Pasar yang Tidak Pernah Mati
Pasar Kebalen. Sebuah dunia yang bergerak dalam diamnya malam. Pukul dua dini hari, ia sudah berdenyut. Pedagang bergegas menggelar dagangan. Pembeli datang dengan kantong kosong, pulang membawa penuh harapan.
Namun, di balik hiruk-pikuk itu, ada pemandangan yang menyedihkan. Saat adzan Subuh berkumandang, pasar tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Transaksi terus berjalan. Suara dari rumah Allah kalah dengan suara uang.
Ini bukan sekadar tentang pasar. Ini tentang pilihan. Allah berfirman, “Dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14). Tapi di sini, adzan hanya menjadi gema yang tak diperhatikan.
Ada sesuatu yang hilang. Bukan hanya waktu, tapi juga kesadaran. Pasar hidup, tapi masjid mati.
Di Pasar Kebalen, dunia berbicara lebih keras daripada langit. Dan manusia lebih memilih mendengarkan gemuruh dunia.
Malang: Kota Religius yang Kehilangan Arah
Malang punya lebih dari 14.000 masjid. Sebuah angka yang membanggakan. Kota ini dikenal religius, dengan masjid di setiap sudut. Tapi kenyataannya, masjid-masjid itu sunyi saat Subuh.
Sementara itu, Pasar Kebalen justru penuh sesak. Shof di masjid sepi, tapi antrean di lapak-lapak memanjang. Rasulullah bersabda, “Siapa sholat Subuh berjamaah, maka ia berada dalam jaminan Allah.” (HR. Muslim). Tapi siapa yang peduli pada jaminan itu, ketika dunia menawarkan iming-iming keuntungan instan?
Di kota ini, paradoks begitu nyata. Simbol keagamaan ada di mana-mana, tapi esensinya hilang. Masjid berdiri megah, tapi jiwa-jiwa umatnya sibuk mencari dunia.
Masjid yang seharusnya menjadi pusat kehidupan justru menjadi ruang hampa. Sementara pasar, yang seharusnya hanya alat, malah menjadi panglima.
Ini bukan hanya soal statistik. Ini soal prioritas. Dan kita tahu, prioritas itu sudah bergeser jauh.
Sholat: Pilar yang Mulai Runtuh
Sholat adalah tiang agama. Ia adalah pondasi. Tanpanya, agama hanya menjadi kulit tanpa isi. Rasulullah berkata, “Sholat adalah pembatas antara seorang Muslim dan kekufuran.” (HR. Muslim). Tapi di Pasar Kebalen, sholat sering dianggap opsional.
Rasulullah juga bersabda, “Sholat adalah tiang agama. Siapa mendirikannya, maka dia telah menegakkan agama. Siapa meninggalkannya, maka dia telah meruntuhkan agama.” (HR. Al-Baihaqi). Sedangkan di Pasar Kebalen, tiang itu rapuh.
Ketika panggilan Subuh tiba, hanya sedikit yang beranjak. Mayoritas tetap sibuk. Mereka takut kehilangan waktu. Padahal, setiap detik yang berlalu tanpa sholat adalah langkah menuju kehancuran iman.
Sebagian besar tetap di pasar, sibuk dengan timbangan dan transaksi. Seolah-olah, waktu Subuh bisa ditukar dengan waktu lain. Seolah-olah, Allah bisa menunggu.
Pasar Kebalen menunjukkan bahwa tiang agama sedang goyah. Ini bukan hanya masalah individu. Ini adalah cermin masyarakat yang mulai lupa pada nilai-nilai utama.
Pasar Kebalen juga mengajarkan kita bahwa iman bisa tergerus oleh rutinitas dunia. Diakui atau tidak, itu adalah pelajaran yang pahit.
Tiang yang retak harus segera diperbaiki. Jika tidak, bangunan agama akan runtuh. Dan itu adalah bencana yang lebih besar dari sekadar krisis ekonomi.
Rezeki: Mitos Logika Pasar
Di Pasar Kebalen, waktu adalah uang. Begitu katanya. Pedagang takut meninggalkan lapak, pembeli takut kehilangan kesempatan. Tapi di balik ketakutan itu, ada ilusi besar. Siapa yang sebenarnya memberi rezeki?
Allah berfirman, “Dan di langit terdapat rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. Adz-Dzariyat: 22). Pasar bukan sumber rezeki. Ia hanya alat. Tapi logika pasar sering kali membutakan. Uang menjadi raja, sementara Allah terlupakan.
Allah juga berfirman, “Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6). Pedagang lebih percaya pada timbangan daripada janji Allah. Mereka lupa bahwa rezeki tidak akan pernah salah alamat.
Ini bukan soal bekerja keras. Ini soal keberkahan. Rasulullah bersabda, “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung.” (HR. At-Tirmidzi). Tapi di sini, burung-burung pasar terbang tanpa arah. Mereka terbang dengan beban ketakutan yang berlebihan.
Ketika rezeki dipisahkan dari iman, kita hanya mengejar fatamorgana. Rezeki itu ada, tapi tanpa keberkahan, ia akan menjadi beban.
Rezeki tanpa keberkahan hanyalah angka. Dan angka, tanpa makna, hanyalah kekosongan.
Masjid-Masjid yang Merindu Jamaah
Masjid-masjid di Malang berdiri megah. Mereka adalah saksi atas kesalehan masa lalu. Tapi sekarang, di waktu Subuh, mereka hanya menunggu. Pintu-pintu terbuka, shof-shof siap diisi. Tapi yang datang hanya segelintir.
Padahal sholat Subuh adalah momen kunci. Rasulullah bersabda, “Sholat Subuh berjamaah lebih berat bagi orang munafik, tetapi jika mereka tahu keutamaan yang ada di dalamnya, mereka pasti akan mendatanginya, walaupun dengan merangkak.” (HR. Bukhari). Tapi di sini, berat itu menjadi alasan. Manusia lebih memilih kenyamanan pasar daripada pahala berjamaah. Keutamaan itu sering kali kalah oleh kenyamanan dunia.
Masjid adalah tempat di mana jiwa kembali pada fitrahnya. Tapi di kota ini, mereka hanya menjadi simbol. Sebuah bangunan megah yang menyimpan sunyi di dalamnya.
Masjid tidak butuh manusia. Manusia yang butuh masjid. Tapi di Pasar Kebalen, masjid-masjid itu seakan dilupakan. Mereka merindu, tapi rindu itu tidak pernah terbalas.
Ini adalah ironi. Kota ribuan masjid, tapi sepi dari jamaah. Di mana kita sebenarnya?
Refleksi: Apa yang Kita Kejar?
Pasar Kebalen adalah cermin. Ia memaksa kita bertanya: apa yang sebenarnya kita kejar? Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan, maka dunia akan datang kepadanya dengan sendirinya.” (HR. At-Tirmidzi). Tapi kita sering membalik logika itu, karena dunia lebih memikat.
Kita mengejar dunia, melupakan akhirat. Dan dalam pengejaran itu, kita kehilangan keduanya. Pasar menjadi segalanya, sementara masjid hanya menjadi pelengkap. Sebuah tambahan yang dilihat sebagai kewajiban, bukan kebutuhan.
Ini bukan soal sholat semata. Ini soal ke mana kita melangkah. Dunia hanyalah tempat persinggahan. Tapi sering kali, kita memperlakukannya sebagai tujuan akhir.
Apa yang kita kejar di dunia ini? Dunia hanyalah bayangan. Ketika kita mengejarnya, ia akan menjauh. Tapi ketika kita membelakangi, dunia akan mengikuti.
Krisis ini adalah panggilan untuk berubah. Bukan hanya untuk individu, tapi untuk masyarakat. Karena ketika kita lupa pada akhirat, kita sedang menuju kehancuran kolektif.
Subuh: Awal Perubahan
Subuh adalah waktu untuk bangkit. Bukan hanya dari tidur, tapi dari kelalaian. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa sholat Subuh berjamaah, maka dia berada dalam jaminan Allah.” (HR. Muslim). Subuh adalah awal hari. Awal keberkahan.
Pasar Kebalen bisa tetap hidup. Tapi jangan biarkan masjid terus mati. Dunia ini sementara, akhirat adalah tujuan yang kekal. Kita bisa memiliki keduanya, jika kita tahu mana yang harus didahulukan.
Mulailah dari Subuh. Langkah kecil menuju masjid adalah langkah besar menuju perubahan. Karena di situlah hidup yang sebenarnya dimulai. Di dalam sujud yang penuh kesadaran.