkan iman.
Mereka berlomba menyusun kurikulum canggih, membangun kampus megah, serta menumpuk fasilitas akademik. Tetapi nyatanya, nilai rapor tidak menghalau nestapa yang mengintai di sudut kehidupan. Adakah yang keliru dalam cara kita memaknai keberhasilan?
Kita menyaksikan muramnya jiwa di tengah gemerlap pencapaian. Ilmu seperti terjebak dalam pusaran teknis, tanpa cahaya yang menerangi jalan. Mungkin saatnya bertanya: di manakah keberkahan ilmu yang sesungguhnya?
Potret Singkat Negara-Negara dengan Pendidikan Terbaik dan Kasus Bunuh Diri
Inggris dan Wales dipandang sebagai mercusuar pendidikan Eropa. Namun, 6.069 kasus bunuh diri pada 2023 menampar angan tentang ilmu yang membahagiakan. Seakan kecanggihan pembelajaran masih menyisakan lubang hampa dalam dada mereka.
Amerika Serikat tersohor dengan inovasi pendidikan dan universitas bergengsi. Tetapi angka 49.300 kasus bunuh diri seolah menandakan bahwa gelar dan peringkat tidak mengisi kekosongan ruhani. Fasilitas modern belum menjawab tangis sunyi di tengah malam.
Australia digadang-gadang ramah dan inklusif dalam mendidik generasi. Namun, 275 nyawa pribumi terlepas dari sangkar dunia, menyiratkan bahwa pendidikan tidak mampu menghapus jejak nestapa sosial dan historis. Apakah peradaban tinggi hanya menghias kulit tanpa memperbaiki isi?
Belanda, dengan kurikulum inovatif dan fleksibel, menyimpan paradoks kelam. Sebanyak 1.862 jiwa yang menyerah pada hidup membuktikan bahwa modernisasi tidak selamanya menjamin ketenangan. Ada cahaya pengetahuan, tapi apakah cahaya itu menyentuh hati yang rapuh?
Swedia, bersama negeri-negeri Nordik, meniti tangga pendidikan hingga puncak. Tapi di sanalah kecemasan anak muda membubung, mengikis senyum mereka yang mestinya bahagia. Seperti sabda Rasulullah Muhammad bahwa dunia laksana penjara bagi orang beriman dan “surga” bagi orang kafir, tampaknya kelimpahan materi tidak menjamin keluasan makna.
Analisis Faktor-Faktor Penyebab
Tekanan mental yang membelit para pelajar seakan fakta tidak terbantahkan. Mereka dibebani target, angka, dan ambisi yang tidak pernah jenuh. Ilmu seolah menjadi beban, bukan bekal.
Ketimpangan sosial menghapus empati dan keadilan dari ruang kelas. Hidup menjadi kompetisi meraih sukses pribadi, sementara nurani menepi. Al-Quran mengingatkan untuk tolong-menolong dalam kebaikan (QS. Al-Maidah: 2), namun pendidikan modern mengajarkan bersaing tanpa peduli.
Kurangnya dukungan emosional menjadikan murid seperti pengembara di padang sepi. Teknologi dan buku akademik mungkin melimpah, namun sentuhan hati yang menenangkan tidak tersedia. Mereka pandai, tapi kesepian.
Fondasi spiritual yang lemah membentangkan jalan buntu bagi pencari makna. Ilmu tanpa iman hanyalah kumpulan fakta yang kering. Ulama salaf senantiasa menekankan adab sebelum ilmu, sebab tanpa ruh, pengetahuan hanyalah dengung hampa.
Kesenjangan antara teknologi dan nilai kemanusiaan melahirkan kegersangan rohani. Kita mampu menciptakan robot, tapi gagap memaknai tangis seorang teman. Apalah arti pendidikan jika hati kita tetap gundah?
Perspektif Seorang Muslim terhadap Fenomena Ini
Islam memandang ilmu sebagai cahaya yang mengantarkan pada penghambaan. Mencari ilmu adalah ibadah, bukan sekadar mengisi kepala dengan data. QS. Al-Alaq: 1-5 mengingatkan agar membaca atas nama Rabb, bukan sekadar atas nama ambisi dunia.
Pendidikan dalam Islam mekar dari iman, berakar dalam moral, dan berbuah amal yang mendatangkan ridha Allah. Tanpa keimanan, ilmu menjadi semacam kayu bakar yang tidak memberi hangat. Imam Asy-Syafi’i menekankan pentingnya adab, sebab adab adalah kehalusan jiwa yang memaknai ilmu.
Menjaga jiwa (hifzh an-nafs) merupakan salah satu maqashid syariah, tujuan mulia dari hukum Ilahi. Bunuh diri adalah dosa besar, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, yang mengingatkan bahwa siapa yang menghabisi nyawanya sendiri akan merasakan siksa yang serupa di Akhirat. Ini bukan ancaman kosong, tapi peringatan bahwa hidup adalah anugerah yang harus dijaga.
Keseimbangan antara ilmu duniawi dan ukhrawi menghindarkan kita dari hampa makna. Pendidikan bukan sekadar menghimpun angka, tetapi juga mengundang rahmat Allah. Dengan zikir, hati menjadi tenteram (QS. Ar-Ra’d: 28), dan ilmu pun bersinar menerangi lorong kehidupan.
Lingkungan pendidikan Islami bukan hanya tempat berpikir, tapi juga ruang untuk merasakan kedekatan antar hati. Guru bukan sekadar pengajar, tapi pembimbing rohani. Dalam suasana semacam inilah jiwa tumbuh dan tidak mudah rapuh.
Refleksi dan Implikasi
Kita perlu meninjau ulang definisi “terbaik” dalam pendidikan. Apakah hanya berpatokan pada rangking, skor, dan prestise? Ataukah pendidikan dinilai dari seberapa damai jiwa yang terbentuk?
Saatnya memasukkan nilai spiritual, moral, dan etika ke dalam kurikulum. Ini bukan mundur ke masa lalu, tapi melangkah ke kesadaran akan tujuan akhir pencarian ilmu. Dengan begitu, angka bunuh diri tidak lagi menjadi gema pedih di balik klaim kemajuan.
Pemerintah, pendidik, dan masyarakat Muslim bersinergi untuk meracik resep baru. Kita tidak sekadar menciptakan generasi cerdas, tapi generasi yang mengerti kenapa mereka diciptakan. Hidup tidak sekadar mencetak gelar, tapi merengkuh rahmat Allah.
Konseling, dukungan psikologis, dan penguatan relasi manusiawi harus menyertai visi pendidikan baru ini. Murid bukan lagi angka, mereka adalah amanah yang harus dirawat dengan kelembutan. Di sana, hati akan merasa disambut dengan kasih.
Pendidikan dengan jiwa yang bening akan membantu manusia memahami alasan mereka diberi nikmat kehidupan. Tidak sekadar mempelajari ilmu, tapi memetik hikmah. Tidak hanya memenuhi kepala, tapi menyegarkan ruh.
Kesimpulan
Paradoks pendidikan modern ini mengingatkan kita pada pentingnya makna di balik pengetahuan. Prestasi akademik melambung, namun ruh manusia meredup. Ada kekosongan yang tidak mampu ditambal oleh rangkaian gelar.
Dari perspektif Islam, ilmu adalah lentera yang membimbing jiwa menuju Sang Maha Pencipta. Tanpa iman, ilmu kehilangan makna sejatinya. Pendidikan sejati adalah yang menautkan kecerdasan dengan ketaatan, pengetahuan dengan penghambaan.
Pertanyaan yang mengiang: Apa guna “pendidikan terbaik” jika penghuninya kehilangan hasrat hidup? Kini jelas, kita perlu mengembalikan pendidikan kepada fitrahnya. Bahwa ilmu adalah perbekalan menuju kedamaian hakiki.
Sebagaimana kata seorang ulama, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan.” Di sinilah pendidikan harus menyeimbangkan keduanya. Sehingga manusia tidak hanya pintar, tapi juga mengerti arah perjalanannya.
Pendidikan yang menuntun pada pemaknaan hidup akan menutup pintu kegelapan. Ia menghadirkan cahaya yang meredakan tangis, menghapus keputusasaan, dan memancarkan harapan. Sebab pada akhirnya, ilmu yang diberkahi akan memandu kita kembali kepada Allah, Sang Rabbul ‘Alamin.