Pendidikan: Sebuah Amanah, Bukan Sekadar Institusi
Kita sering kali berbicara tentang pendidikan seolah-olah ia hanya terjadi di sekolah. Padahal, pendidikan adalah sebuah perjalanan panjang yang berakar di rumah dan berlanjut di berbagai lini kehidupan. Ia bukan sekadar urusan lembaga, tetapi urusan peradaban.
Hari ini, banyak orang tua yang menganggap pendidikan anak adalah tanggung jawab sekolah. Mereka berpikir bahwa dengan membayar uang sekolah, tugas mereka telah selesai. Padahal, pendidikan sejati lahir bukan dari sistem semata, tetapi dari ekosistem.
Islam telah menetapkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab orang tua. “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6). Ini adalah panggilan bagi setiap keluarga untuk menjadi institusi pendidikan pertama bagi anak-anaknya.
Rasulullah Muhammad ﷺ juga mengingatkan, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim). Pemimpin pertama dalam kehidupan seorang anak adalah orang tuanya.
Maka, ketika ada persoalan dalam karakter anak, yang pertama harus kita evaluasi bukanlah sekolah, tetapi keluarga. Karena sekolah hanya bagian dari perjalanan, sedangkan rumah adalah titik awal dari segala pembentukan.
Orang Tua: Aktor Utama, Bukan Penonton
Di dunia pendidikan, ada dua peran utama: pendidik dan peserta didik. Orang tua tidak bisa hanya menjadi penonton, mereka harus menjadi pendidik pertama dan utama. Karena tanggung jawab ini bukan sekadar kewajiban, tetapi juga sebuah amanah.
Terlalu sering kita melihat orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah. Mereka percaya bahwa sekolah memiliki semua jawaban atas tantangan yang dihadapi anak-anak mereka. Padahal, sekolah hanya bisa menjadi fasilitator, bukan pengganti peran orang tua.
Ahli pendidikan berkata, “Mayoritas penyimpangan anak berasal dari kelalaian orang tua dalam mendidik mereka.” Pendidikan tidak hanya soal pelajaran akademik, tetapi juga pembentukan akhlak. Dan akhlak tidak diajarkan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan contoh nyata.
Seorang anak belajar bukan hanya dari buku, tetapi dari interaksi sehari-hari. Jika di rumah dia melihat kejujuran, dia akan tumbuh menjadi pribadi yang jujur. Jika dia melihat ketulusan, maka ketulusan itu akan menjadi bagian dari dirinya.
Karena itu, keluarga harus menjadi ruang pertama untuk menanamkan nilai-nilai yang benar. Sekolah bisa mendukung, tetapi tidak bisa menggantikan peran yang seharusnya dimainkan oleh orang tua.
Sekolah: Ruang Belajar, Bukan Mesin Karakter
Sekolah adalah tempat anak-anak belajar. Namun, belajar bukan hanya soal ilmu, tetapi juga soal kebiasaan, karakter, dan nilai. Dan nilai-nilai itu tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah.
Anak-anak sekolah dalam jam yang terbatas. Sementara, anak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan lingkungan sekitar. Jika di rumah dan di lingkungan dia melihat perilaku yang bertentangan dengan apa yang diajarkan di sekolah, maka pendidikan di sekolah akan kehilangan daya pengaruhnya.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menulis, “Anak-anak tumbuh sesuai kebiasaan yang diajarkan oleh keluarganya.” Artinya, sekolah hanya bisa membangun di atas fondasi yang telah diletakkan oleh keluarga. Jika fondasi itu rapuh, maka apa pun yang dibangun di atasnya akan mudah runtuh.
Maka, jika ada anak yang bermasalah, kita harus bertanya: di mana dia tumbuh, di mana dia belajar, dan apa yang dia lihat setiap hari? Karena anak bukan hanya hasil dari sistem pendidikan, tetapi juga dari sistem kehidupan yang dia jalani.
Sekolah tidak bisa menggantikan peran keluarga. Sekolah hanya bisa melengkapi apa yang telah dimulai di rumah.
Teladan: Pendidikan yang Tidak Bisa Diajarkan dengan Kata-Kata
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan hanya dari apa yang mereka dengar. Jika kita ingin mereka jujur, kita harus menunjukkan kejujuran. Jika kita ingin mereka berakhlak, kita harus menjadi contoh akhlak itu sendiri.
Seorang ahli hikmah pernah berkata, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya.” Pendidikan di zaman ini bukan hanya soal teori, tetapi juga soal teladan nyata. Anak-anak butuh melihat orang tuanya menjalankan nilai-nilai yang diajarkan.
Karakter tidak dibentuk hanya dengan nasihat. Ia dibentuk dengan kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Jika di rumah mereka melihat kesabaran, maka mereka akan tumbuh dengan ketahanan yang kuat.
Jika di rumah mereka melihat kegigihan, mereka akan belajar arti perjuangan. Jika di rumah mereka melihat kasih sayang, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang peduli.
Maka pendidikan bukan hanya soal apa yang diajarkan di sekolah. Ia adalah soal bagaimana nilai-nilai itu dijalankan di rumah dan dalam kehidupan sehari-hari.
Jangan Salahkan Sekolah, Perbaiki Rumahmu Dulu
Dalam setiap persoalan, selalu lebih mudah untuk mencari kambing hitam daripada melakukan refleksi. Tapi di dunia pendidikan, yang harus pertama kali kita evaluasi bukanlah sekolah, melainkan rumah. Karena rumah adalah tempat pendidikan sesungguhnya dimulai.
Imam Al-Ghazali berkata, “Mendidik anak bukan hanya memberi ilmu, tetapi juga membentuk akhlak.” Jika keluarga gagal membentuk akhlak, maka sekolah pun tidak akan mampu menggantikannya.
Maka, sebelum kita menunjuk sekolah sebagai penyebab kegagalan pendidikan anak, kita harus bertanya: sudahkah kita menjalankan peran sebagai pendidik di rumah? Sudahkah kita memberikan teladan yang baik? Sudahkah kita menciptakan suasana rumah yang mendukung pembentukan karakter yang kuat?
Islam telah memberi peringatan, “Janganlah orang tua menjadi sebab anaknya celaka.” (HR. Abu Dawud). Celaka bukan hanya kehilangan masa depan, tetapi juga kehilangan nilai dan prinsip hidup. Lebih-lebih jika harus berakhir di Api Neraka.
Jadi, mari berhenti menyalahkan sekolah. Mari mulai dari rumah. Karena pendidikan sejati dimulai dari keluarga, bukan dari institusi semata.
Syukran Katsiir… Barakallah….
Alhamdulillah, semoga bermanfaat pak 🙂