Trilogi Kemunduran Peradaban
Mari kita mulai dengan pertanyaan mendasar: Apa yang salah dengan peradaban manusia hari ini?
Jawabannya sederhana. Manusia telah lupa siapa dirinya.
Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'” (QS. Al-Baqarah: 30)
Khalifah. Mandataris Tuhan di muka bumi. Posisi termulia dalam hierarki kosmik.
Tapi realitas hari ini? Manusia yang dicipta untuk menjadi khalifah malah terdegradasi menjadi tiga sosok menyedihkan: money (budak uang), monkey (pemain sirkus kehidupan), dan donkey (si pandir).
Inilah trilogi kemunduran yang akan kita bedah secara epistemologis.
Money: Materialisme sebagai Agama Baru
Kapitalisme telah berhasil menciptakan agama baru: materialisme. Tuhannya adalah uang. Kitab sucinya adalah angka-angka di rekening. Ritual ibadahnya adalah konsumsi.
Dan manusia modern? Mereka adalah jama’ah fanatik agama baru ini.
Rasulullah Muhammad sudah memprediksikan fenomena ini: “Ta’isa ‘abdu’d-dinar, ta’isa ‘abdu’d-dirham.” Yang artinya: Celakalah budak dinar! Celakalah budak dirham!
Perhatikan diksi “budak” dalam hadits tersebut. Ini bukan sekadar metafora. Ini diagnosis sosiologis yang akurat.
Budak tidak memiliki kebebasan. Budak tidak memiliki pilihan. Budak hanya menjalankan perintah tuannya.
Itulah kondisi manusia modern. Mereka mengira dirinya bebas, padahal sesungguhnya mereka adalah budak paling menyedihkan dalam sejarah peradaban.
Lihat para elite politik dan ekonomi negeri ini. Mereka bergelar professor, doktor, bahkan ulama. Tapi ketika berhadapan dengan uang, mereka berubah menjadi predator. Korupsi triliunan rupiah dianggap wajar. Merampok hak rakyat dianggap prestasi.
Allah mendiagnosis mereka dengan tajam: “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.” (QS. Al-A’raf: 179)
Mengapa lebih sesat dari binatang? Karena binatang tidak pernah berkhianat pada fitrahnya. Singa tetap singa. Kambing tetap kambing. Tapi manusia? Makhluk yang diberi akal dan nurani malah memilih menjadi monster kapitalisme.
Ibnul Qayyim pernah berkata: “Barangsiapa yang hatinya terpaut dengan dunia, maka dia telah menjadi budaknya. Dan barangsiapa yang menjadi budak dunia, maka dia telah keluar dari perhambaan kepada Allah.”
Inilah paradoks manusia modern: mereka mengklaim sebagai homo sapiens (manusia bijak), tapi perilakunya homo economicus (manusia ekonomi) yang rakus dan tamak.
Monkey: Pendidikan sebagai Industri Peniru
Sistem pendidikan hari ini adalah mesin fotokopi raksasa. Tugasnya? Mencetak manusia-manusia karbonkopi yang patuh pada sistem kapitalistik.
“Sekolah yang tinggi biar dapat kerja enak. Kerja enak biar dapat gaji besar.”
Inilah indoktrinasi yang terus diulang-ulang dalam masyarakat kita. Pendidikan direduksi menjadi investasi ekonomi. Universitas berubah menjadi pabrik mencetak pekerja, bukan mencetak pemimpin peradaban.
Ironi yang menggelikan: monyet di kebun binatang bisa dapat uang tanpa sekolah sama sekali. Cukup dengan beberapa atraksi sederhana, sudah ada yang melempar koin.
Lalu apa bedanya dengan manusia yang sekolah bertahun-tahun tapi orientasinya cuma uang?
Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang melimpah.” (QS. Al-Baqarah: 269)
Hikmah, bukan informasi. Hikmah adalah sintetis antara pengetahuan dan ketakwaan yang menghasilkan kebijaksanaan.
Tapi sistem pendidikan sekuler telah mengamputasi dimensi spiritual dari proses pembelajaran. Mereka mengajarkan sains tanpa iman. Teknologi tanpa etika. Ekonomi tanpa keadilan.
Hasilnya? Lulusan-lulusan yang secara teknis kompeten tapi bangkrut secara moral.
Saya teringat perkataan Syed Muhammad Naquib al-Attas: “Pendidikan Barat telah menciptakan educated barbarians; orang-orang yang terdidik tapi jahat.”
Mereka pandai mengoperasikan mesin, tapi tidak tahu untuk apa mesin itu diciptakan. Mereka hafal rumus matematika, tapi tidak memahami keindahan dan keselarasan alam semesta. Mereka menguasai teknologi komunikasi, tapi tidak bisa berkomunikasi dengan Tuhannya.
Donkey: Akademisi sebagai Legitimator Kezaliman
Yang paling memuakkan dalam spektrum degradasi intelektual adalah fenomena academic prostitution; pelacur intelektual yang menjual kebenaran demi kepentingan sesaat.
Allah berfirman dengan sindiran yang menusuk: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (QS. Al-Jumu’ah: 5)
Keledai yang memanggul kitab. Metafora brilian untuk menggambarkan kondisi sebagian akademisi dan ulama hari ini.
Mereka bergelar profesor-doktor tapi intellectually sterile. Hafal ribuan hadits tapi ethically corrupt. Menguasai teori-teori social sciences tapi morally bankrupt.
Yang lebih menyesakkan lagi: mereka menjual integritas akademik untuk legitimasi politik. Membuat penelitian palsu. Merekayasa data. Memproduksi fatwa pesanan.
Allah mengancam mereka: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka berkata: ‘Ini dari sisi Allah,’ untuk memperoleh keuntungan yang sedikit.” (QS. Al-Baqarah: 79)
Ada kisah yang menarik tentang Imam Sufyan ats-Tsauri. Ketika Khalifah Abu Ja’far al-Manshur mengundangnya, beliau menolak dengan alasan: “Aku takut jika bertemu dengannya, aku akan mencintainya. Dan jika aku mencintainya, aku akan membenarkan semua yang dikatakannya, meski itu salah.”
Inilah kesadaran diri seorang ahli ilmu yang sejati. Dia memahami bahwa proximity to power can corrupt intellectual integrity.
Berbeda dengan akademisi dan ulama hari ini yang malah berlomba-lomba mengamen ke istana. Mereka lupa bahwa tugas agamawan-ilmuwan adalah to speak truth to power, bukan to speak power to truth.
Solusi Epistemologis: Restorasi Paradigma Khalifah
Lalu bagaimana kita keluar dari trilogi kemunduran ini?
Solusinya bukan technical, tapi paradigmatic. Kita perlu melakukan paradigm shift; perubahan fundamental dalam cara pandang.
Pertama, reorientasi ontologis tentang hakikat manusia. Kita bukan sekadar homo economicus yang tugasnya mengumpulkan materi. Kita adalah khalifah Allah yang mandatnya adalah memakmurkan bumi dengan keadilan dan rahmat kasih-sayang.
Umar bin Al-Khattab berkata dengan kebijaksanaan yang mendalam: “Janganlah kalian menjadi budak dari apa yang Allah jadikan kalian sebagai tuannya.”
Kedua, reformasi epistemologis dalam pendidikan. Kita perlu mengintegrasikan kembali science dan spirituality. Knowledge dan wisdom. Information dan transformation.
Rasulullah Muhammad bersabda: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dicari untuk mengharap wajah Allah, namun dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)
Ketiga, restorasi integritas intelektual. Akademisi dan ulama harus kembali pada fungsi critical thinking dan moral leadership. Bukan menjadi yes-man penguasa, tapi conscience of the society.
Al-Hasan al-Bashri berkata: “Sesungguhnya di antara tanda-tanda murka Allah kepada suatu kaum adalah ketika Dia menjadikan ulama-ulama mereka sebagai orang-orang yang paling jahat di antara mereka.”
Choose Your Identity
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Social transformation starts with personal transformation. Collective consciousness cannot be changed without individual awakening.
Pertanyaannya sekarang: siapakah Anda?
Money (budak uang yang kehilangan kemanusiannya), Monkey (makhluk di dalam sirkus kehidupan), Donkey (si pandir dengan deretan gelar), atau Khalifah (mandataris Sang Rabb yang mengemban misi peradaban mulia)?
Choice is yours. But remember, di akhirat nanti Allah akan bertanya tentang pilihan yang Anda buat.
Dan waktu untuk memilih adalah sekarang.
Wallahu a’lam.