Kritik sebagai Wajah Iman
Seorang muslim harus berani bertanya. Bukan sekadar soal halal dan haram, tapi juga soal keadilan, kemanusiaan, dan makna kebenaran di dunia kontemporer. Islam bukan agama yang pasif; ia hidup, bergerak, dan selalu berdialog dengan zaman.
Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). Artinya, iman itu nyata jika ia protes terhadap kezaliman. Iman itu harus kritis.
Covid-19; Mana Virusnya?
Kita tiba di era yang menuntut kita menunduk tanpa tanya. Covid-19 datang, dan dunia seketika terdiam. Siapa yang bertanya mengapa ilmuwan virologi tidak pernah benar-benar mengisolasi virus ini? Pandemi ini digunakan untuk menjustifikasi lockdown global, menekan kebebasan, bahkan menghancurkan ekonomi kecil dan memperkaya yang besar. Di mana letak kritis kita?
Islam tidak pernah mengajarkan ketakutan yang membungkam akal. “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya,” (QS. Al-Isra: 36). Islam mengajarkan untuk tidak menerima begitu saja setiap narasi. Muslim yang kritis adalah muslim yang tidak segan bertanya, menggedor narasi yang dibentuk tanpa dasar ilmiah yang kokoh.
Muslim adalah pemikir, bukan pengikut buta.
Mendarat di Bulan Dengan Mainan Anak-Anak?
Bulan Juli 1969, dunia menyaksikan “pendaratan” manusia di bulan. Sebuah momen luar biasa… atau justru fiksi ilmiah terbaik? Komunikasi antara astronot dan presiden Amerika saat itu hanya dengan TV dan telepon kabel; bagaimana kita bisa begitu yakin? Mengapa tampilan peralatan yang digunakan terlihat amat sederhana, seperti properti dalam film? Bendera yang berkibar di ruang tanpa udara, bagaimana manusia bisa percaya tanpa bertanya?
Muslim yang menolak ilusi besar ini tidaklah berarti musuh sains, justru penjaga kebenaran. Islam menuntut kita untuk menyelami realita, bukan mendekap fiksi yang disulap jadi kenyataan. Jika iman adalah keyakinan, maka ia harus berpijak pada kebenaran, bukan pada propaganda.
Uang Kertas Hanya Kertas?
Pernahkah kita bertanya, siapa yang memberikan nilai pada selembar uang kertas? Mengapa dolar Amerika lebih kuat dari rupiah, sementara keduanya sama-sama kertas? Jika semua negara di dunia ini memiliki hutang, kepada siapa mereka berhutang?
Dunia terbelit kertas yang mengendalikan kehidupan. Kita terima begitu saja kurs mata uang yang dibentuk demi kepentingan tertentu. Sebagai muslim, kita harus tahu bahwa sistem keuangan dunia dibuat sedemikian rupa agar kekayaan terpusat di beberapa tangan saja. Ibnu Khaldun pernah berkata bahwa ketimpangan ekonomi adalah bibit dari kezaliman dan keruntuhan masyarakat. Kita harus kritis terhadap sistem ekonomi yang, pada hakikatnya, memenjarakan kita dalam lingkaran hutang.
Iman Haruslah Cerdas, Bukan Sekadar Percaya
Protes bukan sekadar tindakan; ia adalah refleksi iman yang hidup, yang aktif menolak kezaliman di segala aspek. Bukan hanya yang tampak jahat, tetapi juga kebatilan yang terbungkus rapi dalam narasi kebenaran buatan.
Jika hati kita menciut di depan kezaliman, apa bedanya kita dengan kemunafikan yang hanya tunduk pada apa yang tampak kuat? Islam adalah protes yang hidup, yang bergerak menembus narasi kebohongan.
Sementara kita tidak tahu segalanya, kita punya hati dan pikiran yang siap mempertanyakan. Islam menginginkan kita untuk kritis, berani, dan berkorban untuk kebenaran.