by

Menunggu 2 Waktu

Seni Mempersiapkan Pertemuan Terindah

Hidup adalah tentang menunggu.

Kita menunggu bus di halte yang panas. Kita menunggu balasan pesan dari orang yang kita harapkan. Kita menunggu giliran dipanggil dokter, menunggu gaji cair, menunggu paket datang. Menunggu adalah jeda yang sering kali diisi dengan gelisah, dengan jemari yang mengetuk-ngetuk meja, dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Menunggu itu membosankan. Melelahkan.

Tapi ada jenis penantian yang lain. Penantian yang agung.

Bagi seorang muslim, seluruh bentangan usianya, dari tangis pertama hingga napas terakhir, adalah sebuah ruang tunggu raksasa. Dia tidak sedang menunggu bus atau balasan pesan. Dia sedang menunggu dua janji temu yang pasti. Dua panggilan yang akan tiba tanpa pernah bisa ditolak.

Panggilan pertama datang lima kali sehari. Azan.
Panggilan kedua datang sekali seumur hidup. Ajal.

Orang yang paling cerdas, kata Nabi Muhammad, bukanlah dia yang gelarnya paling mentereng atau garasi rumahnya paling penuh. Orang yang paling cerdas adalah dia yang paling totalitas dalam mempersiapkan diri untuk menyambut dua panggilan ini. Dia mengubah penantian yang membosankan menjadi sebuah proyek peradaban pribadinya. Proyek untuk menyempurnakan cara dia bertemu Tuhannya, Allah Yang Maha Esa.

Janji Temu Pertama: Panggilan Sholat, Denyut Nadi Keimanan

Sholat bukan daftar centang. Bukan sekadar kewajiban yang digugurkan agar tidak berdosa. Jika kita melihatnya begitu, kita sudah kalah sebelum memulai.

Bayangkan sholat sebagai janji temu. Sebuah pertemuan super penting dengan Dzat yang menggenggam nasib kita. Lima kali dalam sehari, Dia memanggil kita untuk berbincang, untuk mengadu, untuk beristirahat dari bisingnya dunia.

Lalu kita datang. Tergesa-gesa. Pikiran masih di tumpukan pekerjaan, di cicilan hutang yang belum lunas, di pertengkaran dengan pasangan semalam. Rokaat terasa seperti beban yang ingin segera kita selesaikan. Kita datang ke pertemuan paling sakral dengan jiwa yang compang-camping.

Apa yang bisa kita banggakan dari keislaman kita, jika sholat wajib kita saja amburadul? Itu adalah identitas kita. Denyut nadi keimanan kita. Jika denyutnya lemah dan tidak teratur, artinya kita sedang sakit parah.

Maka, khusyu’ harus menjadi target seumur hidup. Bukan sesuatu yang bisa didapat dalam semalam. Khusyu’ adalah buah dari sebuah persiapan. Dimulai dari wudhu yang tidak terburu-buru, merasakan air membasuh dosa-dosa kecil. Dimulai dari berjalan ke masjid dengan tenang, bukan berlari saat iqomah sudah mau selesai. Dimulai dari menyingkirkan dunia dari kepala sesaat sebelum takbir.

Ini adalah bentuk totalitas dalam mempersiapkan janji temu pertama. Kita ingin datang dengan penampilan terbaik, bukan hanya fisik, tapi juga jiwa. Jiwa yang hadir, yang siap mendengar, yang rindu untuk berbincang. Sholat yang khusyu’ adalah gladi bersih kita untuk pertemuan yang lebih besar.

Janji Temu Pamungkas: Kepastian Ajal, Pelipur Lara Duniawi

Kematian itu menakutkan, kata orang. Gelap. Sendirian. Akhir dari segalanya.

Tapi seorang muslim yang cerdas melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Kematian bukanlah akhir, melainkan gerbang lanjutan. Dan yang terpenting, kematian itu pasti. Kepastian inilah yang membebaskan.

Karena mati itu pasti, maka segala drama dunia ini menjadi tidak lagi penting. Kegagalan bisnis? Akan berlalu. Patah hati yang meremukkan jiwa? Akan sembuh dan terlupakan. Hinaan orang yang menusuk kalbu? Akan jadi pupuk yang menguatkan. Semua kesedihan, semua kekecewaan, semua rasa sakit di dunia ini punya tanggal kedaluwarsa. Tanggalnya adalah hari kematian kita.

Kesadaran ini adalah resep anti-depresi paling manjur. Untuk apa meratapi gelas yang pecah, jika seluruh ruangan ini pada akhirnya akan kita tinggalkan? Kepastian akan ajal membuat kita lebih pemaaf, lebih lapang dada, dan lebih berani.

Anak-anak gaul punya istilah YOLO. Kepanjangan dari You Only Live Once. Mereka memaknainya sebagai tiket untuk kebebasan tanpa batas, untuk mencoba segala hal yang memacu adrenalin. Seorang muslim juga percaya dia hanya hidup sekali di dunia. Tapi maknanya berbeda total.

Karena hidup cuma sekali, maka ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mengumpulkan bekal. Satu-satunya kesempatan untuk membangun rumah kita di surga. Maka, dia tidak akan membuang waktunya dalam ketakutan. Dia tidak ingin tiba di hari akhir dengan sebuah penyesalan terbesar: menyesal karena tidak pernah berani mencoba.

Dia akan mengejar impiannya yang bermanfaat. Dia akan membangun bisnis. Dia akan menulis buku. Dia akan menciptakan mahakarya. Bukan karena gila dunia, tapi karena dia tahu setiap usahanya bisa menjadi amal jariyah. Dia tidak takut gagal, karena kegagalan terbesar adalah diam membeku karena terlalu peduli pada penilaian manusia yang fana. YOLO dalam bingkai Islam adalah tentang keberanian beramal, bukan keberanian berbuat maksiat.

Mengisi Ruang Tunggu: Seni Menjadi Musafir yang Cerdas

Jadi, inilah dia. Seorang musafir di ruang tunggu kehidupan. Di hadapannya ada dua jadwal keberangkatan yang pasti: jadwal sholat dan jadwal kematian. Dia tahu, kecerdasannya diukur dari seberapa baik persiapannya.

Totalitasnya terlihat dalam kesehariannya. Saat dia bekerja, dia niatkan itu sebagai ibadah, sebagai cara menjemput rezeki halal untuk bekal menuju pertemuan agung. Saat dia belajar, dia niatkan itu untuk mengangkat kebodohan dari dirinya dan umat, agar dia bisa beribadah dengan ilmu. Bahkan tidurnya pun dia niatkan agar tubuhnya bugar untuk sholat malam. Semua aktivitasnya terkalibrasi untuk dua tujuan itu.

Tapi menunggu, sekali lagi, tetaplah menunggu. Ada kalanya jenuh. Ada kalanya lelah.

Allah Maha Tahu. Dia tidak membiarkan hamba-Nya mati kebosanan di ruang tunggu ini. Dia sediakan begitu banyak “hiburan” agar penantian terasa indah dan penuh makna.

Ada zikir yang merdu, getarannya menenangkan hati yang gundah. Hiburan untuk jiwa.
Ada Al-Qur’an yang kita baca, setiap hurufnya adalah cahaya yang menerangi jalan yang kadang gelap. Hiburan untuk akal dan ruh.
Ada sedekah yang kita berikan diam-diam, menciptakan senyum di wajah orang lain dan melapangkan hati kita sendiri. Hiburan sosial.
Ada ilmu yang kita kaji, membuka cakrawala baru dan membuat kita semakin kagum pada-Nya. Hiburan intelektual.

Semua ibadah ini adalah pengisi waktu terbaik. Mereka adalah cara Allah untuk mengatakan, “Sabar wahai hamba-Ku, nikmati perjalanannya. Aku sudah siapkan banyak hal indah untukmu selagi engkau menunggu.”

Pulang dengan Senyuman

Pada akhirnya, hidup memang sebuah penantian. Tapi bukan penantian yang pasif, hampa, dan penuh keluh kesah. Ini adalah penantian yang aktif, produktif, dan penuh harapan. Sebuah seni untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Kualitas hidup kita tidak diukur dari seberapa banyak yang kita kumpulkan, tapi dari seberapa siap kita saat panggilan itu datang. Baik itu panggilan muazin dari menara masjid, maupun panggilan malaikat maut di ujung usia.

Menunggu dua waktu ini sejatinya adalah perjalanan untuk pulang. Dan setiap musafir yang cerdas hanya punya satu keinginan: tiba di tujuan akhir, disambut oleh Sang Pemilik Rumah, dan bisa berkata, “Ya Allah, aku datang. Aku sudah melakukan yang terbaik selama masa penantianku.”

Lalu dia disambut dengan senyuman. Senyuman terindah yang sepadan dengan segala lelahnya menunggu.

Write a Comment

Comment