Sudah hampir setahun berlalu sejak genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023, dan apa yang tersisa hanyalah puing-puing kemanusiaan yang hancur lebur. Hampir 41 ribu rakyat Palestina tewas. Bukan sekadar angka, ini adalah manusia—anak-anak, ibu-ibu, kakek-nenek—semua yang bernafas di tanah yang dikepung tanpa ampun. Hampir 300 ribu rumah rata dengan tanah, memaksa ratusan ribu keluarga tinggal di tempat pengungsian yang sangat tidak layak untuk dihuni. Rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan, selalu menjadi sasaran bom. Dari 36 rumah sakit di Gaza, 29 telah hancur; artinya hanya ada 7 rumah sakit yang masih beroperasi dengan kapasitas yang sangat terbatas, mencoba menangani ribuan korban luka yang semakin membanjiri.
Tidak hanya infrastruktur kesehatan, lebih dari 80% sekolah di Gaza hancur, sementara 12 universitas yang menjadi pusat pendidikan generasi penerus, luluh lantak tanpa ampun. Di kota yang sudah lama terisolasi, listrik yang dulu tersedia 12 jam sehari kini hampir nol. Gaza berjuang dalam kegelapan, tak hanya secara harfiah tetapi juga dalam kegelapan dunia yang diam tak peduli. Bahkan tempat ibadah tak lagi aman; lebih dari 1.000 masjid dihancurkan. Ini bukan hanya serangan terhadap manusia, tetapi serangan terhadap iman, harga diri, dan kehidupan itu sendiri.
Dan yang paling menyesakkan, 96% populasi Gaza menderita kelaparan parah. Gaza, yang sudah terperangkap dalam blokade selama lebih dari puluhan tahun, kini berada di ambang kelaparan massal, sementara dunia tetap diam, tidak berbuat apa-apa. Lebih dari 5.000 rakyat Palestina kini cacat, dirampas kemampuan mereka untuk menjalani hidup yang normal. Hampir 100 ribu orang terluka, hidup dalam penderitaan fisik yang berkepanjangan tanpa akses yang memadai ke perawatan medis.
Zionis Yahudi Israel, dalam waktu kurang dari setahun, telah menjatuhkan 70 ribu ton bom di Gaza. Angka yang mencengangkan ini lebih besar dari jumlah bom yang dijatuhkan selama Perang Dunia Pertama, yang hanya 300 ton. Ini bukan sekadar angka, ini adalah bukti nyata dari kebrutalan yang sedang berlangsung. Kita tidak sedang berbicara tentang perang biasa, tetapi tentang genosida yang dipertontonkan secara langsung kepada dunia—sebuah kejahatan perang yang mengebiri batas-batas nurani, moralitas, dan akal sehat.
Tapi kita semua tahu bahwa pembantaian ini bukan hanya ulah Zionis Yahudi Israel semata, tetapi juga hasil dari pengkhianatan yang lebih dalam: pengkhianatan oleh para pemimpin dunia Islam yang hanya bisa mengecam dari podium, sementara mereka sendiri menjadi kaki tangan musuh-musuh Islam. Di antara mereka, Mesir, Yordania, dan Lebanon, negara-negara yang berbatasan langsung dengan Palestina, justru menjadi pangkalan militer musuh-musuh Islam yang membantai saudara-saudara kita.
Dunia menyaksikan para pemimpin dunia Islam berdiri di depan kamera, berpidato dengan nada tinggi, mengecam serangan Israel, berbicara tentang kemanusiaan, tetapi tangan mereka terikat oleh kepentingan politik yang lebih besar dari itu. Mereka melupakan firman Allah dalam Surah Al-Anfal ayat 73: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Kita hidup di era yang disebut sebagai puncak peradaban modern, sebuah dunia yang dipuji karena kemajuan teknologi dan keterhubungan yang tiada batas. Namun, hampir setahun setelah genosida di Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023, kita menyaksikan ironi terbesar dari peradaban ini. Dengan teknologi di genggaman kita, masyarakat dunia dapat menyaksikan kebiadaban kejahatan perang Zionis Yahudi Israel dan sekutunya, live 24 jam tanpa jeda. Kita bisa melihat bangunan runtuh, suara anak-anak menangis, dan darah yang membasahi jalanan di Gaza, langsung di layar ponsel kita. Tapi, meski gambar-gambar itu nyata, hati nurani penduduk dunia tetap lumpuh.
Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan ketidaktahuan. Dunia kini tersambung dengan informasi yang dapat diakses dalam hitungan detik. Setiap ledakan, setiap suara tangisan, dan setiap tetes darah yang tumpah di Gaza terdengar dan terlihat oleh miliaran orang di seluruh dunia. Akal sehat seharusnya memberontak, tetapi yang terjadi justru sebaliknya: kebisuan massal. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Anfal ayat 24: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu…” Kita seharusnya memenuhi panggilan kemanusiaan, tetapi suara nurani ini justru diperkosa oleh ketakutan, ketidakpedulian, dan keegoisan.
Namun, di balik kegelapan ini, kita juga menyaksikan cahaya yang tak kunjung padam—cahaya perjuangan yang dipimpin oleh para mujahidin. Di tengah serangan brutal Zionis Israel dan lumpuhnya kemanusiaan global, Allah memperlihatkan keajaiban-Nya melalui perlawanan para mujahidin yang tidak pernah menyerah dalam membela agama dan tanah air mereka.
Di medan pertempuran yang terlihat sangat amat tidak seimbang ini, kekuatan para mujahidin seperti HAMAS, Brigade Al-Quds, Brigade Abu Ali Mustafa, Brigade Martir Al-Aqsa Fatah, Brigade Al-Nasser Salah al-Din, Brigade Perlawanan Nasional Palestina, Brigade Mujahidin, dan Lion’s Den menjadi simbol perlawanan yang tak kenal lelah. Mereka bukan hanya kelompok yang berjuang secara fisik, tetapi juga menjadi representasi dari kekuatan iman, sebuah perlawanan yang tidak bisa dihancurkan oleh pesawat perang, tank, atau kekuatan militer sebesar apapun. Mereka adalah tangan Allah di muka bumi, yang terus menjaga Baitul Maqdis dan mempertahankan harga diri umat Islam.
Umat Islam di seluruh dunia, berjumlah 2 miliar, terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang berjuang untuk pembebasan Baitul Maqdis dan mereka yang diam, bahkan menggembosi perjuangan. Dalam situasi ini, tak ada pilihan netral. Hanya ada dua pilihan: menjadi Muslim sejati yang berdiri untuk keadilan atau menjadi munafik yang diam di tengah penderitaan.
Kita harus bertanya kepada diri sendiri: di mana kita berdiri? Apakah kita termasuk dalam golongan yang membantu perjuangan pembebasan bumi Al-Quds, ataukah kita diam seribu bahasa, mengabaikan teriakan dan tangisan saudara-saudara kita di Baitul Maqdis? Rasulullah ﷺ telah memperingatkan kita tentang bahayanya menjadi munafik. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika dipercaya ia berkhianat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Diam dalam menghadapi kezaliman, atau lebih buruk lagi, berkontribusi pada penindasan, adalah bentuk nyata dari pengkhianatan.
Kita tidak bisa lagi memilih untuk diam. Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan ketidakberdayaan. Perjuangan ini bukan hanya milik Gaza, bukan hanya milik Palestina, tetapi milik kita semua sebagai umat Islam sedunia. Kita harus ingat bahwa kemenangan sejati tidak berada di tangan manusia, tetapi di tangan Allah. Dan Allah telah berjanji bahwa kebenaran akan selalu menang, meskipun tampak sulit dan tidak mungkin.
Inilah waktunya bagi kita untuk bangkit, melakukan apa yang kita bisa, dan berdiri di sisi kebenaran. Jika kita terus memilih untuk diam, kita akan menjadi bagian dari pengkhianatan terbesar terhadap saudara-saudara kita di Gaza, dan sejarah akan mencatat kita sebagai umat yang gagal menjalankan amanah yang diberikan oleh Allah.