by

Merindukan Ibu Negara Berjilbab

Menjadi negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia seolah menyimpan paradoks di dalamnya. Sejauh ingatan saya, belum ada satu pun ibu negara yang mengenakan jilbab dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan soal politik identitas, melainkan refleksi dari sebuah kenyataan: begitu sulitkah kita, sebagai bangsa, untuk memiliki seorang ibu negara yang menjalankan perintah sederhana dalam Islam? Ataukah kita, rakyat Indonesia, belum cukup pantas untuk memiliki figur yang mencerminkan nilai-nilai agama?

Jilbab dalam Islam bukan sekadar kain penutup kepala, melainkan simbol ketaatan. Allah berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al-Ahzab: 59). Ayat ini jelas, sebuah perintah yang semestinya menjadi panduan bagi seorang muslimah, apalagi mereka yang berada di panggung publik sebagai ibu negara, sosok panutan.

Tetapi di sini kita bertanya, apakah persoalan sebenarnya ada pada mereka yang menjadi ibu negara, atau pada kita, rakyatnya, yang seolah enggan menuntut lebih dari pemimpin dan keluarganya? Atau, kita terlalu terbiasa dengan normalisasi ketidaktaatan sehingga menganggap hal ini biasa saja?

Mungkin kita bukan hanya sedang merindukan ibu negara berjilbab, tapi juga merindukan pemimpin yang sungguh-sungguh memeluk nilai-nilai agama, meresapinya sampai ke dalam kehidupan sehari-hari. Ataukah ini justru masalah kita? Bahwa kita terlalu fokus pada simbol, tanpa benar-benar merenungkan makna di baliknya. Mungkin kita belum siap, belum cukup dewasa untuk menginginkan lebih dari sekadar penampilan.

Seorang ulama salafus sholeh pernah berkata, “Jika pemimpinmu adalah orang yang shalih, maka ketahuilah itu adalah cermin dari kebaikan umat.” Apakah kita sebagai rakyat sudah mencerminkan kebaikan itu, atau masih berkutat pada kepentingan dunia yang membuat kita lupa akan kewajiban yang lebih utama? Seperti kata al-Hasan Al-Bashri, “Keimanan itu bukanlah dengan cita-cita dan hiasan, tetapi apa yang bersemayam dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.”

Kita merindukan sosok pemimpin perempuan yang menjadikan jilbab sebagai tanda keimanan, bukan hanya aksesori sesekali. Kita merindukan seorang ibu negara yang berjilbab bukan karena alasan estetika atau politik, tetapi karena kita ingin melihat Islam terpancar dalam setiap lapisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin, di masa depan, kita akan melihat seorang ibu negara yang menjadikan ketaatan kepada Allah sebagai bagian dari dirinya, menginspirasi bukan hanya melalui kata-kata, tetapi juga tindakan nyata. Dan mungkin, untuk itu, kita harus memulai dari diri kita sendiri: menjadi umat yang lebih patuh, lebih taat, dan lebih bangga terhadap identitas kita sebagai Muslim.

Write a Comment

Comment