Lahir di Antara Perang dan Penderitaan
Ismail Haniyeh, seperti banyak anak-anak Palestina lainnya, lahir di tengah deru ledakan dan bau mesiu. Di kamp pengungsi al-Shati, Gaza, tahun 1962, hidup bukanlah tentang pilihan. Hidup adalah tentang bertahan. Ismail Haniyeh, seperti yang lain, tumbuh di antara reruntuhan, tapi bukan reruntuhan yang menjadikannya lemah. Dia, seperti bebatuan di Gaza yang dipukul gelombang perang, justru semakin keras. Dalam kesulitan itu, dia menanamkan sebuah cita-cita: kebebasan bagi tanahnya.
Sebagai seorang ayah dan guru, saya bisa membayangkan bagaimana Ismail Haniyeh kecil melihat dunia. Dia tumbuh dalam ketidakpastian, namun bukan tanpa harapan. Dia menghirup udara yang tercemar konflik, tapi matanya selalu tertuju ke masa depan. Mungkin dia tahu, dari kecil, bahwa hidupnya bukan tentang keluhan, melainkan tentang pertarungan.
Menempa Karir dari Debu-debu Gaza
Sebagai seorang pemuda, Ismail Haniyeh tidak memilih jalan yang mudah. Dia menempuh pendidikan di Universitas Islam Gaza, berusaha menimba ilmu di tengah keterbatasan. Bagi Ismail Haniyeh, pendidikan adalah perlawanan tersendiri. Dia melihat bahwa pengetahuan adalah kekuatan yang tidak bisa direbut oleh penjajah. Kemudian, dia menjadi dosen, berbicara di depan murid-muridnya tentang masa depan yang lebih baik, tentang perjuangan yang tidak boleh berhenti. Sebagai seorang guru, saya paham bahwa mendidik di tengah perang adalah sebuah panggilan hati. Ini bukan sekadar menyampaikan teori, ini tentang menyalakan api semangat dalam jiwa-jiwa yang terjajah.
Pada 1987, Intifadah pertama meledak, dan Ismail Haniyeh tidak hanya berdiri di depan kelas, dia berada di garis depan perlawanan. Karirnya di Hamas berkembang, sebuah organisasi yang lahir dari kebutuhan akan perlawanan terorganisir. Bagi Haniyeh, Hamas bukan hanya tempat berjuang secara fisik, tetapi juga secara intelektual dan spiritual. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190).
Hampir Terbunuh, Tetapi Tidak Mati
Ismail Haniyeh pernah hampir mati terbunuh. Pada tahun 2003, sebuah serangan udara Israel menargetkan dirinya. Di saat itu, nyawanya seperti berdiri di tepi jurang maut. Tapi tidak, Allah sepertinya masih menahannya di dunia. Dia lolos dari serangan itu, dan dia tidak menganggap itu sebagai keberuntungan semata. Dia tahu, hidupnya memang dipertaruhkan untuk sesuatu yang lebih besar.
Sebagai seorang ayah, saya membayangkan bagaimana perasaan keluarganya saat mendengar bahwa Ismail Haniyeh nyaris terbunuh. Bagaimana dia kembali ke rumah, duduk bersama anak-anaknya, mungkin dengan senyum yang pahit, seolah mengatakan bahwa hidup di Gaza memang tidak pernah mengenal kata “aman.”
Memimpin dari Pengasingan
Pada 2012, ia dilarang masuk ke Al-Quds Palestina setelah melakukan perjalanan diplomatik ke luar negeri. Inilah momen yang mengubah kehidupannya secara drastis. Ismail Haniyeh dipaksa hidup di luar negeri, terpisah dari tanah yang dia cintai. Tapi, apa artinya pengasingan bagi seorang Ismail Haniyeh? Dia tetap memimpin Hamas, bahkan dari jauh. Ia membuktikan bahwa seorang pemimpin tidak selalu harus berada di medan perang untuk tetap menjadi kompas perjuangan.
Dari jauh, dia terus mengirim pesan, menyusun strategi, membangun jaringan internasional. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6). Mungkin itulah yang ada di benaknya. Bahwa di balik setiap pengasingan, setiap bom yang nyaris menghantam, ada kemudahan yang disiapkan oleh Allah.
Terbunuh oleh Bom, Tetapi Hidup dalam Perjuangan
Akhir hidup Ismail Haniyeh adalah sesuatu yang sudah diprediksi banyak orang. Pemimpin yang terus menerus diburu pasti pada akhirnya akan jatuh. Dia terbunuh oleh bom Zionis Yahudi Israel. Tapi, bagi orang seperti Ismail Haniyeh, kematian bukanlah akhir. Dia tahu, kematiannya bukanlah kekalahan. Dalam ajaran Islam, mati di jalan Allah adalah kemenangan. Allah berfirman, “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169).
Ismail Haniyeh telah pergi, tapi apa yang dia tinggalkan tetap hidup. Rakyat Baitul Maqdis Palestina yang dia bimbing, perlawanan yang dia pimpin, semuanya tetap ada. Bagi seorang ayah dan guru, ini adalah pelajaran besar. Bahwa hidup yang baik bukan tentang berapa lama kita hidup, tetapi tentang apa yang kita tinggalkan untuk generasi berikutnya.
Pelajaran Seorang Ayah dan Guru
Sebagai seorang ayah, saya merenungkan bagaimana Ismail Haniyeh menjalani hidupnya dengan segala kesulitan yang dia hadapi. Bagaimana dia mampu menjaga keluarganya tetap teguh, bagaimana dia mengajarkan anak-anaknya untuk bertahan meski hidup di bawah bayang-bayang kematian. Sebagai seorang guru, saya terinspirasi oleh keteguhan Ismail Haniyeh dalam mendidik generasi muda Palestina. Dia tidak hanya memberikan ilmu, tetapi memberikan harapan dan keberanian.
Ismail Haniyeh telah menunjukkan kepada kita bahwa perjuangan terbesar bukan melawan musuh di luar, tetapi melawan ketakutan di dalam diri. Dia telah membuktikan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang tetap memimpin, meski dari jauh, meski dari pengasingan, meski di ambang kematian. Kematian Haniyeh bukanlah akhir, tapi babak baru dalam kisah perlawanan yang tidak pernah selesai.
Inilah Ismail Haniyeh. Bukan hanya seorang pemimpin, tapi juga seorang ayah, seorang guru, dan seorang mujahid pejuang kemerdekaan.