Sebuah Pertemuan dengan Sosok Tanpa Tubuh
Ketika kita bicara tentang sosok-sosok yang lahir dari tanah yang berdebu, tidak semua dari mereka tumbuh menjadi bayang-bayang yang kokoh. Ada yang tenggelam dalam butiran pasir, terseret oleh angin zaman. Tapi, di antara mereka, ada yang justru menjelma menjadi karang. Syaikh Izzuddin Al-Qassam adalah karang itu. Dia tidak sekadar hidup, dia adalah perlawanan.
Sebagai seorang ayah dan seorang guru, perjumpaan dengan kisah hidupnya adalah dialog panjang dengan hati. Dialog yang melampaui kata-kata. Saya sering bertanya-tanya, dari mana datangnya kekuatan itu? Mengapa saya bisa merasa sedemikian rapuh di hadapan tantangan kecil, sementara Syaikh Izzuddin Al-Qassam memilih jalan sunyi; jalan yang hanya dilewati oleh mereka yang benar-benar memahami harga sebuah kehidupan?
Kelahiran dari Rahim yang Berbeda
Suriah, tahun 1882, lahirlah seorang manusia yang ditakdirkan untuk tidak tinggal diam. Mungkin angin di Jablah sudah membawa pesan-pesan dari masa depan, mengisyaratkan bahwa anak ini akan berhadapan langsung dengan penjajahan. Syaikh Izzuddin Al-Qassam tumbuh dalam didikan agama yang kuat, tapi ada yang lebih dari itu. Dalam setiap nafasnya, ada getaran perlawanan.
Dia memilih jalan yang tidak semua orang berani tempuh. Jika kita semua sibuk dengan hidup yang aman dan tenang, Syaikh Izzuddin Al-Qassam justru merayakan kegelisahan. Kegelisahan karena melihat tanah air yang diinjak-injak oleh kaki asing Zionis Yahudi Israel.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 139)
Al-Qassam tidak pernah lemah, karena imannya lebih besar dari ketakutan.
Perang Batin dan Perang Fisik
Ketika kita berbicara tentang jihad, mudah bagi sebagian orang untuk mengaitkannya dengan kekerasan. Tapi Syaikh Izzuddin Al-Qassam bukan sosok yang hanya mengangkat senjata tanpa dasar. Dia lebih dulu berjihad melawan dirinya sendiri. Dia tahu, peperangan terbesar ada di dalam hati.
Sebagai seorang guru, saya sering merasa bahwa tantangan terbesar bukanlah mengajarkan pelajaran kepada murid, tapi mengajarkan keberanian untuk berpikir bebas, sesuai tuntunan syariat. Berpikir bahwa ada dunia yang lebih besar dari sekadar nilai ujian atau pencapaian material. Dan Syaikh Izzuddin Al-Qassam adalah simbol dari kebebasan itu.
Ketika dia akhirnya memilih untuk memimpin perlawanan fisik melawan Inggris di Baitul Maqdis Palestina, itu bukan karena nafsu. Itu adalah pilihan yang diambil dengan penuh kesadaran. Sebagai manusia, Syaikh Izzuddin Al-Qassam mengerti satu hal yang sangat penting: diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap diri sendiri.
“Barang siapa melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Al-Qassam memilih tangannya, lisannya, dan hatinya. Dia tidak memilih yang lemah.
Harapan yang Tidak Pernah Mati
Setiap kali saya membicarakan Syaikh Izzuddin Al-Qassam, saya merasa seolah-olah berbicara tentang diri sendiri, atau mungkin tentang kita semua. Siapa dari kita yang tidak pernah merasa tertindas oleh keadaan? Siapa dari kita yang tidak pernah merasa terdesak oleh sistem yang tampak begitu besar dan tidak tergoyahkan?
Tapi di situlah letak pelajaran terbesar dari Syaikh Izzuddin Al-Qassam. Harapan itu tidak mati. Meskipun dia terbunuh pada tahun 1935 dalam perlawanan melawan Inggris, semangatnya terus hidup. Kita harus belajar dari hal ini: bahwa tubuh bisa dihancurkan, tapi semangat jihad tidak pernah mati.
Ketika saya mengajarkan anak-anak saya tentang pentingnya keberanian, saya sering teringat pada kata-kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang berkata: “Apa yang bisa dilakukan musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada di hatiku. Jika mereka memenjarakanku, itu adalah khalwat bagiku. Jika mereka membunuhku, itu adalah syahid bagiku. Dan jika mereka mengusirku, itu adalah wisata bagiku.”
Itulah cara Syaikh Izzuddin Al-Qassam hidup. Dia tidak takut pada konsekuensi duniawi, karena dia hidup untuk sesuatu yang lebih tinggi.
Jalan Sunyi yang Penuh Makna
Dalam kehidupan kita yang serba cepat, sering kali kita lupa untuk berhenti sejenak dan bertanya: apa yang sebenarnya kita kejar? Syaikh Izzuddin Al-Qassam tidak pernah kehilangan arah. Dia tahu persis apa yang diperjuangkan. Saya kagum padanya, bukan hanya karena keberaniannya, tapi juga karena kesadarannya.
Kehidupannya adalah refleksi dari sebuah jalan sunyi, jalan yang mungkin tidak dilihat orang lain, tapi penuh dengan makna. Bagi kita yang masih sibuk dengan kehidupan yang serba materi, Syaikh Izzuddin Al-Qassam adalah pengingat bahwa ada yang lebih penting dari itu semua.
Sebagai ayah, saya ingin anak-anak saya tahu bahwa dunia ini lebih besar dari apa yang bisa mereka lihat. Sebagai guru, saya ingin murid-murid saya tahu bahwa pendidikan adalah tentang belajar untuk melawan. Melawan ketidakadilan, melawan kebodohan, dan melawan rasa takut.
Syaikh Izzuddin Al-Qassam telah mengajarkan kepada kita bahwa keberanian tidak harus datang dari tubuh yang besar atau senjata yang kuat. Keberanian datang dari hati yang tidak tergoyahkan. Dari keyakinan bahwa apa yang kita lakukan, seberapapun kecilnya, adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Renungan untuk Kita Semua
Saya tidak tahu berapa banyak dari kita yang bisa benar-benar berjalan di jalur yang dilalui oleh Syaikh Izzuddin Al-Qassam. Tapi setidaknya, kita bisa merenung. Kita bisa belajar bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang kita miliki, tapi tentang apa yang kita perjuangkan.
Sebagaimana Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Mungkin, langkah pertama kita adalah mengubah diri sendiri. Menemukan keberanian untuk menolak diam di hadapan ketidakadilan, seperti yang dilakukan oleh Syaikh Izzuddin Al-Qassam.