by

Mulai Dari Nol

Terlahir Kembali di Dunia Modern

Coba bayangkan, seolah-olah Allah menulis ulang lembar hidup anda. Suatu pagi, anda terbangun, sudah dewasa, tapi tidak dengan memori dari masa lalu, tidak ada ingatan akan segala yang pernah anda alami. Anda cuma punya tubuh yang sama, wajah yang tidak berubah, tapi dunia ini sudah berbeda; terlalu cepat, terlalu berisik, penuh dengan layar yang tidak berhenti berkedip.

Di dunia yang seperti ini, teknologi datang tidak hanya sebagai alat, tapi sebagai raja yang duduk di singgasana. Mau makan? Ada aplikasi. Mau bicara? Ada chat. Mau tidur? Ada video yang tidak ada habisnya. Apakah itu kemajuan atau malah membuat kita terbelenggu dalam rutinitas yang tidak jelas?

Tapi, kita semua tahu, di balik teknologi yang menyesakkan dada itu, ada hal yang lebih menyesakkan lagi; waktu. Waktu itu berjalan seperti sungai, kadang pelan, kadang cepat, dan ketika kita sibuk terpaku melihat layar, ia terus mengalir. Allah berkata, “Waktu itu adalah saksi. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali yang beriman dan beramal shalih.” (QS. Al-Asr: 1-3). Waktu tidak bisa diputar kembali, kita hanya bisa memilih bagaimana menggunakannya.

Teknologi memang memudahkan, tapi seringkali ia menjebak kita dalam rasa terasing. Kita terhubung dengan banyak orang, tapi semakin jauh dari diri kita sendiri. Maka, dalam hidup yang baru ini, kita harus mampu bertanya pada diri sendiri, “Apa yang sebenarnya kita cari dalam dunia yang penuh dengan distraksi ini?”

Kita mungkin terjebak dalam godaan untuk selalu lebih; lebih cepat, lebih banyak. Tapi jangan lupa, teknologi itu bisa jadi teman yang baik jika kita bijak memanfaatkannya. “Berbuat baik adalah sebaik-baiknya teknologi,” kata orang bijak. Jika teknologi kita pakai untuk hal-hal yang tidak penting, maka kita sedang mengkhianati waktu yang diberikan Allah.

Menyaring Prioritas: Apa yang Akan Disimpan?

Nah, sekarang kita sampai pada soal apa yang akan kita simpan. Hidup ini bukan hanya soal memiliki, tetapi tentang makna dari setiap detik yang kita jalani. Dalam dunia yang penuh dengan kemudahan ini, kita harus memilih apa yang bisa membawa kita pada kebaikan. Apa yang harus kita pertahankan dalam hidup ini?

Keimanan, tentu saja. Keimanan adalah tiang kehidupan. Tanpa itu, kita seperti rumah tanpa pondasi. Rasulullah pernah bersabda, “Agama itu adalah nasihat.” (HR. Muslim). Agama ini adalah pedoman yang harus kita simpan dengan baik. Kalau kita kehilangan agama, kita kehilangan semuanya.

Selain itu, kita harus menjaga sholat. Bukan hanya sholat sebagai ritual, tapi sebagai cara kita mengingat Sang Maha Pencipta. Kalau sholat kita sudah terabaikan, maka kita sedang membiarkan hidup kita terombang-ambing di lautan yang tidak jelas. Sholat adalah kompas hidup, jika itu rusak, maka kita akan kehilangan arah.

Keluarga juga adalah bagian yang tidak boleh dilepaskan. Kita boleh mengejar karir, kita boleh sibuk dengan dunia, tapi jangan sampai keluarga jadi nomor dua. Rasulullah mengajarkan kita, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik dalam berbuat kepada keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi). Keluarga adalah akar, jika akar ini lemah, maka pohon akan tumbang.

Ilmu itu wajib kita cari, tapi bukan ilmu yang cuma membuat kita pintar bicara atau menambah daftar gelar di CV. Ilmu itu harus yang membuat kita lebih dekat pada Allah, lebih rendah hati, dan lebih bermanfaat bagi orang lain. Rasulullah bersabda, “Ilmu itu adalah cahaya yang Allah tanamkan dalam hati hamba-Nya.” (HR. Al-Baihaqi).

Apa yang Akan Dibuang?

Sekarang, mari kita buang semua yang tidak perlu. Dunia ini penuh dengan hal-hal yang bisa mengalihkan kita dari tujuan sejati. Media sosial, misalnya, sepertinya menawarkan segalanya; tetapi yang didapatkan hanya rasa kosong dan ketidakpuasan. Jangan biarkan media sosial jadi kebiasaan yang membunuh waktu dan hati kita.

Tapi ini bukan hanya soal media sosial, kan? Kebiasaan buruk kita dalam membandingkan hidup kita dengan orang lain harus dibuang. Jangan pernah biarkan rasa iri menguasai diri. Allah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an, “Dan janganlah kamu iri dengan apa yang diberikan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.” (QS. An-Nisa: 32).

Hidup dalam dunia modern ini sering membuat kita terjebak dalam budaya konsumtif. Kita selalu merasa kekurangan, padahal sebenarnya kita diberi lebih dari cukup. Imam Al-Ghazali berkata, “Barang siapa yang merasa cukup dengan yang ada, maka ia adalah orang yang paling kaya.” Jangan terjebak dalam mengejar materi yang tidak akan pernah ada habisnya.

Perbandingan sosial juga harus dibuang. Di dunia yang serba terbuka ini, kita selalu bisa melihat hidup orang lain yang seolah tampak sempurna. Tapi itu bukan kenyataan. Para ulama mengingatkan, “Sesungguhnya di antara kejahatan yang paling besar adalah perasaan iri.” Iri itu hanya membunuh kedamaian hati.

Yang terpenting, buang kebiasaan hidup yang hanya fokus pada dunia ini. Allah berfirman, “Tidaklah kehidupan dunia ini selain kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20). Dunia ini hanya sementara, jangan sampai kita terjebak dalam keindahannya dan lupa tujuan hidup kita yang sebenarnya.

Menghadapi Distraksi dalam Dunia Modern

Sekarang, mari kita bicara soal bagaimana menghadapi distraksi yang tidak pernah berhenti. Dunia ini mengingatkan kita bahwa hidup bukanlah sekadar menjalani rutinitas. Dalam dunia yang serba cepat ini, kita harus tahu kapan untuk berhenti, merenung, dan menata kembali niat kita.

Teknologi memang mempermudah hidup, tapi jangan biarkan ia merusak hidup kita. Kita harus mengatur waktu kita dengan bijak. Jika kita tidak mengendalikan waktu, maka waktu yang akan mengendalikan kita. Ahli hiikmah mengingatkan, “Waktu adalah hidup, dan siapa yang menyia-nyiakan waktu, ia sedang menyia-nyiakan hidupnya.”

Kita harus bisa memfilter segala informasi yang masuk. Jangan sampai kita terjebak dalam pusaran berita yang tidak jelas. Allah berfirman, “Dan jika datang kepadamu berita tentang orang yang fasik, maka telitilah.” (QS. Al-Hujurat: 6). Ini adalah prinsip yang harus kita pegang dalam dunia yang penuh informasi ini.

Kita juga harus mengingat tujuan akhir kita. Dunia ini hanya tempat persinggahan. Rasulullah bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim). Kita hidup di dunia ini dengan satu tujuan: untuk kembali kepada Allah. Semua yang kita lakukan harus mengarah ke sana.

Akhirnya, untuk menghadapi dunia yang penuh distraksi, kita harus memiliki kompas yang jelas; yakni niat yang lurus dan tujuan yang benar. Kalau niat kita untuk beribadah, maka segala hal yang kita lakukan akan bernilai ibadah. Teknologi, media sosial, segala macam kemudahan hidup modern ini hanya akan menjadi alat untuk meraih kebaikan, jika kita tahu bagaimana menggunakannya.

Kesimpulan

Jadi, jika kita diberi kesempatan untuk mulai hidup dari nol, maka kita harus tahu apa yang perlu disimpan dan apa yang perlu dibuang. Keimanan, sholat, keluarga, ilmu; ini semua adalah bagian yang tidak bisa kita tinggalkan. Sedangkan media sosial, kebiasaan buruk, materialisme, dan iri hati harus kita tinggalkan.

Teknologi itu bisa menjadi teman yang baik jika kita bijak menggunakannya. Waktu itu adalah hadiah, dan hidup ini adalah ujian. Dunia ini sementara, dan akhiratlah tujuan kita yang sejati.

Saat kita hidup di dunia yang serba cepat ini, kita harus belajar untuk tetap tenang, tetap fokus, dan tetap tahu kemana kita berjalan. Dunia tidak akan berhenti berputar, tapi kita bisa memilih untuk berjalan dengan arah yang benar. Jangan biarkan distraksi dunia mengaburkan tujuan hidup kita.

Write a Comment

Comment