by

Mengenal Sosok Yahya Sinwar

Sebagai seorang ayah, saya selalu mencari sosok yang bisa memberi gambaran utuh tentang keberanian. Bukan keberanian sekadar untuk bertarung, tapi keberanian untuk hidup dalam keyakinan yang tidak tergoyahkan. Yahya Sinwar adalah simbol keberanian itu. Di tengah pusaran konflik Al-Quds Palestina, dia hadir dengan luka, dengan mimpi, dengan tangan yang tidak pernah ragu untuk mengangkat perjuangan rakyatnya. Sebagai guru, kisahnya bukan sekadar cerita perlawanan, tapi pelajaran tentang bagaimana keyakinan bisa menjadi bintang penuntun di tengah gelapnya malam penjajahan.

Lahir dari Darah dan Debu

Yahya Sinwar bukanlah sosok yang lahir dalam kemewahan. Sejak awal, dia adalah anak dari debu Gaza, dari serpihan sejarah yang terus ditindas. Di penjara, dia menempa jiwanya, memahat tekad yang lebih kuat dari baja. Ziones Yahudi Israel mungkin berpikir penjara bisa membungkamnya, tapi Yahya Sinwar tahu, kebebasan tidak pernah soal fisik. Kebebasan adalah soal pikiran, soal keberanian untuk bermimpi bahkan ketika dunia memaksa kita untuk berhenti.

Saya bayangkan Yahya Sinwar duduk di balik jeruji, tapi di dalam benaknya, dia sudah terbang bebas. Sebagai ayah, saya merasa ada yang harus disampaikan kepada anak-anak saya: bahwa kebebasan sejati adalah ketika kita tahu siapa diri kita, dan mengapa kita hidup.

Ketika Kata Tak Lagi Cukup

Setelah bebas dari penjara, Yahya Sinwar tidak lantas hidup tenang. Baginya, kebebasan hanyalah sebuah babak baru dalam perjuangan panjang. Dia mengambil peran dalam Hamas, bukan karena ambisi politik, tapi karena keadilan. Bagaimana mungkin seseorang yang telah menyaksikan kehancuran rumah-rumah, tanah air, dan impian-impian anak-anaknya, bisa duduk diam?

Kisah Yahya Sinwar seperti potret seorang pengembara yang tidak pernah selesai. Dia tahu kata-kata tidak lagi cukup untuk menjawab peluru, drone, dan bom-bom yang dilemparkan kepada bangsanya. Sebagai guru, saya mengerti, ini bukan hanya tentang senjata, ini tentang prinsip. Ini tentang keberanian untuk berkata, “Aku akan berdiri di sini, di atas tanahku, dan tidak akan menyerah.”

Dilema Sang Pemimpin

Namun, menjadi pemimpin adalah sebuah beban. Di satu sisi, ada rakyat yang lapar, anak-anak yang menangis, dan di sisi lain, ada penjajah yang datang dengan pesawat-pesawat tempur. Bagaimana mungkin Yahya Sinwar bisa tidur tenang? Tidak ada pemimpin yang benar-benar ingin berperang, tapi terkadang, perang adalah satu-satunya jalan untuk mempertahankan kehormatan.

Aku teringat pada sebuah hadits: “Pemimpin umatku yang paling baik adalah mereka yang mencintai umatnya dan umatnya mencintai mereka” (HR. Muslim). Sinwar adalah pemimpin yang lahir dari cinta kepada bangsanya. Dia tahu risiko, tahu bahayanya, tapi dia memilih jalan itu karena cinta yang lebih besar.

Sebagai ayah, saya ingin anak-anak memahami, bahwa hidup ini tidak selalu tentang pilihan yang nyaman. Kadang, cinta yang sejati adalah ketika kita memilih jalan yang paling sulit, demi sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Tangan Kiri yang Menolak Menyerah

Kisah heroik Yahya Sinwar mencapai puncaknya di akhir hidupnya. Dalam salah satu serangan brutal yang dilakukan oleh Israel, Sinwar terluka parah. Tangan kanannya tidak lagi bisa digerakkan, darah mengalir deras. Namun, meski dalam kondisi terpojok, dia tidak berhenti melawan. Dengan tangan kirinya, dia meraih sebatang kayu dan melemparkannya ke arah drone bersenjata yang dikirim oleh tentara Zionis Yahudi Israel.

Apa yang bisa dilakukan sebatang kayu melawan mesin perang modern? Mungkin terlihat konyol bagi mereka yang menilai dari permukaan. Tapi bagi Yahya Sinwar, kayu itu adalah simbol keberanian yang menolak menyerah. Allah berfirman: “Janganlah kamu merasa lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran: 139). Yahya Sinwar menjalani ayat ini hingga akhir hidupnya. Bahkan ketika tubuhnya lemah, imannya tetap kuat. Dan dengan tangan kirinya, dia melemparkan perlawanan terakhirnya.

Inilah akhir hidup Yahya Sinwar, sebuah keberanian epik yang melampaui batas manusia.

Sebagai seorang ayah, saya akan selalu mengenang momen ini. Saya ingin anak-anak saya tahu, bahwa tidak ada yang mustahil ketika seseorang memiliki iman yang kokoh. Dan sebagai guru, ini adalah pelajaran tentang arti sesungguhnya dari keberanian.

Warisan Yahya Sinwar untuk Generasi Mendatang

Yahya Sinwar bukan hanya nama dalam sejarah. Dia adalah pengingat bagi kita semua, bahwa di dunia ini, selalu ada orang-orang yang memilih berdiri di garis depan ketika yang lain memilih mundur. Dia adalah seorang pengembara jiwa, yang tidak pernah menyerah meski tubuhnya sudah dihancurkan. Bagi seorang ayah, dia adalah teladan keberanian. Bagi seorang guru, dia adalah pelajaran tentang keyakinan. Dan bagi dunia, Yahya Sinwar adalah legenda yang akan terus hidup dalam setiap napas perjuangan pembebasan bumi Baitul Maqdis.

Write a Comment

Comment