by

Mosi Tidak Percaya Guru

Ada yang perlahan-lahan mulai meresap dalam kehidupan kita. Mosi tidak percaya. Bukan lagi kepada pemerintah yang korup, bukan pula kepada polisi yang entah mengayomi siapa, tetapi kepada sosok yang seharusnya menjadi penjaga moralitas bangsa—guru. Kekhawatiran ini merayap pelan, namun pasti. Sebuah krisis yang mungkin belum terasa, tapi bila dibiarkan, akan menjadi gelombang besar yang menghantam pendidikan kita.

Guru, dulunya adalah tokoh yang dihormati, di mana kata-katanya ditunggu, nasihatnya didengar, dan keputusannya dihargai. Namun, kini mereka terjebak dalam labirin kurikulum yang super padat, di mana keberhasilan diukur dengan angka-angka. Adab dan akhlak yang dulu menjadi ruh pendidikan, kini hanya jadi kata-kata manis dalam pidato resmi. Murid-murid diperlakukan seperti produk dalam pabrik, dicetak sesuai standar, tanpa memperhatikan jiwa mereka yang seharusnya dirawat.

Jika kita terus melanjutkan jalan ini, tidak mustahil masyarakat akan merasakan hal yang sama seperti yang mereka rasakan terhadap para wakil rakyat dan aparat penegak hukum; jengah. Mereka akan mulai bertanya, apakah guru masih layak dijadikan panutan, ataukah hanya sekadar robot pengisi kurikulum?

Rasulullah SAW bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad). Inilah inti dari pendidikan: penyempurnaan akhlak, bukan sekadar transfer ilmu. Namun, ketika akhlak ditinggalkan, guru kehilangan legitimasinya. Dan di sinilah, kekhawatiran itu berakar. Ketika pendidikan hanya berputar pada hasil ujian, nilai, dan ranking, kita kehilangan makna mendalam dari proses belajar itu sendiri.

Bayangkan jika masyarakat kehilangan kepercayaan pada guru, seperti mereka kehilangan kepercayaan pada pemerintah yang korup atau polisi yang tidak mengayomi. Akan muncul generasi yang tidak lagi memandang guru sebagai penuntun, tetapi hanya sebagai petugas pelaksana kurikulum. Maka, pendidikan hanya menjadi rutinitas kosong, di mana nilai-nilai kehidupan, adab, dan akhlak yang seharusnya tumbuh subur, malah layu tak terawat.

Dalam Al-Qur’an, QS. Al-Ashr: 1-3 mengingatkan kita tentang pentingnya waktu dan amal saleh. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” Pendidikan adalah amal saleh yang seharusnya menyelamatkan manusia dari kerugian. Namun, jika esensinya hilang, mosi tidak percaya akan menjadi kenyataan.

Kita harus ingat bahwa pendidikan tidak hanya mencetak intelektual, tetapi juga manusia yang berakhlak. Jika kita membiarkan guru hanya menjadi pelaksana kurikulum tanpa jiwa, maka mosi tidak percaya ini akan membesar, menjelma menjadi krisis yang menghancurkan kepercayaan pada pilar pendidikan kita. Sudah saatnya kita kembali menata pendidikan kita, memprioritaskan adab dan akhlak, agar guru kembali menjadi sosok yang dipercaya, bukan sekadar pengajar, tetapi juga pembimbing jiwa-jiwa muda.

Write a Comment

Comment