Di Singosari, Kabupaten Malang, berdiri sebuah patung raksasa setinggi delapan meter yang menggambarkan sosok Ken Dedes. Patung itu berdiri megah di Taman Ken Dedes, seolah mengklaim tempatnya sebagai ikon sejarah kota ini. Tapi, yang menjadi pertanyaan bagi banyak orang, terutama saya sebagai seorang ayah dan guru di kota ini, adalah: Apa hubungan Ken Dedes dengan Kota Malang, terutama dengan statusnya sebagai “Kota Pendidikan”?
Ken Dedes bukanlah tokoh sejarah yang bisa diverifikasi dengan pasti. Dia adalah karakter dalam Pararaton, sebuah kitab yang ditulis sekian ratus tahun setelah peristiwa-peristiwa yang dikaitkan dengannya. Dengan kata lain, Ken Dedes adalah tokoh fiktif. Namun, yang lebih mengganggu adalah narasi yang melekat pada dirinya. Jika kita membayangkan seandainya Ken Dedes benar-benar pernah ada, kisah hidupnya penuh dengan intrik, cinta segitiga, dan pembunuhan. Ken Arok, yang kemudian menjadi suaminya, membunuh Tunggul Ametung, suami pertama Ken Dedes, untuk merebutnya. Ini adalah cerita yang jauh dari nilai-nilai pendidikan, sejarah, dan akhlak yang baik.
Bagaimana mungkin kita, di Kota Malang yang dikenal dengan pendidikannya, menjadikan sosok yang kisahnya penuh kontroversi sebagai ikon? Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan akademik, tetapi juga tentang nilai moral dan pembentukan karakter. Bagaimana kisah cinta segitiga dan pembunuhan bisa menjadi cerminan dari nilai-nilai pendidikan? Apakah Kota Malang kekurangan figur nyata yang lebih layak dijadikan teladan?
Sejarah Malang kaya akan tokoh-tokoh yang benar-benar hidup dan memberikan pengaruh positif. Mengapa tidak mengangkat salah satu dari mereka? Figur yang membawa nilai kejujuran, keberanian, dan keteladanan yang bisa dipegang oleh masyarakat, terutama generasi muda kita. Ken Dedes, dengan kisahnya yang penuh intrik dan tragedi, tidak layak menjadi simbol kebanggaan bagi kota yang berlabel “Kota Pendidikan.”
Lebih dari sekadar pertanyaan tentang pilihan figur, yang lebih mengganggu adalah bentuk patung Ken Dedes itu sendiri. Patung ini dibuat tanpa busana yang layak, memperlihatkan payudara dan putingnya secara vulgar. Ini bukan hanya soal estetika, tetapi juga soal kesopanan. Kota Malang, dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam, lebih dari 90% muslim, jelas memiliki norma kesopanan yang dijunjung tinggi. Dalam ajaran Islam, menjaga aurat adalah bagian dari kewajiban. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (aurat) kecuali yang (biasa) tampak darinya…” (QS. An-Nur: 31). Lalu, bagaimana patung yang memperlihatkan bagian intimnya dengan vulgar bisa cocok dengan nilai-nilai kesopanan yang kita junjung?
Selain itu, patung Ken Dedes ini sangat kental dengan simbolisme agama Hindu-Buddha, dari pose hingga atribut yang dikenakan. Meskipun kita menghormati keberagaman agama, kenyataannya hanya 0,16% penduduk Malang yang beragama Hindu dan 0,49% beragama Buddha. Apakah patung ini benar-benar mewakili mayoritas penduduk Malang? Apakah patung ini memiliki relevansi dengan kehidupan masyarakat sehari-hari? Dalam sebuah kota yang mayoritasnya adalah muslim, patung dengan simbol agama lain yang kuat tentu menimbulkan pertanyaan tentang relevansi dan sensitivitas budaya serta agama.
Lebih jauh lagi, pertanyaan besar lainnya adalah tentang biaya pembangunan patung ini. Hingga saat ini, publik tidak mengetahui berapa besar anggaran yang dihabiskan untuk membangun patung Ken Dedes tersebut. Namun, jika kita melihat patung Soekarno di Buleleng, Bali, yang juga memiliki tinggi 8 meter, biaya pembangunannya mencapai sekitar 2,5 miliar rupiah. Jika kita berasumsi biaya patung Ken Dedes ini sebanding, maka ini adalah jumlah uang yang sangat fantastis.
Saya bertanya-tanya, apakah ini penggunaan dana yang bijaksana? Di Kota Malang, ada sekitar 35 ribu jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika uang sebanyak itu digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan, bayangkan betapa banyak orang yang bisa dibantu. Dengan dana sebesar 2,5 miliar rupiah, berapa banyak masjid dan pesantren yang bisa dibangun? Berapa banyak sekolah yang bisa diperbaiki? Berapa banyak orang sakit yang bisa dibantu biaya pengobatannya? Berapa banyak pasangan muda yang bisa dibantu biaya pernikahannya? Berapa banyak jalanan dan jembatan yang bisa dibangun untuk memudahkan akses bagi masyarakat di pelosok?
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad). Jika dana sebesar itu digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat, bukankah itu jauh lebih baik daripada menghabiskannya untuk sebuah patung yang menimbulkan banyak kontroversi? Patung ini bukan hanya menimbulkan kebingungan moral, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang prioritas dalam penggunaan anggaran publik.
Mungkin ada yang berargumen bahwa patung ini adalah bentuk apresiasi seni dan sejarah. Namun, bukankah ada banyak cara lain untuk mengapresiasi seni dan sejarah tanpa harus mengorbankan nilai-nilai moral dan agama? Kita bisa membangun museum yang informatif, membuat film dokumenter yang mendidik, atau mengadakan festival budaya yang memperkaya wawasan. Semua itu bisa dilakukan tanpa harus memajang patung telanjang di ruang publik.
Sebagai seorang ayah dan guru, saya merenungkan, apa yang ingin kita wariskan kepada anak-anak kita? Kota ini harus menjadi tempat di mana generasi muda belajar tidak hanya tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang nilai-nilai akhlak dan etika. Patung Ken Dedes, dengan segala kontroversinya, tidak membawa pesan yang kuat untuk mendidik. Sebaliknya, ia menimbulkan kebingungan, tidak hanya bagi masyarakat dewasa, tetapi juga bagi anak-anak yang masih belajar memahami dunia di sekitar mereka.
Pendidikan adalah tentang membangun masa depan. Jika kita ingin Malang benar-benar dikenal sebagai Kota Pendidikan, kita harus lebih bijak dalam memilih simbol-simbol yang mewakili kita. Simbol bukan hanya tentang apa yang terlihat, tetapi tentang apa yang ingin kita sampaikan kepada dunia. Patung Ken Dedes ini, dengan kisah kontroversial dan bentuk yang vulgar, jelas bukan simbol yang tepat untuk kota yang penuh dengan nilai pendidikan, moralitas, dan akhlak.
Kota Malang adalah tempat yang indah, penuh dengan potensi untuk tumbuh dan berkembang. Namun, kita harus berhati-hati dengan setiap langkah yang kita ambil, terutama dalam memilih simbol-simbol yang akan mewakili identitas kota ini. Sebagai seorang ayah yang ingin melihat anak-anaknya tumbuh dengan nilai-nilai yang baik, dan sebagai seorang guru yang berusaha menanamkan karakter islami kepada murid-muridnya, saya berharap kita bisa lebih bijak dalam membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi masyarakat luas.
Simbol-simbol di ruang publik bukan hanya hiasan, tetapi juga cerminan tentang siapa kita sebagai masyarakat. Mari kita memilih simbol-simbol yang membawa inspirasi, yang mendidik, dan yang mencerminkan nilai-nilai kita sebagai komunitas yang beradab. Kota Malang berhak mendapatkan simbol yang lebih baik, yang benar-benar merepresentasikan semangat pendidikannya, bukan simbol yang penuh kontroversi dan sedang telanjang bertapa.